Terowongan Silaturahmi | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Medcom

Terowongan Silaturahmi

Ceknricek.com -- Banyak terowongan dibangun di dunia ini. Tujuannya macam-macam. Rencana Presiden Joko Widodo tentu yang paling unik. Jokowi menyetujui pembuatan terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Dua tempat ibadah ini terletak berseberangan. Oleh Jokowi, terowongan itu disebut sebagai terowongan silaturahmi.

"Sudah saya setujui sekalian, sehingga ini menjadi sebuah terowongan silaturahmi," kata Jokowi seusai meninjau proyek renovasi Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Jumat, 7 Februari 2020.

Renovasi Masjid Istiqlal mulai dilakukan pada Mei 2019. Ide itu muncul dari Presiden Jokowi setelah mengajak Perdana Menteri India Narendra Modi ke masjid itu pada 30 Mei 2018. Renovasi dinilai perlu dilakukan. Sebab, masjid ini terakhir kali direnovasi pada 1978 atau sekitar 41 tahun lalu. 

Terowongan Silaturahmi
Sumber: Liputan6

Ide pembuatan terowongan seakan menjadi solusi mengobati toleransi yang terkoyak. Terbaru adalah insiden perusakan musala di Desa Tumaluntung, Minahasa Utara. Seperti dalam video yang viral sekelompok orang merusak Musala Al Hidayah, di Perum Agape, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Insiden ini terasa ironis karena di tengah pemerintah menggaungkan jargon 'saya Pancasila, saya NKRI'. Lalu, kini ada ide "terowongan" itu. 

Baca Juga: Said Aqil Siradj Mengaku Tak Paham Jokowi Bakal Bangun Terowongan Istiqlal-Katedral

Bagi orang Jawa, simbol itu penting. Sri Sultan Hamengku Buwono I membangun Keraton Yogyakarta, juga penuh simbol. Ia, misalnya, membangun keraton dalam satu sumbu lurus imajiner yang menghubungkan antara Gunung Merapi dengan Pantai Parangtritis. Sultan berharap ketiga tempat keramat ini dapat bersinergi. Ada yang menerjemahkan, agar antara kerajaan milik Nyi Roro Kidul dan kerajaan di Gunung Merapi, menyatu dengan Keraton Yogyakarta.

Nah, soal terowongan, di kawasan Tamansari, Yogyakarta juga ada. Tamansari berjarak beberapa ratus meter dari titik nol Yogyakarta, yaitu ujung selatan Malioboro. Ada dua lorong bawah tanah di kawasan itu. Terowongan itu bernama Urung-urung (lorong) Timur dan Urung-urung Sumur Gumuling. Lorong timur menghubungkan Pulo Panembung dan Pulo Kenanga. Lorong sepanjang 45 meter tersebut berbentuk melengkung dengan jalur berkelok. 

Terowongan Silaturahmi
Terowongan Tamansari, Sumber: Detik

Lorong itu berukuran lebar 2,8 meter dan tinggi 2,8 meter. Sepanjang lorong terdapat beberapa tempat untuk bertapa, yang salah satunya khusus pertapaan raja. Hampir di bagian ujung lorong terdapat mata air bernama Sumur Gumuling yang dikelilingi 5 anak tangga. Tepat di atas mata air ini adalah masjid bawah tanah. Ini berupa tempat semacam pengimaman atau mihrab dengan ukuran 1,10 x 3,5 meter. Di bagian atas sekeliling mihrab terdapat bangunan melingkar berdiameter 6 meter. Sementara tepat di atas mihrab merupakan ruang terbuka, sehingga dapat langsung menatap birunya langit. 

Ada rumor yang mengatakan bahwa Sumur Gumuling adalah tempat pertemuan Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul dengan Sultan.

Istiqlal-Katedral 

Simbol toleransi yang hendak dibangun Jokowi dengan membangun terowongan yang menghubungan Istiqlal-Katedral tentu saja menarik. Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta memang berseberangan. Kedua tempat ibadah ini hanya dipisahkan jalan. 

Kedua tempat ibadah yang berdiri megah itu selama ini sudah menjadi spirit toleransi. Terbaru publik juga menyaksikan peserta aksi 212 yang muslim, membantu perjalanan pengantin ke Katedral, yang Kristen. Itu merupakan wujud toleransi antarumat beragama di sekitaran dua ibadah tersebut.

Lalu, bagaimana sejatinya sejarah kedua tempat ibadah yang berlainan keyakinan itu?

Masjid Istiqlal atau secara harfiah bisa diterjemahkan Masjid Merdeka. Masjid ini terletak di bekas Taman Wilhelmina, di timur laut lapangan Medan Merdeka. Di tengahnya berdiri Monumen Nasional (Monas). Pembangunan Istiqlal diprakarsai Presiden Soekarno. Peletakan batu pertama dilakukan presiden pertama RI itu pada 24 Agustus 1951. Arsitek Masjid Istiqlal adalah Frederich Silaban, seorang Kristen Protestan.

Terowongan Silaturahmi
Sumber: Istimewa

Masjid ini memiliki gaya arsitektur modern dengan dinding dan lantai berlapis marmer, dihiasi ornamen geometrik dari baja antikarat. Bangunan utama masjid terdiri dari lima lantai dan satu lantai dasar. Bangunan utama itu dimahkotai satu kubah besar berdiameter 45 meter yang ditopang 12 tiang besar. Menara tunggal setinggi total 96,66 meter menjulang di sudut selatan selasar masjid. Masjid ini mampu menampung lebih dari 200.000 jemaah. 

Baca Juga: Mengintip Proyek Renovasi Masjid Istiqlal Jakarta

Sedangkan Gereja Katedral berada di seberang timur Masjid Istiqlal. Katedral punya nama resmi Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga, De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming. Gereja ini diresmikan pada 1901. Gedung tempat ibadah tersebut dibangun dengan arsitektur neo-gotik dari Eropa, yakni arsitektur yang sangat lazim digunakan untuk membangun gedung gereja beberapa abad yang lalu.

Terowongan Silaturahmi
Sumber: Istimewa

Katedral yang kita kenal sekarang sesungguhnya bukanlah gedung gereja yang asli di tempat itu. Katedral yang asli diresmikan pada Februari 1810, namun pada 27 Juli 1826 gedung gereja itu terbakar bersama 180 rumah penduduk di sekitarnya. Lalu pada tanggal 31 Mei 1890 dalam cuaca yang cerah, gereja itu pun sempat roboh. 

Sejatinya, selain terowongan, kedua tempat ibadah ini bisa juga dihubungkan dengan jembatan penyeberangan. Jembatan itu bisa dinamai “jembatan silaturahmi” atau apalah yang penting sebagai simbol toleransi. Terowongan atau jembatan secara simbolik bisa menjadi simbol perjumpaan Islam dan Kristen. Bisa juga sebagai simbol pemajuan toleransi dan perjumpaan lintas identitas.

Hanya saja, pembangunan terowongan itu mestinya dibarengi dengan penyelesaian masalah yang melampaui simbol dan fisik. Jika terowongan dipromosikan tetapi pemberian izin mendirikan rumah ibadah kelompok minoritas dipersulit, jelas enggak benar. 

Kini setidaknya ada tiga persoalan yang semestinya bisa ditangani di level negara, yaitu regulasi, kapasitas aparat dan penegakkan hukum. Ketiganya melampaui urgensi pembangunan terowongan.

BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini


Editor: Farid R Iskandar


Berita Terkait