The Sound of Silence | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

The Sound of Silence

RNI (Rangkaian Ngopi Imajiner) bersama Gus Dur

Ceknricek.com--Memasuki tahun baru 2025 memang cukup menggemparkan, amukan api dahsyat melanda Los Angeles dan memakan demikian banyak korban. Di dalam negeri, keputusan pemecatan STY memicu polemik sekaligus mempercepat datangnya Patrick Kluivert sang pengganti. Sejujurnya, saya amat menunggu kehadiran Gus Dur yang amat suka sepak bola serta ingin berbincang perihal ini.

‘’Mas, omong-omong soal sepakbola, saya jadi teringat lirik legendaris sahabat Paul Simon dalam lagunya 'The Sound of Silence' yang sepertinya menjadi soundtrack paling pas untuk menggambarkan suasana sepak bola Indonesia setelah perpisahan mendadak dengan Shin Tae Yong (STY), sang pelatih yang digadang-gadang membawa angin perubahan sejati dalam meningkatkan sepak bola nasional. Setelah diperpanjang masa kerjanya nyaris enam bulan lalu, akhirnya STY mesti hengkang," tiba-tiba Gus Dur muncul dan berceloteh.

“Tapi tenang Mas, ini bukan sekadar drama pergantian pelatih. Ini adalah opera megah yang penuh ironi, satire, dan, tentu saja, keheningan yang memekakkan telinga!"  beliau melanjutkan dengan bergelora seakan tak hendak kalah dari para penyiar sepak bola.

“Bukan sepak bola Indonesia kalau tidak ramai pembicaraan di media sosial. Dari fans fanatik hingga pakar dadakan, semua berlomba-lomba memberikan pendapat. Namun, di tengah riuhnya suara ini, ada satu hal yang nyaris tidak terdengar: penjelasan rasional dan transparan. Siapa yang tahu alasan sebenarnya mengapa STY mendadak pergi? Apakah ini hasil dari 'visi' baru yang katanya lebih menjanjikan? Atau hanya taktik pengalihan isu? Sungguh, kita menjadi penonton dari parade opini bercampur spekulasi tanpa substansi yang jelas"

"Belum lagi bila kita bicara tentang ekspektasi yang begitu besar. Sejak awal kedatangannya, Shin Tae Yong membawa sesuatu yang langka: disiplin, mentalitas juara, dan mimpi besar. Tapi, apa yang terjadi? Mimpi besar itu seringkali jatuh di telinga yang tak siap mendengar. Kita ingin juara, tapi menolak perubahan yang diperlukan untuk mencapainya. Ketika STY bicara tentang pentingnya infrastruktur atau pembinaan usia dini, lebih banyak yang sibuk berdebat soal rotasi pemain atau formasi. Para pendukung tim Garuda mendengar apa yang mereka ingin dengar, bukan apa yang sebenarnya harus didengar. Lalu ketika harapan itu tak terwujud dalam semalam, ujung-ujungnya menyalahkan siapa? Tentu saja, sang pelatih"

"Tidaklah berlebihan bila kita nyatakan bahwa dalam sepak bola (termasuk di Indonesia), pelatih adalah dewa yang diciptakan untuk dihancurkan. Kita, masyarakat yang mencintai sepak bola, seringkali melupakan satu hal: pelatih bukan penyihir. Mereka bukan neon god yang mampu mengubah segalanya dalam sekejap. Mereka butuh dukungan, sistem yang kuat, dan waktu. Tapi siapa peduli? Di negeri ini, hasil adalah raja, dan proses adalah konsep yang tak laku. Bukan hanya mie instan yang laris-manis, segala hal yang menangguk hasil cepat selalu didambakan nyaris tanpa reserve"

People talking without speaking, kata Paul Simon dalam lanjutan lagunya tersebut, dan inilah kenyataan yang terjadi. Klub atau federasi, seolah memilih diam ketika diminta transparansi. Mereka berbicara dalam bahasa yang penuh basa-basi, sementara fans berharap lebih dari sekadar pernyataan resmi tanpa isi. Seperti kanker, kebiasaan ini terus tumbuh dan beranak-pinak menyebar tanpa pandang bulu. Kita berdiam diri ketika infrastruktur sepak bola tidak membaik. Kita tetap diam ketika korupsi dan politisasi menggerogoti sistem, termasuk sistem politik dan keolahragaan kita, khususnya sepak bola. Kita hanya bersuara ketika ada drama, lalu kembali ke hening ketika panggung berubah"

“The Sound of Silence, bagi Shin Tae Yong, mungkin adalah balada perpisahan yang pahit. Tapi bagi kita, ini adalah cermin besar yang memantulkan wajah kita sendiri. Apakah kita akan terus berbicara tanpa berkata, dan mendengar tanpa memahami? Ataukah kita akan belajar untuk mendengar lebih baik, berbicara lebih bermakna, dan mendukung tim Garuda dengan cara yang benar dan konstruktif???” demikian tuturan Gus Dur untuk kemudian lenyap kembali.

Saya hanya bisa (lagi-lagi) tercenung dan masih mencoba mencerna lebih lanjut penuturan beliau. Ya, masih begitu banyak pekerjaan rumah yang mesti kita semua dukung agar sepak bola nasional sungguh naik ke level dunia.

*) Greg Teguh Santoso, Doktor Knowledge Management and Organizational Communication yang mencintai sepak bola.

 


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait