Surplus yang Bikin Susah | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Republika

Surplus yang Bikin Susah

Ceknricek.com -- Inikah gambaran gemah ripah loh jinawi itu? Barang-barang kebutuhan berlimpah, harganya pun sangat murah. Tapi mengapa rakyat justru menderita?

-------

Indonesia mengalami surplus daging ayam sebanyak 517.800 ton sehingga ayam milik peternak dihargai sangat murah yakni berkisar Rp10.000 – Rp15.000 per kg. Telur juga begitu. Tahun ini produksi telur surplus 26.100 ton. Harga si bundar ini pun selalu saja di bawah harga produksi. Tak berhenti di sini. Petani garam juga menjerit karena jatuhnya harga si asin. Surplus stok garam menjadi biang keladi. Di sisi lain, gudang-gudang Bulog juga sudah penuh dengan beras, termasuk beras impor.

Sayangnya, harga daging ayam, telur, dan garam hanya murah di tingkat petani saja. Sedangkan di tingkat konsumen akhir harganya sudah berlipat ganda.

Peternak mandiri meyakini, harga ayam potong terpuruk karena terjadi kelebihan pasokan di pasar. Daging ayam yang membanjiri pasar itu datang dari perusahaan peternakan terintegrasi (integrator). Saking banyaknya ayam di pasar, cold storage yang dimiliki masing-masing rumah potong ayam saat ini dalam kondisi penuh. Bahkan, menurut Kemendag, sebagian besar rumah potong harus menyewa cold storage baru untuk menyimpan karkas beku.

Sumber: Kata Data

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak 268 juta jiwa. Konsumsi daging ayam Indonesia tercatat 12,13 kg per kapita per tahun. Kementerian Pertanian memproyeksikan produksi daging ayam nasional tahun ini sebanyak 3,6 juta ton, sedangkan kebutuhan daging ayam nasional mencapai 3,3 juta ribu ton. Dengan begitu terjadi surplus sebanyak 396 ribu ton.

Telur

Kondisi tak jauh beda terjadi pada telur. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita, menyebut ada surplus 26.100 ton produksi telur. Akibatnya harga telur di bawah harga produksi.

Sumber: Potret24

Surplus telur dan rendahnya harga komoditas ini sudah terjadi sejak tahun lalu. Itu sebabnya pada Oktober 2018 Asosiasi Peternak Layer Nasional (PLN) mengambil keputusan mengafkir dini 33 juta ayam layer. Dengan cara itu produksi telur akan berkurang dan harga diharapkan bisa naik.

Para peternak sepakat mengurangi 15% dari 220 juta populasi ayam layer sejak September tahun lalu. Alasannya sederhana, yakni harga jual telur Rp15.000 per kg sedangkan biaya produksinya menyentuh angka Rp18.000 per kg.

Opsi afkir diambil oleh peternak karena mereka memilih untuk tidak tersandera utang dengan pengusaha pakan ternak. Lagipula belum ada titik terang kapan harga jual telur di tingkat peternak akan kembali normal.

Garam

Kelebihan pasok juga terjadi pada garam. Korbannya lagi-lagi rakyat kecil: petani garam. Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGRI) melaporkan harga garam sudah hancur. Garam produksi rakyat kualitas unggul (Kw I) hanya dihargai Rp650 per kg. Garam KW II dan KW III lebih buruk lagi: Rp550 per kg dan Rp400 per kg. “Karena over stok,” ujar Ketua APGRI Jakfar Sodikin menyebut penyebab jatuhnya harga si asin. “Pemerintah harus bertanggung jawab,” sergahnya kepada Bisnis, Senin (1/7).

Sumber: Republika

Petani garam di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, bahkan mengaku garam hasil produksi mereka hanya dihargai Rp300 per kg. Jika stok garam melimpah, sangat dimungkinkan harga si asin ini bisa lebih rendah lagi, bahkan tidak laku karena sekarang saja sudah murah. "Kalau sekarang Rp300 per kg, mungkin saat panen raya, bisa hanya dihargai Rp50 per kg," ujar seorang petani garam seperti dikutip Republika, Kamis (4/7). Harga ideal garam yang diinginkan petani Rp1.000 per kg. Dengan harga ini petani bisa menutupi kebutuhan hidupnya.

Jakfar menuntut tanggung jawab pemerintah karena dia menilai hancurnya harga garam antara lain gara-gara kebijakan impor tahun lalu. Selain itu, juga karena sedang musim panen garam. Di sisi lain, Jakfar meminta pemerintah tidak mengabulkan keinginan para pengguna untuk meminta tambahan kuota impor sebesar 400.000 ton.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat per 21 Juni 2019 ada total 340.223,54 ton produksi garam rakyat pada 2018 yang belum terserap pasar. Di samping itu, ada pula stok berupa 198.000 ton produksi PT  Garam.

Seperti kata Jakfar, panen garam di dalam negeripun sudah dimulai. Sepanjang Juni 2019, KKP mencatat produksi garam oleh petambak dan PT Garam mencapai 4.218,70 ton. Rinciannya, garam rakyat sebanyak 1.418,7 ton, sedangkan PT Garam sebanyak 2.800 ton.

Sekadar mengingatkan, pada tahun ini Kementerian Perindustrian mengalokasikan impor garam sebesar 2,7 juta ton. Pada Februari lalu kementerian ini menerbitkan rekomendasi impor 2 juta ton. Garam impor ini untuk kebutuhan industri chlor alkali plant (CAP), dengan volume masing-masing 1,2 juta ton dan 580 ribu ton. Selain itu, bahan baku garam industri juga diperlukan oleh industri pulp dan kertas, farmasi, serta makanan dan minuman.

Ekspor

Selain daging ayam, telur, dan garam, beras juga menumpuk di gudang-gudang Bulog. Dua hari lalu Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso (Buwas), meminta izin pemerintah melepas setidaknya 1 juta ton beras impor. Sampai sejauh ini belum ada jawaban soal itu. Bahkan pemerintah sendiri pening mau dikemanakan beras sebanyak itu.

Sumber: kumparan

Sejatinya, banyak jalan untuk mengatasi masalah surplus tersebut. Selain menekan produksi dan menghentikan impor, cara lainnya adalah mencari pasar di luar negeri. I Ketut Diarmita mengatakan perlu dilakukan akselerasi atau percepatan ekspor untuk mengatasi masalah ini over-produksi.

Jalan menekan produksi, adalah cara yang terpaksa. Hanya dilakukan dalam jangka pendek dan darurat saja. Jika mungkin, biarkan peternak memproduksi sebanyak-banyaknya. Pemerintah mencari cara bagaimana produksi rakyat itu terjual dengan harga menguntungkan. Ekspor adalah jalan yang benar. Jangan lantaran keseringan impor, pemerintah menjadi linglung, begitu diajak bicara ekspor. Benar kata Jakfar, “Pemerintah harus bertanggung jawab!”



Berita Terkait