Terlihat Lagi Sejak Tahun 1981, Lebah Raksasa di Maluku Utara Perlu Dilindungi | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Megachile pluto. Foto: Alisi/Istimewa

Terlihat Lagi Sejak Tahun 1981, Lebah Raksasa di Maluku Utara Perlu Dilindungi

Ceknricek.com -- Akhir Januari lalu, Clay Bolt, fotografer dari "Global Wildlife Conservation" bersama Simon Robson dari "Sidney University" dan Ely Wyman, ahli entomologi mengunjungi Maluku Utara. Mereka meriset lebah raksasa atau lebah raja di Halmahera yang pernah diidentifikasi Alfred Wallacea pada 1861 silam. Dilansir Mongabay, Rabu (9/4), dalam riset tersebut mereka berhasil menemukan lebah raja di salah satu hutan di Halmahera Timur.

Penelusuran lokasi hidup lebah ini berdasarkan data dalam jurnal yang pernah ditulis peneliti sebelumnya, Adam Meser pada 1981. Mereka menemukan spesies lebah raksasa yang diklaim punah sekitar 38 tahun lalu, atau terakhir ditemukan Adam Meser. Lebah raksasa ini pertama kali teridentifikasi oleh Alfred Russel Wallacea, dengan nama ilmiah Megachile pluto.

Foto : lebah yang akan masuknya ke sarangnya setelah di lepas usai pengamatan dan pengambilan gambar, lebah dilepas kembali. Sumber gambar : Simon Robson

Tim riset ini juga ditemani Iswan Maujud, Eka Kaaba, dan Yohanes Momou dan Siber Sasamulare, warga Halmahera Timur.

Iswan mengatakan, sebelumnya sudah ada periset datang setelah Adam Meser, namun mereka tak menemukan lebah raksasa itu. Salah seorang peneliti bernama Mr. Paul, bahkan cukup dikenal warga setempat. Waktu itu dia berpesan kepada warga agar tak merusak hutan di belakang desa mereka.

“Dia (Paul) tidak bilang kekayaan hayati lebah raksasa, karena itu warga mengira kekayaan itu berhubungan dengan tambang emas," ujar Iswan seperti dikutip Mongabay, Rabu (10/4).

Iswan menceritakan, penemuan lebah raksasa ini setelah pencarian dilakukan hampir seharian. Sarang rayap di sebatang pohon nangka menjadi tempat lebah itu hidup.

“Waktu itu kami sudah mau pulang. Berniat menelepon sopir jemputan. Apalagi kami sudah lapar. Tiba tiba saya melihat ke sebelah kanan ada pohon nangka di situ ada sarang rayap,” ungkap Iswan.

Iswan langsung menunjukkan sarang itu. Clay dan dua kawannya berusaha mengamati pakai "binokuler". Lebah tak kelihatan. Iswan menawarkan diri memanjat pohon nangka untuk memastikan benar atau tidak dalam sarang itu ada lebah.

Iswan saat mengecek langsung sarang lebah menggunakan senter hp. Sumber foto : Clay Bolt

Iswan naik pohon nangka membawa senter kepala untuk mengamati lubang sarang rayap. Sayangnya, cahaya terhalang dan tak bisa melihat ke dalam. Dia mengganti dengan senter handphone. Kali ini, dia bisa melihat ke dalam lubang dimana lebah itu hidup. Meski begitu, ia tidak melihat ada lebah. Dia hanya melihat sarang itu seperti lembap.

Ketika menyampaikan, lubang seperti lembap mereka meyakini ada lebah di sarang itu.

“Mungkin karena lebah merasa terganggu dengan suara, ketika saya mengamati lagi melihat kepala lebah berwarna hitam keluar dari lubang. Saya langsung panik karena mengira kepala ular,” ujar Iswan.

Iswan kemudian naik lagi memastikan lebah atau bukan. Setelah naik kedua kali, pengamatannya melihat bokong lebah berwarna putih. Lebah itu lebar seperti ibu jari.

Saat itu juga, mereka menyakini menemukan lebah raja yang lama dicari. Untuk memudahkan proses foto dan pengamatan, dibuat panggung agar bisa menyaksikan dan memotret. Mereka mencoba mengamati berulang-ulang.

Karena menunggu lama dan sulit mengabadikan dalam bentuk foto atau video, selanjutnya dipasang jaring menutupi pintu sarang. Mungkin karena suara membuat lebah terganggu, akhirnya keluar dan terperangkap. Perangkap juga dibuat lubang agar memudahkan pengambilan foto dan video. Pengamatan dan pengambilan gambar lumayan lama sebelum lebah lepas kembali.

Ketika dilepas, lebah tak menuju ke sarang itu lagi tetapi terbang jauh. Sekitar 15 menit, lebah kembali masuk sarang.

Belum ada perlindungan

Kekayaan keragaman hayati lebah raksasa ini ternyata belum mendapatkan perlindungan serius. Apalagi kawasan tempat temuan lebah ini di dalam perkebunan warga atau di luar Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata (TNAL).

Iswan mengaku setiap dua minggu sekali mengecek sarang lebah itu dan masih aman. Ia sudah menyampaikan kepada kepala desa agar mengingatkan warga tetap menjaga kawasan hutan ini karena menjadi aset wisata dan pengetahuan. Ia juga berencana jika punya biaya mengajak warga survei dan mencari lagi sarang lebah yang lain.

Iswan menyarankan kepada kepala desa agar berhati-hati dengan pihak luar yang datang mau menyaksikan atau mencari lebah ini. Pihak desa perlu mengecek atau menelusuri, jangan sampai merusak atau mencuri lebah.

Naser Tamalene, pengajar Jurusan Biologi Universitas Khairun Ternate yang konsen beberapa riset lebah mengatakan, bicara tentang lebah di Indonesia, belum ada perlindungan khusus. Begitu juga lebah pluto yang ditemukan di Halmahera ini, belum ada perlindungan.

Lebah raksasa di Maluku Utara ini sebenarnya bisa dijumpai di semua pulau. Contohnya, di Pulau Bacan. Lebah jenis ini dalam status konservasi adalah vulnerable atau kategori rentan dan masuk daftar merah.

"Karena itu butuh ada regulasi. Kita harus punya data pasti untuk membuat regulasi dan perlindungan terhadap lebah jenis ini,” ujar Naser.

Saat ini, pemerintah daerah belum memiliki kepedulian soal hal seperti ini. Badan Penelitian Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapelitbang), misalnya, hanya menerima penelitian titipan.

"Padahal, kalau (mereka) sedikit serius, bisa ada data potensi sumber daya alam hayati di pulau-pulau di Maluku Utara. Data ini, bahkan bisa jadi sumber informasi penelitian di Indonesia, bahkan dunia," ungkap Naser.

Naser menambahkan, Maluku Utara sudah terkenal dengan kekayaan hayati karena masuk dalam garis Wallacea. "Kalau, pemerintah daerah memanfaatakan kekayaan ini, Maluku Utara bisa mendunia," kata Naser.

Untuk diketahui, beberapa waktu lalu sempat ramai dalam pemberitaan media. Dalam artikel Clay Bolt juga anggota riset itu mengungkap keberhasilan timnya menangkap gambar pertama lebah raksasa langka itu saat menemukan sarang rayap pada pohon di sebuah pulau di Maluku Utara.

“Sangat menakjubkan melihat ‘bulldog terbang’ itu yang selama ini dianggap sudah punah,” kata Bolt dalam tulisan yang dirilis Universitas Sydney, Australia.

Dia berharap, lebah ini akan jadi simbol konservasi di Indonesia. Dia bilang, panjang lebah ini sebesar ibu jari orang dewasa atau berukuran sekitar 3,5 sentimeter dan lebar sayap 6,4 sentimeter. Rahang seperti kumbang rusa. Ukuran tubuh empat kali lebih besar dari lebah madu dan berwarna gelap hingga tak terlalu mencolok.

Eli Wyman, ahli entomologi Universitas Princeton, yang turut bergabung dengan tim penemu menyatakan, temuan ini bisa jadi landasan mencari lebah yang sulit ditemukan. Wyman berharap, penemuan ini memicu penelitian selanjutnya. Sejarah kehidupan lebah itu, katanya, juga dapat memberikan informasi dalam usaha melindungi mereka dari kepunahan.



Berita Terkait