Ceknricek.com -- Presiden Joko Widodo menandatangani Surat Presiden (Surpres) atas revisi UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Surpres itu bernomor R-42/Pres/09/2019 tertanggal 11 September 2019 perihal penunjukkan wakil pemerintah untuk membahas RUU KPK yang ditujukan kepada Ketua DPR.
Dalam suratnya, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakilinya dalam pembahasan RUU KPK bersama DPR.
Mengundurkan Diri
Menteri Hukum dan HAM saat itu adalah Yasonna Laoly, politisi yang juga kader PDIP. Dia terpilih sebagai Anggota DPR 2019-2024. Hal yang digunakannya sebagai alasan mengundurkan diri terhitung tanggal 1 Oktober 2019, sebelum diselenggarakannya pelantikan legislatif secara resmi.
Sumber: Antara
Baca Juga: Ini Penjelasan Pemerintah Tentang Poin-Poin Revisi UU KPK yang Disahkan DPR
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang ditunjuk turut mewakili pemerintah saat itu adalah Drs. Syafruddin, M.Si. Mantan Wakapolri yang diangkat Joko Widodo menggantikan Asman Abnur, kader PAN yang mengundurkan diri Agustus 2018 lalu.
Bersamaan kabar penandatanganan Surpres itu, Menteri Sekretaris Negara menjelaskan kepada media, bahwa DIM (daftar isian masalah) yang dikirim pemerintah banyak merevisi draft yang dikirim DPR. Beliau juga menekankan pesan Presiden bahwa KPK adalah lembaga negara yang independen dalam pemberantasan korupsi yang punya kelebihan dibandingkan lembaga lainnya.
Salah Pengarahan?
Sumber: Media Indonesia
Dalam pemberitaan MBM Tempo yang terbit tanggal 5 Oktober 2019, disebutkan bahwa salah satu pasal yang dipersoalkan Joko Widodo, adalah aturan soal penyadapan yang harus berdasarkan izin tertulis Dewan Pengawas, sebelum dilakukan. Padahal —sebagaimana yang disampaikan kepada sejumlah mantan Pemimpin KPK yang menemuinya 2 hari sebelum bertemu dengan sejumlah tokoh senior di Istana— yang dimaksud Presiden adalah penyadapan harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas setelah selesai dilakukan.
Post Audit
Para tamu tersebut mengaku kaget dengan penjelasan Jokowi. Jika sejak awal gagasan Presiden disampaikan demikian, mereka tentu akan menyetujuinya. Lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa sesungguhnya audit kegiatan penyadapan rutin dilakukan KPK. Sebab memang sesuai dengan Peraturan yang dikeluarkan Menteri Komunikas dan Informasi, nomor 11 tahun 2006 tentang Teknis Penyadapan terhadap Informasi. Keberatan mereka justru pada ketentuan izin penyadapan kepada Dewan Pengawas yang diminta agar dicabut.
Pertanyaannya:
Pertama, apakah Menteri Yasonna yang politikus PDIP, dan Menteri Syafruddin yang mantan Wakapolri, yang ditunjuk resmi mewakili Pemerintah, tak memahami pesan dan hal yang diinginkan Presiden soal “post audit” penyadapan itu?
Kedua, apakah keduanya justru dengan sengaja mengabaikan pesan dan hal yang diinginkan Presiden, saat melakukan pembahasan bersama DPR soal revisi UU KPK tersebut.
Sumber: Liputan6
Baca Juga: Presiden Tolak Empat Poin Revisi UU KPK Usulan DPR
Bagaimana pun, penjelasan Presiden mengenai keinginannya pada wewenang penyadapan KPK, menyiratkan persoalan sangat serius pada para Menteri yang diminta mewakili pemerintah. Baik dikarenakan mereka tak mampu memahami pesan yang disampaikan. Ataupun gara-gara dengan sengaja mengabaikannya.
Faktanya, salah seorang Menteri yang ditunjuk mewakili Pemerintah itu, memang merupakan kader PDIP yang menjadi salah satu partai yang sangat menginginkan UU KPK tersebut direvisi.
Fakta lainnya, Menteri lain yang mewakili Pemerintah untuk membahas RUU tersebut dengan DPR, sebelumnya adalah Wakapolri.
Menelikung
Sungguh saya prihatin membayangkan rangkaian hal-hal di atas.
Lucunya, mereka yang diduga banyak menelikung amanah kebijakan Joko Widodo dalam RUU KPK yang heboh itu, termasuk pembahasan yang diam-diam dan berlangsung super kilat, kini ngotot menentang penerbitan Perpu. Bahkan sambil melantarkan penyesatan yang membingungkan publik dan Presiden sendiri. Agar terpengaruh dan menuruti saran mereka.
Sumber: Jawapos
Mereka lupa, jika perjalanan RUU KPK yang menghebohkan itu, sesungguhnya berlangsung penuh keajaiban dan ditengarai banyak pihak tak wajar. Tapi ketika banyak yang keberatan dan menolaknya, termasuk Joko Widodo yang kini sedang mempertimbangkan Perpu, mereka berupaya mendesak agar proses untuk mengupayakan pembatalan maupun koreksinya, dilakukan sebagaimana ketentuan administratif yang tersedia. Secara tertib dan wajar agar tersedia waktu cukup untuk mengukuhkan “kerja keras” mereka kemarin.
BACA JUGA: Cek HEADLINE Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini