Menjawab renungan akhir tahun menkes soal teknologi kesehatan (bagian 3 dari 3 tulisan)
Ceknricek.com--Baru-baru ini ada pasangan suami-istri tua yang periksa di poliklinik spesialis atas rujukan dokter puskesmas, sang bapak 70 tahun dan istrinya 65 tahun. Sang istri sudah 3 bulan mengeluh sakit kepala akibat ada benjolan yang semakin besar di kepala belakang. Dari Foto CT scan, benjolan itu diduga tumor ganas, apalagi didukung adanya gambaran kerusakan tulang di sebagian ruas tulang belakangnya. Artinya selain tindakan operasi, proses pengobatan penyakit si ibu ini masih akan panjang, perlu radioterapi dan mungkin juga kemoterapi.
Saat itu, pasangan ini periksa sebagai pasien umum karena belum punya BPJS, jadi untuk tindak lanjutnya kami minta untuk mengurus BPJS lebih dulu. Pasangan ini semakin kebingungan karena proses pendaftaran kepesertaan BPJS sampai mengurus rujukan untuk periksa dengan BPJS semuanya mesti via aplikasi online. Pasangan ini telepon genggam pun tidak pernah punya, apalagi tahu soal aplikasi JKN atau lainnya. Untunglah ada seorang pemuda, tetangga desa yang kemudian berbaik hati dan bersedia membantu pasangan itu menyelesaikan urusan BPJS nya.
Cerita di atas adalah contoh nyata bahwa penggunaan sebuah aplikasi JKN yang simple saja bisa memperlebar kesenjangan terkait keterjangkauan layanan kesehatan bagi mereka yang secara intrinsik berada dalam situasi sosial tertentu seperti pasangan suami-istri tersebut. Tidak adanya kemampuan mengakses teknologi secara memadai, apapun alasannya, tentu tidak saja dialami oleh pasangan tersebut, mengingat bahwa menurut data Kemendagri per Desember 2021 (https://dataindonesia.id), ada 64,15 juta penduduk yang tidak pernah sekolah, dan 64,68 juta yang cuma tamat SD atau tidak tamat/ putus sekolah SMP. Dari taraf pendidikannya, separoh populasi Indonesia berpotensi untuk tidak bisa mengakses dan memahami teknologi komunikasi untuk mengurus BPJS. Ironisnya lagi, menurut Ketua Komisi X DPR, angka mengenai tingkat pendidikan ini samasekali tidak pernah berubah selama kurun waktu 15-20 tahun terakhir ini. (https://www.kompas.com).
Contoh lain diperlihatkan oleh menkes di media sosialnya sebelum beliau mengikuti Berlin Marathon baru-baru ini. Menkes bercerita bahwa dia baru saja menjalani Check-up Jantung dengan peralatan mutakhir yang ada di Pusat Jantung Harapan Kita di Jakarta. Tujuannya tentu untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki teknologi kesehatan yang paling mutakhir. Pertanyaannya adalah, Check-up Jantung seperti diceritakan oleh menkes ini untuk rakyat Indonesia yang mana? Apakah berlaku untuk 200 juta rakyat peserta BPJS Klas 3 (termasuk hampir 100 juta rakyat miskin yang iurannya dibayari negara/PBI), atau hanya untuk orang kaya di Jakarta saja, atau hanya untuk petinggi negeri yang kebetulan mau ikut Berlin Marathon saja.
Tak seorang (dokter) pun menolak Teknologi Kesehatan, Asal Bermanfaat dan Tepat Guna
Menkes berulang meminta dokter untuk terbuka dan menerima kehadiran Teknologi Kesehatan seperti Pemeriksaan Genomik dan Artificial Intelligence (AI). Saya rasa tak seorangpun dokter yang menolak kehadiran teknologi kesehatan moderen tersebut. Persoalannya adalah teknologi kesehatan tersebut tidak cuma hadir di ruang hampa, atau di laboratorium riset. Untuk Indonesia, teknologi kesehatan tersebut harus diuji lebih dulu manfaat dan kegunaannya di tengah masyarakat setempat, bukan di Singapura, di Inggris, atau di Amerika, negara asal dari teknologi tersebut.
Kenapa?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), teknologi adalah ‘aplikasi ilmu pengetahuan yang digunakan untuk memecahkan masalah praktis dalam kehidupan sehari-hari’. Bicara tentang teknologi kesehatan yang tepat guna, ada contoh menarik yaitu ketika menkes, di sebuah media online, menyatakan bahwa (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7171798/menkes-curhat-sengkarut-polemik-pasien-kanker-di-ri-antreannya-bisa-3-bulan ) “salah satu masalah terbesar penanganan kanker di Indonesia adalah skrining kanker yang masih tergolong rendah, sehingga banyak pasien yang diketahui mengidap kanker setelah stadium lanjut”.
Pernyataan ini 100% benar dan tidak salah. Yang menyesatkan adalah ketika menkes tiba-tiba mengaitkan skrining kanker dengan ketersediaan alat PET (Positron Emission Tomography) scan sebagai alat deteksi kanker yang hanya ada 3 dan semuanya di Jakarta. Kelanjutannya sudah bisa ditebak, yaitu program beli alat super mahal sebanyak 21 Unit PET scan untuk RS Vertikal (RSV). Rakyat mesti tahu bahwa deteksi dini itu tempatnya di Puskesmas, bukan di RSV/ RS Rujukan, sedangkan PET scan tempatnya di RS Rujukan tersier, dan fungsinya untuk mendeteksi anak sebar/ penyebaran kanker, tidak ada kaitan samasekali dengan deteksi dini kanker.
Di Indonesia, kanker leher rahim atau Ca Servik masih menempati urutan ke dua penyebab kematian ibu tersering setelah kanker payudara atau Ca Mame, padahal di bagian dunia lainnya angka kejadian Ca Servik sudah jauh berkurang dan tidak lagi termasuk dalam 5 besar. Permasalahan utamanya adalah deteksi dini dan skrining yang samasekali belum menjangkau masyarakat pada umumnya, sehingga 70% kasus terdeteksi pada stadium lanjut (kemkes.go.id). Dengan deteksi dini, lebih dari 90% pasien bisa tertolong (5 years survival rate > 90%), tetapi bila sudah terjadi penyebaran, hanya 11% yang bisa tertolong (American Cancer Society).
Masih tingginya angka Ca Servik di Indonesia disebabkan oleh cakupan skrining yang masih rendah sekali. Untuk di Indonesia, test IVA masih jadi alat skrining pilihan dengan biaya yang paling terjangkau dibandingkan dengan test DNA HPV atau dengan Pap Smear. Hingga tahun 2021, hanya 6,83% wanita usia 30-50 tahun yang menjalani skrining dengan test IVA, dan tahun 2023 hanya mencapai 7,02% dari target 70% (Pidato Pengukuhan Prof. Dr.dr. Junita Indarti, SpOG -K, di Universitas Indonesia, 19 Agustus 2023) (https://www.ui.ac.id>the-high-number).
Target 70% yang dianjurkan oleh WHO ini adalah upaya untuk eliminasi Ca Servik pada tahun 2035. Capaian Indonesia yang cuma 7,02% ini jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, dengan skrining HPV yang mencapai 40%, dan Vietnam yang mencapai 20%. Penyebabnya banyak, ada faktor seperti resistensi budaya dan kepercayaan misalnya.
Dalam urusan deteksi dini Ca Servik, Test IVA ini adalah teknologi paling tepat guna, agar >90% pasien bisa tertolong. Sedang PET scan (untuk deteksi anak sebar kanker) membantu pasien kanker stadium lanjut yang angka bisa bertahan hidupnya cuma 11%. Jadi sepertinya ada logika berfikir sesat dengan mendahulukan teknologi canggih (PET Scan) yang biaya pemeriksaannya 12-15 juta rupiah, untuk mereka yang harapan hidupnya pendek, daripada program memperluas cakupan test IVA (gratis bagi peserta JKN dan 25 ribu rupiah bagi pasien umum) bagi mereka yang harapan hidupnya masih diatas 90%, dan cakupannya masih jauh sekali dari target 70%. Bukannya menyepelekan teknologi dan kegunaan PET Scan. Namun, jika menengok penjelasan tentang kegunaan teknologi di atas, pertanyaannya adalah ada kepentingan apa sehingga pengadaan PET Scan diprioritaskan di saat cakupan tes IVA masih jauh lebih rendah dari target?
Teknologi Canggih tidak bisa menutupi Kegagalan Program Kesehatan Dasar
Puskesmas atau Primary Health Care (PHC) adalah satu-satunya tempat yang bisa menjangkau layanan kesehatan dalam segala aspek mulai dari promosi dan prevensi sampai layanan kuratif bagi hampir semua rakyat. Puskemas adalah garda utama yang paling dekat, dan tersedia di hampir seluruh kecamatan di Indonesia. Pemberdayaan puskesmas adalah sebuah Langkah yang akan paling bermakna dalam upaya pemberdayaan masyarakat terkait kesehatan.
Tak seorang dokterpun tidak mengakui kecanggihan dan manfaat AI, atau teknologi genomik, maupun alat PET scan di bidang kesehatan. Sebagai kepanjangan tangan negara dalam memenuhi hak kesehatan rakyat, menkes boleh bicara apapun tentang teknologi kesehatan yang paling canggih, seperti Robotic Surgery, bahkan teknologi kesehatan yang dari luar angkasa sekalipun. Tetapi dengan syarat bahwa semua persoalan kesehatan dasar bagi rakyat telah terselesaikan, dan layanan kesehatan spesialistik yang berkualitas telah terjangkau secara adil dan merata.
Faktanya, data Bappenas (Katadata.co.id 5/6 2023) memperlihatkan 9 dari 10 indikator Kesehatan Dasar pada RPJMN 2020-2024 gagal mencapai target yang diharapkan. a.l. imunisasi dasar lengkap bayi yang baru mencapai 63,17% dari target sebesar 90%, angka balita stunting yang masih tinggi di angka 21,6% dari target 14%, eliminasi Malaria yang baru mencapai 372 dari target 405 Kabupaten/ Kota, eliminasi Kusta hanya mencakup 403 dari target 514 Kabupaten/ Kota, insidensi TBC yang masih di angka 354 dari target 297/ 100 ribu populasi, persentase balita wasting (bertubuh kurus) masih 7,7% dari target 7%, dan angka perokok anak yang masih 9,1% dari target turun sampai 8,7%. Kegagalan lainnya adalah Puskesmas yang terakreditasi hanya mencapai angka 56,4% dari target 100%, dan pemenuhan tenaga kesehatan di Puskesmas sesuai standar yang hanya mencapai 56,07% dari target sebanyak 83%.
Semua kegagalan tersebut di atas terkait dengan lemahnya peran Primary Health Care (PHC), dan jelas bukan disebabkan oleh tidak adanya teknologi. Deklarasi WHO terkait Universal Health Coverage (UHC), tg 21/9/2023 (https://www.who>health) mendesak pemerintah di negara LAMIC (Low and Middle Income Countries) untuk berkomitmen secara Politik dan Finansial membangun PHC sebagai Prioritas Pembangunan Nasional. Bila diterapkan secara efektif, pemberdayaan PHC ini bisa memenuhi 90% layanan kesehatan esensial yang dibutuhkan masyarakat.
Selain itu, pemberdayaan PHC yang efektif akan bisa meningkatkan usia harapan hidup sebesar 3,7 tahun pada th. 2030 nanti. Kalau bicara tentang kebutuhan dokter, saudara menkes mati-matian mengikuti kriteria WHO, jadi patut dipertanyakan sejauh mana Deklarasi WHO soal pemberdayaan PHC ini diprioritaskan? Lebih jauh lagi, dari dana pinjaman World Bank yang 63 Trilliun itu, seberapa banyak yang dikucurkan untuk pemberdayaan PHC ?
Peran teknologi adalah sebagai tuas, atau alat ungkit untuk mengamplifikasi kemampuan intrinsik masyarakat maupun perseorangan dalam menyelesaikan masalah kesehatannya. Bagaimana mungkin program promosi dan prevensi bisa berjalan bila nakes sesuai standar tidak tersedia. Menurunkan balita stunting dan memenuhi target imunisasi dasar lengkap harus lebih didahulukan daripada menghadirkan teknologi Genomik. Menghadirkan dokter gigi untuk lebih dari 3000 puskesmas jauh lebih bermanfaat daripada program internetisasi Puskesmas dengan Elon Musk, karena rakyat yang sakit gigi tidak bisa dicabut giginya via zoom.
Teknologi itu bisa bermanfaat dan tepat guna bila masyarakat sudah diberdayakan dan punya kemampuan intrinsik yang diperlukan, sehingga bisa menempatkan teknologi pada tempatnya yang paling pas dan optimal. Demikian ungkap Kentaro Toyama, seorang professor di University of Michigan, School of Information, dalam bukunya yang berjudul: ‘Geek Heresy, Rescuing Social Change from the Cult of Technology’ (terbit th.2020). Beliau juga mengingatkan kita untuk berhati-hati kepada pejabat atau politisi yang menghadirkan teknologi sekedar untuk memberi kesan seolah mereka adalah problem solver, dan seolah semua masalah yang ada adalah soal teknologi. Sepertinya, prof Kentaro Toyama sudah bisa meramalkan bakal hadirnya seorang pejabat/ politisi bidang kesehatan tersebut seperti yang kita alami saat ini.
Sekali lagi, jika boleh bertanya, sebetulnya semua teknologi kesehatan yang disodorkan Menkes ini, untuk siapa? Jika untuk rakyat, untuk rakyat yang mana?
#Zainal Muttaqin; Praktisi Medis dan Pengampu Pendidikan Dokter Spesialis
Editor: Ariful Hakim