Oleh Dr. Syahganda Nainggolan
08/26/2022, 15:16 WIB
Ceknricek.com--Umat Islam tidak bisa melihat kecenderungan beberapa saat terakhir ini untuk menyimpulkan apa yang terjadi di depan. Pertama, sejarah 250 tahun kapitalisme adalah sejarah di mana identitas dan kebudayaan telah mendominasi dan bahkan menyingkirkan Islam. Kedua, isu “War on terror” yang dilancarkan barat terhadap Islam selama beberapa dekade belakangan ini, dilakukan secara biadab, demi penguasaan wilayah dan aset strategis negara Islam. Stiglitz, dalam bukunya “$3 Triliun War”, misalnya menganalisa bahwa Amerika menyerang Irak pasca 9/11, bukan utamanya urusan teroris, melainkan penguasaan ladang minyak. Ketiga, apakah di dalam negeri-negeri Islam, pemimpinnya mempunyai agenda kebangkitan Islam sebagai sebuah peradaban?
Peranan China di Indonesia dan Semangat Anti Islam Rezim Jokowi
Dalam era kepemimpinan Jokowi, peranan China sebagai negara sahabat Indonesia berkembang sangat pesat. Muhammad Zulfikar Rahmat, dalam “Growing-ties-between-indonesia-and-china-may-hurt-us-indonesia-relationship”, The Conversation (2020), melukiskan kuatnya peranan China dalam investasi dan perdagangan antar negara. Hal ini tidak terlepas dari Luhut Binsar Panjaitan, sebagai tokoh penting yang menjahit hubungan itu.
Ekspor Indonesia ke China mencapai 16,6 % dan impor kita mencapai sepertiga total impor, serta investasi China di Indonesia naik menjadi nomer dunia terbesar setelah Singapura (2019). Pemerintah Jokowi mengklaim bahwa trade deficit dengan China semakin kemari semakin kecil. Namun, Reuters mencatat penurunan itu terjadi akibat ekonomi kita yang merosot akibat pandemic.
“The deficit shrunk considerably between January to November 2020, falling to $7 billion from $15.4 billion in the same period in 2019, as Indonesia's demand for imported products plunged amid a coronavirus epidemic and its first recession in 22 years.” (Reuters, 13/1/21).
Atau sejatinya defisit dagang kita mencapai $15 Miliar, yang menunjukkan ketergantungan Indonesia pada China. Zulfikar Rahmat, dalam “The China Factor in Indonesia's New Capital City Plan“, the Diplomat 2/2022, juga menyebutkan keterlibatan besar-besaran RRC dalam membangun ibukota baru Indonesia di Kalimantan Timur. Kishore Mahbubani, dalam “The Genius Jokowi”, The Asean Post, 7/10/2021, keterlibatan Indonesia dalam proyek Belt Road Initiative China antara lain adalah projek Kereta Api Cepat Bandung Jakarta (KCIC), zone turis special di Jawa, the Kayan hydroelectric plant” di Kalimantan Utara, “expansion of the Kuala Tanjung port in Sumatra” dan pembangunan “the Lembeh international airport in Sulawesi”.
Kedekatan Jokowi dengan RRC juga ditunjukkan dengan mem- by-pass aturan perlindungan buruh lokal dari serbuan TKA China. Bahkan dalam masa pandemic, buruh-buruh China datang dengan frekuensi tinggi ke Indonesia, untuk proyek-proyek yang Indonesia seharusnya memberi peluang pada pekerja sendiri. Bahkan, projek tersebut disebutkan telah memberikan upah berkali lipat pada buruh import tersebut.
Problemnya, jika perusahaan asal China yang mempekerjakan buruh-buruh impor ini bangkrut atau bermasalah, bagaimana memulangkan mereka ke negerinya. Misalnya, Tsingshan Industry, pemilik konsesi nikel asal China yang hampir menguasai semua pertambangan nikel kita, sedang mengalami “Short Position” sehingga mengalami kerugian $7 Milyar pada bulan Maret lalu, yang dampaknya mungkin terjadi sampai saat ini. Alfred Chang and Fachry, dalam Financial Review, 9/3/22, memberi catatan “On Monday, one of Tsingshan brokers – a unit of a state-owned Chinese bank – failed to pay hundreds of millions of dollars in margin calls on its nickel positions”. (untuk mempelajari lebih lanjut persoalan Tsingshan Industry, penguasa tambang nikel Indonesia, dapat dilihat di https://internationalbanker.com/brokerage/the-nickel-short-squeeze-what-happened/ . Hal ini penting didalami karena tujuan Presiden Jokowi ke Amerika baru-baru ini bertemu Elonk Musk adalah persoalan bisnis terkait nikel atau baterai).
Paralel dengan dekatnya Jokowi dan RRC, Indonesia mengalami keburukan dari sisi demokrasi, kebebasan sipil, hak-hak asasi manusia, ketimpangan sosial dan terakhir yang terkait langsung pembahasan kita adalah permusuhan terhadap ulama. Selama tahun 2020, Amnesty International Indonesia mencatat sebanyak 101 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan pasal karet UU ITE. Untuk tahun yang sama, 2020, Yayasan LBH Indonesia mencatat sebanyak 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil dan menyebut Indonesia memasuki negara otoriter. Sedangkan permusuhan terhadap Islam terjadi secara massif dengan menciptakan ketakutan anti terhadap Islam, melalui isu radikalisme dan terorisme yang tidak pantas, misalnya membiarkan pendukung-pendukung garis keras Jokowi untuk mengolok-olok santri anak-anak sebagai calon teroris. Menciptakan berbagai sosok-sosok vokalis yang selalu menegasi Islam sebagai agama mulia di Indonesia. Menjelek-jelekan ulama.
Kekuatan anti Islam ini tidak hanya dari masyarakat yang dikelola pemunculannya, namun juga negara, melalui pemerintah, membuat berbagai narasi yang menyudutkan Islam, seperti memfilterisasi pakaian Muslim untuk PNS, menyebarkan isu bahwa Mesjid-masjid di lingkungan pemerintah banyak tersusupi radikalisme, melarang ritual kaum Muslim yang sudah menjadi tradisi, seperti malam takbiran di jalan, dlsb. Pemerintah sendiri misalnya, melalui Menteri Agama, mencoba mendegradasi eksistensi kebudayaan Islam, seperti Adzan Masjid, dengan membandingkannya dengan gonggongan anjing (Seorang diantara pelapor kasus ini ke polisi di Lampung, Bunda Merri, malah dilaporkan balik oleh pendukung Menag, sehingga di penjara dan sedang diadili saat ini). Tak kalah pentingnya, lingkungan kampus pun didorong untuk menyuarakan Gerakan Islamophobia dengan isu bahayanya radikalisme di Kampus (salah satunya adalah Gerakan yang dipimpin Rektor Unila, sebelum ditangkap KPK karena korupsi). Kemudian juga, membubarkan ormas HTI dan FPI, tanpa menunggu keputusan pengadilan. Dan lain sebagainya yang di masa sebelumnya, pasca reformasi, hal seperti digambarkan di atas tidak pernah terjadi. (Bersambung).
(Paper Dr. H. Syahganda Nainggolan, MT, dalam Kongres Umat Islam Sumut ke- 2, di Asrama Haji Medan)
Editor: Ariful Hakim