Tidak Belajar dari Kasus Ledakan Infeksi Covid-19 di India | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Tidak Belajar dari Kasus Ledakan Infeksi Covid-19 di India

Ceknricek.com -- Demi kegembiraan yang tidak lama, orang-orang nekat bertaruh nyawa. Itulah yang terjadi Sabtu, 15 Mei 2021, di pantai Batu Karas, dekat Pangandaran, Jawa Barat. Orang-orang, tua muda, anak-anak, "menumpuk" tanpa masker, tidak perduli dengan prokes, di pantai. Hal yang sama sebelumnya juga terjadi di Pantai Ancol, Jakarta. Begitu pula di pantai Bali.

Apa mereka, dan anggota keluarganya, siap menanggung akibat bila tertular Covid-19.? Contoh sudah banyak keluarga yang nyaris punah. Isteri atau suami meninggal. Disusul anak-anak dalam waktu berdekatan. Lalu kakak adik. Bila sudah begini, apa mereka baru menyesal.? Menyesal seumur hidup pun tak ada gunanya.

Padahal mereka sudah melihat kasus India yang sangat mengerikan. "Ledakan" kasus infeksi baru yang luar biasa. Hanya dalam waktu tiga hari, lebih dari satu juta orang tertular Covid-19. Setiap jam sebanyak 117 orang tewas. Kejadian tragis tak terhindarkan. Ada anak yang tega "membuang" ibunya yang sakit di pinggir jalan hingga meninggal. Anak itu lalu ditangkap polisi.

Krematorium tak bisa lagi membakar mayat. Sebagian orang membakar mayat anggota keluarganya di krematorium darurat di lahan parkir. Perawat yang kewalahan meninggalkan pasien sehingga belasan orang meninggal di ruang ICU. Rumah sakit kehabisan oksigen. Kamar mayat tidak mampu lagi menyimpan jenazah.

Apa kita di Indonesia harus mengalami hal yang sama seperti di India.? Sembrono, lengah, tidak disiplin adalah pangkal itu semua. Mereka yang bergembira ria di pantai itu, tidak mampu menahan diri untuk tetap di rumah saja karena pandemi. Pertanyaannya: apa latihan menahan diri selama Ramadhan itu sama sekali tidak berbekas.? Tidak menjadi kebiasaan, membentuk karakter baru yang Islami.?

Sesungguhnya definisi puasa itu secara fiqh sangat sederhana. Menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami isteri serta semua yang dapat membatalkannya dari terbitnya fajar kedua hingga terbenam matahari karena Allah SWT.

Dari definisi dapat dipahami bahwa substansi puasa adalah menahan. Kata menahan inilah yang menjadi inti dari puasa. Bahkan menahan diri dari berbicara juga diistilahkan “schiuma” dalam Al-Qur'an, seperti pada kasus Maryam binti Imran yang dilarang bicara setelah melahirkan (Isa AS).

Rasulullah SAW juga menasehatkan agar di saat seseorang diajak berkelahi hendaknya berkata, "Saya berpuasa (inni shoo-im)." Tentu kata “shoo-im” atau puasa di sini dimaksudkan “menahan” diri.

Dengan demikian jelas bahwa intisari dari puasa adalah menahan. Yaitu menahan diri atau ego dan hawa nafsu dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Dan karenanya objek terpenting dari semua pembahasan tentang puasa ada pada pengendalian hawa nafsu.

Kita paham, betapa banyak kerusakan yang terjadi dalam hidup kita disebabkan oleh kegagalan manusia itu sendiri dalam mengendalikan hawa nafsunya.

Puasa, menurut psikolog, berpengaruh positif terhadap psikologis seseorang, seperti berpengaruh terhadap emosi, performansi dan perilaku. Puasa juga dapat menjadi sarana untuk melatih kesabaran, mengendalikan emosi negatif, melatih rasa empati, serta mengurangi sifat sombong dalam diri seseorang.

Puasa menjadi salah satu cara untuk mengendalikan diri atau self control. Istilah ini ditujukan bagi seseorang yang berusaha dengan seluruh kemampuannya serta dengan kesungguhan hati untuk menahan diri dari ‘musuh’ dari dalam dirinya.

Elizabeth B. Hurlock, ahli psikologi perkembangan, mengungkapkan bahwa pengendalian diri terkait dengan bagaimana seseorang mengendalikan emosi serta dorongan dalam dirinya. Jika kita tidak juga mampu menahan diri, untuk apa puasa selama 30 hari.? Apa gunanya?



Berita Terkait