Telaah Kedokteran Atas Testimoni Petinggi Negeri: Benarkah Mereka Terkena Stroke dan Sembuh Oleh DSA Dr.Terawan ? | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Telaah Kedokteran Atas Testimoni Petinggi Negeri: Benarkah Mereka Terkena Stroke dan Sembuh Oleh DSA Dr.Terawan ?

Ceknricek.com -- Tugas seorang dokter adalah berusaha menyembuhkan penyakit pada pasiennya. Tidak semua temuan kelainan pada pemeriksaan penunjang bisa dimaknai sebagai suatu penyakit, dan sebaliknya tidak semua penyakit bisa diketahui dari hasil pemeriksaan penunjangnya.

Hal ini disebabkan adanya variasi normal yang selalu ada pada banyak struktur dan organ tubuh manusia. Contoh sederhana adalah letak dari usus buntu (appendix atau umbai cacing). Pada 2/3 manusia usus buntu ini terletak dalam rongga perut, di belakang/ dibalik usus besar. Tapi ada 1/3 manusia yang usus buntunya terletak di rongga panggul berdekatan dengan saluran kemih. Sehingga bila terjadi peradangan (sakit usus buntu) gejala dan tandanya akan lebih mirip Infeksi saluran kemih.

Stroke, secara definisi kedokteran (https://www.mayoclinic.org.), adalah terjadinya gejala gangguan saraf otak akibat gangguan aliran darah di otak. Gejala-gejala ini antara lain kelemahan gerak atau rasa kebas/ ba’al pada separuh sisi tubuh, gangguan bicara atau kemampuan memahami pembicaraan orang, bisa bicara tapi pelo, gangguan perilaku, gangguan berbahasa dan gangguan lapangan penglihatan.

Semua gejala ini terjadi akibat dari proses kerusakan dan/ atau kematian sejumlah sel-sel saraf di bagian otak tertentu. Sel-sel saraf ini mengalami gangguan, kerusakan sampai kematian disebabkan oleh terganggunya pasokan darah ke bagian otak terkait.

Foto: Istimewa

Pada mulanya, gejala-gejala tersebut diatas bersifat hilang timbul. Biasanya pulih kembali dalam tempo kurang dari 24 jam, yang dikenal sebagai Transient Ischemic Attack (TIA) atau serangan “stroke sementara”. TIA adalah peringatan dini untuk stroke (https://www.ncbi.nlm.nih.gov ), tetapi hanya 30% dari pasien yang akhirnya benar-benar mengalami stroke dengan gejala-gejala stroke yang menetap. Dengan kata lain, pada 70% dari pasien, gejala-gejala ini akan membaik dengan sendirinya, bukan karena pengobatan (apalagi karena diobati dengan DSA Dr. Terawan), meskipun masih mungkin terulang lagi.

Bila telah benar-benar stroke, gejala- gejalanya akan menetap karena kerusakan dan kematian pada sel-sel saraf otaknya juga menetap. Sekalipun gangguan pasokan darah atau sumbatannya bisa dipulihkan, gejala-gejala stroke nya akan menetap dan tidak akan pulih, karena pada dasarnya gejala-gejala tersebut disebabkan kerusakan/ kematian sel-sel sarafnya, dan bukan karena sumbatan aliran darahnya.

Perbaikan dan pemulihan dari gejala- gejala stroke tadi memerlukan waktu beberapa bulan sampai beberapa tahun dibantu proses terapi fisik dan terapi wicara. Selain melatih kekuatan otot yang lemah, proses perbaikan ini juga terkait dengan pertumbuhan cabang-cabang baru (sprouting) dari sel-sel di sekitarnya yang selamat dari stroke.

Proses perbaikan pasca stroke akan terjadi dalam waktu paling cepat 6-9 bulan (bukan instant, apalagi dalam waktu beberapa menit setelah dilakukan DSA), dan data medis membuktikan bahwa 50% pasien stroke akan berakhir dengan gejala sisa/ cacad yang menetap, misalnya kelemahan separoh sisi tubuh, kesulitan bicara, dsb.

TIA atau Stroke Sementara ini akan berulang pada 80% pasien, bahkan sebagian akan menjadi stroke yang menetap. Untuk mencegah serangan ulang kita mesti mencari tahu dan memastikan penyebabnya (https://www.webmd.com ). Jadi pencegahan stroke haruslah sesuai dengan penyebabnya, apakah penyakit kronis/ menahun seperti hipertensi atau kencing manis yang dalam jangka panjang akan merusak saluran darah yang kecil (small vessel disease).

Foto: Istimewa

Apakah penyakit gangguan irama jantung yang memudahkan terbentuknya bekuan/ gumpalan darah yang bisa mengalir dan menyebabkan penyumbatan di otak, apakah memang terdapat sumbatan/ plak pada saluran darah besar yang memasok otak (large vessel disease), ataukah memang ada kelainan darah (gangguan koagulasi) yang membuat darah jadi lebih mudah menggumpal.

Dalam ilmu kedokteran modern, DSA punya peran pada diagnosa stroke yang terkait dengan Large Vessel Disease (diameter lebih dari 0,1mm). Tidak mungkin untuk melihat ada tidaknya Small Vessel Disease, yang diameter terbesarnya saja kurang dari 0,1mm atau 100 Mikro Mili (https://www.sciencedirect.com ).

Apalagi bila stroke-nya terkait dengan kelainan darah, penyakit jantung, dan penyakit kronis seperti hipertensi dan kencing manis yang berpotensi menimbulkan stroke akibat adanya Small Vessel Disease.

Bagi yang benar-benar mengalami stroke, kerusakan dan kematian permanen sel-sel saraf otak ini masih bisa diminimalisir (bukan dicegah) pada fase dini (beberapa jam pertama) dengan pemberian Obat Trombolitik (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov ). Obat yang paling banyak dipakai, Alteplase, isinya r-TPA (menurut pedoman dari ESO/ European Stroke Organization 2021, boleh diberikan paling lambat 6 jam pasca terjadinya stroke).

Atau Fibrion, isinya Streptokinase (menurut pedoman AHA/ American Heart Association 2021, boleh diberikan paling lambat 4,5 jam pasca terjadinya stroke). Sedangkan Heparin yang ditambahkan pada DSA Dr Terawan (Intra Arterial Heparin Flushing) tidak pernah disebut-sebut dalam Pedoman Terapi Stroke baik di Eropa maupun di USA karena terbukti tidak bisa meluruhkan bekuan darah yang sudah terbentuk. Apalagi pada pasien stroke yang sudah lama.

Foto: Istimewa

Selama ini Heparin memang selalu digunakan pada saat prosedur DSA dan intervensi vascular lainnya (oleh spesialis Radiologi, Neurologi, Bedah Saraf, dan spesialis Jantung). Tujuannya bukan untuk terapi tetapi mencegah resiko penggumpalan darah saat dilakukan tindakan tersebut, yang akan menyebabkan kondisi stroke yang lebih berat.

Lagian pula tolok ukur keberhasilan terapi dan kesembuhan penyakit tentu tidak cukup dinilai hanya berdasarkan pengakuan subyektif/ perasaan pasien, tetapi haruslah berdasarkan kriteria obyektif yang dapat diukur dengan pemeriksaan medis.

Expert Opinion (pendapat ahli) saja hanya menduduki kasta ke 7 (terbawah) sebagai bukti kebermanfaatan suatu obat atau tindakan medis. Jadi, testimoni perorangan, dari seorang presiden sekalipun, merupakan perasaan subyektif yang secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan dan benar-benar tidak punya tempat sebagai tolok ukur keberhasilan atau kegagalan terapi medis.

Selanjutnya, berdasarkan pemahaman dasar sains tentang TIA dan Stroke di atas, mari kita telaah bersama secara kritis, mengapa banyak petinggi negeri di Indonesia yang ber-testimoni sembuh dari stroke setelah pengobatan dengan IAHF (DSA Dr Terawan).

Foto: Istimewa

Padahal, tindakan DSA sendiri hanya berguna pada sebagian pasien stroke yang terkait dengan Large Vessel Disease, bukan semua stroke. Sebelum kita bahas beberapa testimoni perorangan, beberapa hal yang bisa disimpulkan secara umum antara lain:

  1. Apakah para petinggi tersebut memang sejak awal bukan pasien stroke/ tidak pernah mengalami stroke, karena tidak jelas menunjukkan gejala dan tanda-tanda stroke.
  2. Kalaupun ada yang sempat mengalami gejala/ tanda awal serangan stroke (TIA)- sangat mungkin mereka termasuk dalam kelompok 70% pasien yang membaik dengan sendirinya (meskipun tidak diberikan pengobatan apapun).
  3. Kalaupun ada yang benar-benar mengalami stroke, tapi bukan stroke karena Large Vessel Disease, logika sains sederhana saja sulit memahami mereka sembuh setelah dilakukan IAHF (DSA Terawan).
  4. Kalaupun ada yang benar-benar stroke fase dini yang membaik setelah IAHF, jangan-jangan Dr Terawan menambahkan obat atau zat lain (yang masih beliau rahasiakan) yang bisa meluruhkan bekuan darah yang baru terbentuk, karena terlalu banyak bukti bahwa Heparin bukan zat/ obat yang bisa meluruhkan bekuan darah, bahkan yang masih baru terbentuk.
  5. Bagi mereka/ pasien-pasien yang tidak pernah membaik setelah IAHF (dan tentunya belum/ tidak berkesempatan untuk memberikan Testimoni-nya), mereka adalah kelompok yang memang sudah mengalami stroke beneran, yang tidak boleh kecewa atau marah karena menurut data medis 50% Stroke akan menyisakan cacad menetap dan kebetulan mereka termasuk dalam kelompok tersebut.

Testimoni dari Bp. Mahfud MD

Beliau bercerita periksa ke Dr T pada tahun 2012 karena leher kaku saat menoleh. Pada foto tampak benjolan yang menyumbat aliran darah. Lalu dimasukkan kateter di pangkal paha. Begitu dimasukkan, sedikit demi sedikit sumbatan hilang. Selanjutnya kaku leher, sakit pinggang, dan sakit di kaki pun langsung hilang.

Bagi tenaga medis/ perawat dan mahasiswa kedokteran- pun jelas tahu bahwa keluhan yang disampaikan oleh Bp Mahfud MD tidak sedikitpun menggambarkan gejala/ tanda penyakit stroke, melainkan gejala/ tanda penjepitan saraf tulang belakang (di leher dan di pinggang). Kesimpulan pertama adalah Bp Mahfud MD secara klinis medis bukan pasien Stroke, dan kedua bahwa tindakan DSA Dr T (IAHF) adalah obat mujarab untuk gejala/ keluhan terkait penjepitan saraf tulang belakang.

Abdullah Machin, DR., dr

Testimoni dari Bp. Yusril Ihza Mahendra (YIM)

Bp YIM bercerita pada hari Rabu, 30 Oktober, merasakan sakit kepala hebat dan harus dilarikan ke RS Puri Cinere. Dokter menyatakan bahwa Bp YIM kekurangan oksigen, lalu beliau pulang meski masih terasa pusing.

“Sampai beberapa detik, saya merasa kehilangan keseimbangan, lalu sadar lagi”. Keesokan harinya, karena masih merasa pusing Bp YIM memutuskan untuk ke

RSPAD. Setelah diperiksa diketahui ada 2 saluran darah ke otak yang mengalami penyumbatan dan penyumbatan ini yang menyebabkan asupan O2 ke otak minim. Dua pembuluh darah ke otak yang tersumbat dibersihkan. Dia menyaksikan semua tindakan darurat tersebut melalui layar komputer.

“Hanya kira-kira 15 menit, darah dan oksigen ke otak normal kembali dan pusing kepala saya hilang sama sekali”.

Kesimpulannya, keluhan Bp YIM bisa jadi merupakan gejala awal stroke yang disebut TIA. Tapi pada stroke atau TIA, nyeri kepala ini hampir selalu disertai tanda-tanda stroke lainnya seperti kelemahan atau rasa kebas/ baal pada separoh bagian badan.

Nyeri kepala hebat juga bisa jadi satu-satunya tanda Stroke pada perdarahan Otak subaraknoid. Pastinya Bp YIM tidak mengalami Perdarahan Subaraknoid. Keluhan ini membaik setelah dilakukan IAHF. Andaikata benar terjadi penyumbatan pada dua pembuluh darah otak pada Bp YIM, berarti sudah terjadi stroke yang dalam beberapa menit saja pasti menyebabkan adanya sel otak yang rusak/ mati.

Apalagi tindakan DSA-IAHF dilakukan lebih dari 24 jam sejak keluhan nyeri kepala hebat itu terjadi. Jadi diagnosa stroke ini terlihat aneh dan patut diragukan karena Bp YIM tidak pernah memperlihatkan gejala maupun tanda-tanda gangguan fungsi saraf otak pada umumnya, sejak sebelum dilakukan tindakan DSA-IAHF.

Berdasarkan pedoman AHA maupun ESO, terapi trombolytic (meluruhkan bekuan darah yang menyumbat) hanya diperbolehkan sebelum lewat 4,5 sampai 6 jam setelah terjadi gejala awal stroke. Bila lewat batas waktu tersebut maka resiko terjadinya perdarahan yang fatal amat tinggi.

Testimoni Bp Dahlan Iskan

Pak DI bercerita bahwa cuci otak (DSA-IAHF) yang dilakukannya sekedar mencoba, ingin mengetahui bagaimana rasanya, walaupun secara medis tidak jelas indikasinya. Jadi jelas bahwa Pak DI tidak pernah memiliki gejala maupun tanda-tanda mengalami stroke, dan sepertinya banyak sekali mungkin ribuan pasien seperti Pak DI yang dilakukan tindakan DSA-IAHF oleh Dr Terawan tanpa dasar/ indikasi yang jelas.

Testimoni Pak DI bukan testimoni tindakan cuci otak sebagai pengobatan stroke, lalu untuk apa ? Pertanyaannya, apakah etis seorang dokter melakukan tindakan pengobatan tanpa dasar/ indikasi medis yang jelas ?

Ada yang menarik dari testimoni Pak DI terkait (dalam postingan yang sama) Lambang Lexus vs Mercy (Lexus menggambarkan pembuluh darah balik di otak yang mengalami penyumbatan, dan Merci menggambarkan penyumbatan yang sudah terbuka, katanya).

Pak DI memang bukan seorang dokter, jadi wajar kalau beliau tidak faham tentang apa yang dikenal sebagai Variasi Normal (suatu perbedaan/ kelainan anatomi tetapi bukan suatu penyakit).

Prof. Hasan Machfoed (http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/02/19/membersihkan- gorong-gorong..), dalam unggahannya menjelaskan bahwa pada simbol Lexus, pembuluh darah belum penuh terisi kontras. Bila penuh terisi kontras maka akan berubah bentuk jadi symbol Merci. Jadi tidak ada/ tidak pernah terjadi penyumbatan pembuluh darah, yang ada adalah perbedaan fase pengisian zat kontras/ perbedaan waktu pengisian kontras pada pembuluh darah Vena.

Fakta lain yang masyarakat layak untuk tahu adalah adanya Variasi Normal/ perbedaan Anatomi Pembuluh darah di Otak (bukan suatu penyakit, tapi kelainan yang ada sejak lahir dan sampai kapanpun tidak pernah menyebabkan gejala penyakit).

Dari informasi yang bisa diunduh di Pub Med dan Google Scholar (Goyal G dkk./Neurointervention/2016;11:92-98, dan Alper F dkk./Cerebrovasc Dis./2004;18:236-239 ), terbukti bahwa Anatomi pembuluh Vena di Otak yang simetris sesuai symbol Mercy hanya dimiliki oleh 31-67% manusia dan sebaliknya Anatomi yang tidak simetris sesuai dengan symbol Lexus normalnya ditemukan pada 23-69% manusia (bukan akibat dari penyumbatan atau stroke, memang asli/ bawaan lahir seperti itu).

Jadi informasi kepada publik dan pasien bahwa gambaran pembuluh Vena otak yang tidak simetris sesuai simbol Lexus sebagai suatu stroke/ penyumbatan pembuluh darah adalah sebuah kebohongan dan pembodohan kepada masyarakat luas. Bila benar terjadi penyumbatan pada pembuluh Vena besar (thrombosis sinus transversus) seperti itu, maka bisa dipastikan pasien

akan koma/ tidak sadar dan kejang-kejang karena akan terjadi perdarahan di banyak tempat di kedua belahan otak.

#Zainal Muttaqin, MD., Ph.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip; dan Abdullah Machin, DR., dr., Spesialis Saraf Konsultan di Universitas Airlangga.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait