Ceknricek.com -- Bagi saya, ini soal sederhana.
Bagi saya, ini soal sederhana.
Mengambil untung pribadi dari setiap sen yang berasal dari sumbangan orang lain, hukumnya haram.
Lho kok sumbangan?
Iya, pajak itu sejatinya sumbangan wajib. Sesuatu yang kita sepakati meskipun terpaksa. Kalau sumbangan, pihak yang memberi harus ikhlas. Tak berharap balasan apapun. Baik yang di-wajib-kan maupun yang di-sunnah-kan.
Pajak di negeri kita, belum pantas disebut kewajiban tanpa embel-embel "sumbangan". Sebab, jika hanya "kewajiban", mestinya disertai dengan "hak".
Kewajiban dan hak itu memang seperti dua sisi pada koin yang sama.
Masa sih?
Coba perhatikan ini.
Kamu tertib bayar pajak. Mulai dari cukai ketika membeli rokok di warung. Hingga Pajak Pembangunan (PB1) ketika makan di restoran bintang lima untuk menjamu mertua.
Setiap minggu, ketika membeli strum listrik PLN, juga bayar pajak. Ada Pajak Penerangan Jalan juga Pajak Pertambahan Nilai.
Baca Juga: Kabareskrim: Dua Penyiram Air Keras Terhadap Novel Baswedan Anggota Polri Aktif
Akhir bulan saat gajian, perusahaan juga memotong dan membayarkan pajak penghasilan kamu. PPh 21 Masa namanya. Kecuali gaji kamu sebesar UMR ya. PPh 21 nya memang nol.
Setiap tahun kamu juga bayar Pajak Kendaraan Bermotor untuk kendaraan yang setiap hari kamu pakai bekerja. Walaupun sesekali juga digunakan mengantar istri ke pasar atau kondangan.
Sumber: www.online-pajak.com
Kamu juga mesti bayar pajak untuk rumah yang masih dicicil hingga 10 tahun yang akan datang. Namanya Pajak Bumi Bangunan. Kecuali rumah kamu RSS yang NJOP nya di bawah Rp 1 miliar. Kalau ga salah, memang digratiskan.
Pokoknya, hampir setiap langkah dan tarikan nafas, ada saja pajak yang harus diserahkan kepada Negara ini. Seringnya kecil-kecil sehingga tak terasa. Seperti waktu beli pisau cukur di mini market yang harganya cuma beberapa ribu rupiah. Sesekali tarikannya lumayan. Seperti waktu bayar PBB, PKB, atau kekurangan PPh 29 yang harus dilunasi saat isi SPT sebelum akhir Maret tahun depan.
+++
Sekarang coba ingat-ingat apa hak yang kamu peroleh dari Negara atas semua pajak yang kamu bayarkan itu?
Apakah lingkungan keamanan dan ketertiban perumahan kamu otomatis sudah terjaga tanpa membayar iuran kepada pak RT?
Ya, belum dong.
Dari mana duit untuk membayar satpam dan petugas kebersihan yang mengangkut sampah kita, kalau tak bayar iuran lingkungan RT?
Apakah lampu penerangan di pojok jalan menuju rumah kamu yang sudah mati sejak 3 bulan lalu itu, ada yang perhatikan dan sigap menggantinya?
Hehe kalau lampu teras pak Camat atau kantor Kapolsek pasti segera ada yang ganti.
Baca Juga: IPW: Penanganan Dua Penyerang Novel Harus Transparan
Terus kamu lagi malas bawa kendaraan ke kantor dan ingin naik angkutan umum. Memangnya ada pedesterian atau tempat pejalan kaki dari rumah kamu ke halte angkutan yang disediakan untuk menunggu bus?
Kamu juga masih diwajibkan bayar Iuran BPJS Kesehatan yang Januari depan bakal naik dua kali. Walaupun sebagian saja karena sebagian lainnya dibayar perusahaan.
Iuran itu wajib hukumnya. Sama dengan pajak-pajak tadi, jangan tanya soal hak. Kalau kamu tiba-tiba sakit kepala dan menggigil, wajib ke puskesmas dulu. Ketemu dokter di sana. Kalau dirasakannya perlu, baru nanti dirujuk ke rumahsakit. Jadi, meski kamu udah merasa ga tahan dan ingin mendapat pelayanan segera karena udah bayar BPJS dan pajak-pajak, tetap saja wajib ikutin prosedur.
Mau dilayani lebih baik dan segera, bayar sendiri. Jangan pakai fasilitas BPJS lah.
Sumber: Antara
+++
Dalam situasi ekonomi morat-marit sekarang ini, berdoalah supaya kantor tak melakukan perampingan dan memasukkan nama kamu sebagai salah seorang karyawan yang diberhentikan. Jika sampai demikian, sementara belum ada perusahaan lain yang bersedia menerima dan tabunganpun mulai menipis, kamu harus tegar menghadapinya.
Ketika tiba waktunya, pemerintah yang berwenang akan disiplin menagih pajak-pajak yang menjadi sumbangan wajib kamu. Misalnya PBB dan PKB. Soal kamu sudah dipecat dari kantor, bukan urusannya. Malah kalau kamu telat, mereka sigap pula memutuskan denda yang harus segera kamu lunasi.
Kamu sendiri pula yang harus menghadapi petugas bank yang menagih cicilan rumah. Negara memang tak punya kewajiban membantu kamu cari jalan keluar, atau sekedar talangan, terkait kewajiban yang dulu sudah kamu sepakati saat masih punya penghasilan.
Supaya tak semakin memberatkan, jalan terbaik mungkin segeralah mengalihkan kepemilikan kamu kepada yang berminat. Mudah-mudahan masih ada sedikit pengganti atas uang muka dan cicilan yang sudah dilakukan selama ini. Jika demikian, mungkin bisa digunakan untuk mencari tempat tinggal atau kendaraan sementara yang lebih sesuai dengan keuangan kamu.
Mengapa Negara yang selama bertahun-tahun sebelumnya, telah menerima berbagai pendapatan yang bersumber dari pajak-pajak yang kamu bayar dan mereka pungut, bergeming menolong?
Bukankah sepantasnya kini giliran mereka yang membantu kamu ketika sedang kesusahan?
Nah, makanya pajak itu tak pantas disebut kewajiban. Sebab tak ada hak yang sepadan menyertainya di sana. Jadi, lebih cocok disebut sumbangan wajib saja.
Sumbangan sejatinya pemberian sukarela. Memang agak repot kalau sukarela disebut wajib. Kira-kira seperti zakat bagi kaum muslimlah. Kalau punya rezeki, ada hitung-hitungan yang wajib kamu penuhi. Terutama jika rezeki kamu ingin diberkahi.
+++
Persoalannya, menjadi sangat menjengkelkan bahkan menjijikkan, ketika pajak yang dikumpulkan dari keringat, airmata, bahkan darah kamu itu, disalah gunakan. Walau satu sen sekalipun.
Kalau Negara sedang miskin atau susah sehingga cuma bisa menagih tanpa kemampuan balas membantu saat kita dilanda kesulitan, sudahlah. Anggap saja kita sebagai warga yang cinta dan siap berkorban demi bangsa. Tapi kalau rupiah demi rupiah yang mereka kuasai itu, tak digunakan semestinya, bahkan dipakai foya-foya, sesuka hati, kepentingan pribadi, malah untuk hal-hal yang menyusahkan padahal kitalah yang memberikan, itu kurang ajar namanya.
+++
Novel Baswedan itu digaji dan dibiayai pekerjaannya untuk memberantas korupsi, dengan menggunakan rupiah demi rupiah yang dikumpulkan dari pajak kita. Maka terkutuklah mereka yang mengabaikan kenyataan itu.
Novel Baswedan itu, menjalankan amanah untuk mengejar, menjebloskan ke penjara, hingga mempermalukan mereka yang terbukti mencuri, merampok, dan memperkosa kekayaan Negara yang diperoleh dari keringat, air mata, dan darah kita tadi.
Terus, tiba-tiba ada 2 aparat rendahan yang sejak pendidikan sampai bertugas sebagai Polisi, sepenuhnya menggunakan uang-uang pajak yang kita kumpulkan, dengan seenak udelnya malah berupaya mencelakakan Novel hingga dia cacat seperti sekarang?
Foto: Ashar/Ceknricek.com
Baca Juga: Tersangka Penyerang Novel Baswedan Digiring ke Bareskrim
Pertama, apapun alasannya, sulit sekali sikap dan tindakan mereka itu dimaafkan.
Kedua, sungguh tak masuk akal sehat kita, bagaimana Kepolisian RI bisa kecolongan memiliki aparat dengan perilaku menjijikan dan sangat tidak terpuji demikian. Jika ada anggapan, aparat bawahan korps yang mestinya disiplin itu, cermin dari atasan hingga pimpinan tertingginya, pantas kah?
Ketiga, di mana tanggung jawab Jenderal-Jenderal korps Bhayangkara itu sehingga kita bisa menepis rasa khawatir bahwa sikap brutal dan biadab itu, bukan sekedar puncan gunung es pada aparat institusi yang dipersenjatai dan memiliki kekuasaan terlalu luas tersebut?
Foto: Ashar/Ceknricek.com
+++
Penangkapan 2 terduga pelaku penyerangan Novel Baswedan itu, malah membuat kita semakin jeri. Betapa kekuasaan yang dibiayai dengan uang pajak kita itu, semakin nyata jauh dari amanah.
Padahal Presidennya Joko Widodo.
Atau malah gara-gara mantan tukang kayu yang sempat berpartner dengan Luhut itu, jadi Presiden?
Saya mulai khawatir dia tak ngerti filosofi dan konsep pajak terkait hak-kewajiban warga Negara. Mungkin dia tak paham bagaimana sakit rasanya pembayar pajak yang patuh dan tak pernah korupsi, merasa dikhianati.
Buktinya dia santai saja tuh menghadapi proyek LRT Jabodetabek yang dibiayai hampir Rp30 triliun, padahal sudah mundur 2 tahun dari jadwal, tanpa pernah menunjukkan sikap menyesal dan minta maaf kepada pembayar pajak.
Pura-pura lupa?
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini
Editor: Farid R Iskandar