Oleh Dr. Syahganda Nainggolan
08/26/2022, 15:35 WIB
Ceknricek.com--Pembelahan ala Geertz ini, sering pula tidak diterima oleh berbagai ahli. Harsja Bachtiar, mengutip kutipan Dhurorudin Mashad, mengatakan bahwa priyayi tidak identic dengan abangan. Menurutnya, priyayi mempunyai multi spektrum dalam dirinya seperti melakukan Sholat, puasa namun juga mempraktekkan ajaran mistis ataupun rasionalitas barat. Irfan Afifi, dalam “Saya, Jawa dan Islam” (2019), menemukan fakta bahwa Islam justru merupakan sumber ikatan budaya bagi orang Jawa. Mengutip Nancy Florida, penulis sejarah kolonial dan penerusnya, justru memompakan sejarah palsu sebagai pengingkaran atas berpadunya Islam dan Jawa dalam sejarah kita. Pengingkaran sejarah ini juga ditunjukkan oleh Mansur Suryanegara (2019) misalnya, penulis sejarah kolonial menggambarkan kehancuran Kerajaan Hindu Majapahit akibat serangan Raja Islam Demak. Padahal sejatinya peperangan antara sesama kerajaan Hindu yang menghancurkan Majapahit. Menurutnya, itu adalah taktik colonial untuk menanamkan kebencian orang Jawa yang bernuansa Hindu kepada orang-orang Islam.
Lalu bagaimana kita melihat Islamophobia secara sosiologis di Indonesia?
Kita harus meninggalkan model analisis Clifford Geertz tentang pembelahan kultural itu. Terutama, sepanjang beberapa dekade sebelum era digital, transformasi Indonesia menjadi urban (perkotaan) berlangsung massif, pendidikan dan universitas berkembang pesat, industrialisasi di pulau Jawa masuk ke berbagai pelosok desa. Artinya terjadi benturan budaya dan transformasi budaya selama itu. Sekarang, dalam era digital dan "Big Data" pengertian desa vs. kota melemah. Era digital menciptakan kecepatan dan percepatan masyarakat berinteraksi dengan data dan informasi. Efeknya adalah kehancuran struktural pada kebudayaan lama, dimana hirarki menjadi keharusan.
Hirarki baru dalam struktur masyarakat baru ditandai dengan penguasaan data dan pengendaliannya. Dunia maya dan atau dunia digital dikendalikan Big Machine, seperti Google, FB, Twitter, Instagram, dll. Kata kuncinya adalah algoritma. Anak-anak muda milenial memahami jebakan algoritma, sehingga mereka tahu mana fake, hoax dan fakta. Mereka semakin kritis, baik di desa, maupun kota.
Kemudian, terjadi kesadaran identitas, tanpa menunggu arahan struktural atau afiliasi. Baceprot, misalnya, kelompok musik tiga gadis berjilbab asal Garut, tidak masuk dalam jajaran elit musik Indonesia, versi "gaya lama". Namun, sekarang mereka menjadi salah satu grup musik yang menggemparkan medsos dan identitas Islam. Mereka berkali-kali diundang tour musik metal di Eropa dan lainnya, dengan percaya diri. Dihadapan ribuan pengunjung Konser Metal di Jerman, penyanyi Baceprot berteriak lantang, "Kenapa saya pakai Jilbab? ", tanyanya. Kemudian dia lanjut menjawab, "karena ini simbol perdamaian dan keindahan". Fenomena Baceprot ini adalah fenomena dunia baru, di mana kesadaran perempuan desa versus kota tidak begitu berbeda. Dan semua ini terjadi dalam era digital.
Dalam kasus Ferdy Sambo, misalnya, juga netizen, seperti yang diuraikan Ismail Fahmi, Drone Emprit, tentang perang medsos, mayoritas netizen tidak percaya dengan keterangan awal polisi yang berusaha menutupi kasus tersebut. Bahkan, sebuah anonim, Opposite, membongkar dan mempropagandakan terus menerus berbagai isu terkait kasus ini, membentuk opini perlawanan. Dengan dunia maya, struktur dan hirarki sosiologis lama ala Geertz kehilangan makna.
Jika pembelahan sosial ala Geertz tidak lagi dapat diandalkan dalam membaca peta sosial, bagaimana posisi konflik ataupun kolaborasi? Bagaimana peranan agama dan budaya?
Penjelasan yang paling masuk akal atas pembelahan sosial yang mengandung Islamophobia di Indonesia adalah skenario atau desain kelompok kekuatan tertentu, khususnya kaum oligarki, yang memang ingin menghancurkan kekuatan rakyat. Kekuatan rakyat ini, khususnya jika berbasis Islam, maka akan menjadi benteng melawan ekspansi oligarki menguasai seluruh kekayaan Indonesia. Oleh karenanya, Devide et Impera (pecah belah dan kuasai) adalah agenda yang terencana dari kekuatan oligarki itu. Secara natural, benturan identitas maupun budaya, tidaklah fenomena eksis, kecuali sekali lagi karena skenario jahat. Rakyat Indonesia dan atau umat Islam dapat membangun kolaborasi dan harmoni, jika tidak dirusak oleh kaum oligarki.
Penutup
Dalang gerakan Islamophobia dapat didalami dengan melihat kepentingan global barat, kepentingan RRC dan kepentingan oligarki Indonesia. Melihat fenomena Islamophobia hanya bisa lebih presisi melalui pendekatan kepentingan mereka. Kepentingan mereka untuk menguasai Indonesia akan berbenturan dengan Islam maupun umat Islam yang ideologinya untuk kepentingan sebanyak-banyaknya umat manusia. Sebuah kebalikan dari kepentingan asing maupun oligarki lokal.
Untuk melawan kepentingan mereka, maka konsolidasi umat Islam harus mampu membangun kolaborasi yang paling sedikit mudharatnya (the lesser evil). Kolaborasi maksudnya memainkan sebaik-baiknya strategi dalam melihat kapan bekerjasama dengan kekuatan global barat maupun China, kapan meninggalkannya? Kapan menekan oligarki lokal dan kapan berkolaborasi? Semuanya harus dilakukan secara terdesain oleh kekuatan Islam yang terkonsolidasi dan dalam spirit anti Islamophobia.(Selesai)
(Paper Dr. H. Syahganda Nainggolan, MT, dalam Kongres Umat Islam Sumut ke- 2, di Asrama Haji Medan)
Editor: Ariful Hakim