Ceknricek.com--Satu hal yang saya amati menonjol dari Denny Siregar: sudah dan masih terus memelihara polarisasi politik.
Ganjar satu- satunya Capres menurut Denny Siregar yang tidak pernah rangkulan dengan kelompok intoleran dan tegas, juga dengan yang radikal...
Kita tahu kemana arahnya. Dennny yang secara tersirat mau mengatakan bahwa kekuatan satu-satunya Ganjar adalah pada "prestasi"-nya melawan kelompok islamis.
Polarisasi politik nasionalis versus islamis, yang sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan dan masih lestari hingga kini. Baik di level praxis maupun persepsi (melalui propaganda).
Itu jualan politik yang masih akan dan terus dimainkan oleh aktor-aktris di dua sisi. Dunia berubah tapi Indonesia sepertinya masih terjebak di masa lalu.
Polarisasi politik seperti itu memelihara dan bahkan meningkatkan eskalasi mutual-hatred yang potensial memicu konflik horisontal secara luas.
Tapi, tak hanya itu. Polarisasi primitif itu juga mengalihkan perhatian kita dari soal-soal substantif kebangsaan. Bahkan justru punya andil dalam merusaknya.
Intoleransi berbasis agama dan kesukuan tentu saja ada dan patut disayangkan serta layak dikecam.
Tapi, kita tak bisa menutup mata bahwa narasi anti-intoleransi juga telah dipakai untuk menggolkan agenda-agenda politik elit, yang tidak ada urusannya dengan agama.
Ambil contoh: bagaimana Denny Siregar sendiri memakai narasi "anti-Taliban" untuk ikut melemahkan KPK. Denny mendukung penyingkiran orang-orang kritis dan berintegritas di KPK, bahkan meski fakta bahwa sebagian dari mereka non-muslim.
Contoh lain, bagaimana kelompok yang sama membawa narasi "anti-kadrun" untuk menutupi kegagalan Ahok dalam mengelola Jakarta yang berujung pada kekalahannya: kebijakan menggusur rakyat miskin dan kedekatannya pada taipan-taipan real-estate.
Narasi "anti-intoleransi" juga mengaburkan intoleransi lain, yang dilakukan pemerintah lewat kebijakan-kebijakan dzalim, seperti UU Cipta Kerja (Omnibus Law) dengan semua turunannya.
Kita cenderung terlalu sensitif pada intoleransi agama, namun di sisi lain mengabaikan intoleransi yang lebih merusak.
Kita cenderung menutup mata pada intolerasi dan kebrutalan polisi, yang berjasa ikut memicu kerusakan sistemik di bidang hukum.
Dua kali keliling Indonesia secara ekstensif, saya menyaksikan bagaimana masyarakat adat dan komunitas minoritas tersingkir bukan oleh ulah FPI atau HTI, tapi oleh kebijakan kapitalistik negara. Dan dalam 10 tahun terakhir kebijakan itu sangat menonjol dipromosikan oleh Pemerintahan Jokowi.
Warga di level grassroot, dari semua agama dan suku, menjadi korban kerusakan alam (banjir, longsor, polusi, kebakaran hutan) yang diakibatkan oleh kebijakan negara.
Masyarakat Kristen di Kalimantan, Flores dan Papua, misalnya, bukan tersingkir oleh "intoleransi" FPI dan HTI. Tapi oleh proyek IKN, hilirisasi tambang dan ekspansi kebun monokultur sawit.
Denny Siregar adalah agen propaganda yang berjasa mengaburkan soal-soal substansial dan struktural itu.
Editor: Ariful Hakim