Ceknricek.com--Sebagai kepanjangan tangan negara, tugas pokok Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah merealisasikan pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yaitu “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin…….serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Selanjutnya, pada pasal 34 ayat 3 dinyatakan “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Sebagaimana tugas Kemendikbud-Ristek untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan, tugas kemenkes ini merupakan kewajiban konstitusi dan sekaligus hak dari rakyat yang harus dipenuhi dengan biaya dari negara.
Seorang menkes seharusnya memiliki landasan moral berfikir yang baik dan benar karena akan menjadi dasar semua kebijakan Kesehatan yang dibuat. Kebijakan Kesehatan seharusnya mengutamakan kepentingan dan pemenuhan hak konstitusional rakyat banyak, bukan kepentingan bisnis mencari untung, atau kepentingan lain yang seolah-olah mengatasnamakan rakyat banyak. Semua orang tahu akan rekam jejak menkes kali ini adalah seorang bankir yang kebijakannya seolah menolong nasabah padahal berburu rente/ bunga bank.
Bukti bahwa Kesehatan Rakyat dan Orang Sakit dijadikan Obyek Bisnis Negara pada Rakyatnya
Sebagaimana diketahui bersama, di dalam UU 17 tahun 2023 kesehatan rakyat telah dijadikan obyek bisnis negara kepada rakyatnya, melalui liberalisasi dan industrialisasi layanan kesehatan. Hal ini terbukti dengan dihilangkannya keharusan negara menyediakan anggaran wajib (mandatory spending) Kesehatan (MSK) minimal sebesar 5% dari APBN dan 10% dari APBD. Penghapusan MSK ini jelas bertentangan dengan Tap MPR No.10-2001 yang dijabarkan dalam UU No.9-2009 pasal 171, ayat 1-2.
Padahal WHO (dalam Deklarasi Abuja) menganjurkan budget allocation for health (MSK) ini berkisar 5,5% untuk negara low income, 6,8% untuk negara middle income, dan 8,8% untuk negara high income. Alokasi MSK di sebuah negara akan menentukan pencapaian program pelayanan kesehatan dan berkorelasi positif dengan Usia Harapan Hidup dan angka Human Development Index (HDI) di negara tersebut (Maldives dengan MSK 9,5% usia harapan hidupnya 79,3 tahun, Thailand dengan MSK 7,7% usia harapan hidupnya 75,3 tahun, dan Bhutan dengan MSK 5,7% usia harapan hidupnya 72,2 tahun).
Tapi di sisi lain, lewat UU 17/2023, menkes malah menggelar karpet merah bagi masuknya modal asing dan dokter/ nakes asing dalam bisnis layanan kesehatan. Sehari setelah UU 17-2023 disahkan, di Chengdu-RRC, menkes menandatangani rencana pembangunan 30 RS Tiongkok di Indonesia (https://youtu.be/sNYnt_NxdPY). Sebelum itu menkes juga meresmikan pembangunan beberapa RS Asing nan Mewah bak hotel bintang 5 seperti RS Aspen di Depok (Depok.tribunenews.com, 20-6-2023) dan Sanur Medical International Complex di Bali.
Benarkah kehadiran banyak RS Asing nan mewah tersebut hadir mewakili negara untuk memenuhi kewajiban konstitusi seperti tersurat pada pasal 34 ayat 3 UUD 1945? Jawabnya jelas tidak, semua RS mewah tersebut dibangun sebagai sarana wisata kesehatan (pernyataan Menteri Airlangga Hartarto dan Erick Tohir). Jadi jelas bahwa kehadiran semua RS mewah tersebut bukan untuk 180 juta peserta BPJS kelas 3, yang kalau sakit hanya butuh dirawat inap untuk diobati sakitnya dan untuk bertahan hidup, bukan untuk wisata kesehatan. Fakta saat ini, antrean untuk rawat inap di berbagai RS Rujukan Propinsi dan Rujukan Nasional bisa mencapai 6-12 bulan lama menunggunya, sehingga hasil pengobatannya tidak bisa optimal.
Yang terasa janggal dan aneh (karena menggambarkan kepribadian Bipolar dan kekanak-kanakan) adalah curhat menkes baru-baru ini: ”Kenapa Anggaran Pendidikan Lebih Besar dari Kesehatan ?” (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240904194702-20-1141082/curhat-menkes-kenapa-anggaran-pendidikan-lebih-besar-dari-kesehatan). Pernyataan ini aneh sekali bagi siapapun yang berfikir waras, karena menkes sendirilah yang secara sepihak telah mengeliminasi MSK 15%, terdiri atas 5% dari APBN dan 10% dari APBD, meskipun secara luas mendapat penolakan dari Koalisi Sipil yang mewakili 43 elemen Masyarakat Sipil, serta Petisi Penolakan oleh lebih dari 200 orang Guru Besar Lintas Profesi/ FGBLP (https://nasional.kompas.com/read/2023/07/10/14383411/layangkan-petisi-forum-guru-besar-soroti-hilangnya-mandatory-spending-hingga).
Salah satu alasan yang dikemukakan menkes terkait penghapusan MSK ini adalah: “Tidak ada data dari satupun negara yang membuktikan besarnya pengeluaran di bidang Kesehatan akan berpengaruh pada derajat Kesehatan seseorang, jadi Indonesia jangan meniru negara lain yang sudah membuang uang atau anggaran terlalu banyak di bidang Kesehatan” (https://nasional.kompas.com/read/2023/07/11/20473341/anggaran-wajib-kesehatan-dihapus-menkes-jangan-tiru-negara-lain-buang-uang). Jadi kalau menkes yang sama sekarang ini malah mempersoalkan Anggaran Kesehatan yang lebih kecil dari Anggaran Pendidikan, mungkin sekali patut dipertanyakan tentang status kesehatan jiwanya.
RS Vertikal (RSV) dijadikan alat bisnis untuk menaikkan revenue, melalui Kamar Bedah
Jadi RSV telah diubah menjadi alat bisnis layanan kesehatan oleh pemerintah kepada rakyatnya, dengan orang sakit sebagai obyek bisnisnya. Pengangkatan seorang Bankir sebagai menkes adalah pilihan tepat pemerintah untuk tercapainya tujuan ini. Organisasi Profesi Dokter dengan seluruh perangkat etik yang melekat pasti akan menolak Disorientasi Layanan Kesehatan ini, oleh karena itu harus dieliminasi kehadirannya atau dikerdilkan perannya.
Publik harus paham bahwa sumber pendapatan terbesar RSV adalah dari Kamar Bedah dan dari Farmasi. Maka itu, salah satu wujud dari perubahan orientasi kehadiran RSV sebagai alat bisnis adalah keluarnya Surat Edaran (SE) Dirut RS Dr. Kariadi, No. HK.02.03/1.1/7206/2021 tentang Jam Pelayanan Tindakan Operasi Elektif/ Terprogram dan Emergensi di Instalasi Bedah RS Dr. Kariadi, tanggal 21 September 2021. Dengan SE ini jam operasional kamar bedah berubah jadi 24 jam dengan 3 (tiga) shift nakes (sebelumnya hanya dua shift nakes). Jika sebelumnya operasi di luar jam kerja hanya untuk kasus yang emergensi/ gawat darurat, maka tidak ada lagi batas antara Jam Kerja atau di luar Jam Kerja.
Shift Jam Kerja menjadi 3 shift dalam 24 jam ini hanya berlaku untuk Nakes karyawan RS (perawat kamar bedah dan perawat pendamping anestesi). Dokter bedah dan dokter bius/ anestesi-nya yang melakukan operasi akan menyelesaikan operasinya sampai selesai (misal operasi tumor otak yang lebih dari 8 jam) tidak tergantung pada shift jam kerja tersebut. Demikian pula para PPDS yang mendampingi/ membantu para spesialis tersebut sesuai dengan tingkat kompetensinya. Saat satu operasi selesai dan dokter bedah meninggalkan kamar bedah untuk beristirahat atau beraktifitas lain, dokter bius masih harus bekerja keras selama 1-2 jam guna memulihkan kesadaran pasien di ruang recovery sampai diputuskan pasien bisa balik ke ruangan asal atau perlu pengawasan ICU. Sebelum sempat beristirahat, dokter anestesi harus kembali ke kamar operasi lagi untuk operasi berikutnya dengan dokter bedah yang berbeda.
Imbas dari perubahan jam operasional kamar bedah ini, tanpa disertai penambahan jumlah dokter spesialis dan Nakes lain seperti perawat kamar bedah dan perawat pendamping Anestesi, terjadilah peningkatan beban kerja semua dokter spesialis yang bidang tugasnya memang di kamar bedah yaitu Anestesi dan semua jenis spesialis bedah (spesialis mata, THT, kebidanan-kandungan, bedah saraf, bedah tulang, bedah tumor, bedah plastik, bedah digestif, bedah anak, bedah jantung dan pembuluh darah, dan bedah mulut) dan para PPDS yang selalu setia mendampingi para spesialisnya.
Khusus bagi PPDS sebagai tenaga kerja gratis di RSV, selain jam kerja yang melampaui batas, ada bentuk lain eksploitasi oleh RSV berupa penambahan peran sebagai pengganti karyawan RS, mulai dari jadi perawat pendamping/ penata Anestesi sampai jadi portir pengantar pasien ke tempat foto Rontgen atau bangsal rawat inap. Borok yang mulai ketahuan bau busuknya inilah yang saat ini dengan berbagai cara dicoba ditutup-tutupi oleh menkes terkait kematian seorang PPDS Anestesi baru-baru ini.
Kepdirjen Yankes yang tidak bermoral terkait layanan kesehatan bagi peserta JKN di RSV
Ada sebuah Kepdirjen Pelayanan Kesehatan No.HK.02.02/D/7373/2023 yang ditandatangani oleh dirjen yankes tanggal 17 Mei 2023, yang isinya mengatur Pengelompokan Dokter Spesialis berdasar pengalaman dan keahlian di bidangnya (Spesialis Bintang 1, 2, dan 3) dikaitkan dengan kuota layanan untuk pasien peserta JKN, dan pasien Umum/VIP. Saat akan mulai diberlakukan, kepdirjen yankes ini dibatalkan setelah ditolak oleh banyak kalangan dokter senior, karena bertentangan dengan etika dan moral dokter yang tidak boleh membeda-bedakan pasien yang dilayani. Akan tetapi lahirnya kepdirjen untuk semua Dirut RSV ini sudah bisa menggambarkan landasan moral dan etik pejabat yang ada dibalik munculnya Surat Keputusan tersebut.
Dokter spesialis Bintang Satu adalah spesialis pemula yang minim pengalaman (< 10 tahun ), dengan sedikit pasien eksekutif, sedangkan Bintang Tiga adalah spesialis senior (> 20 tahun), Professor, dengan banyak pasien eksekutif. Bagi spesialis Bintang Tiga diatur agar kuota pasien JKN tidak lebih dari 25%, selebihnya adalah pasien Eksekutif/VIP/VVIP. Sedangkan bagi spesialis Bintang Satu sebaliknya, kuota pasien Umum/Eksekutif/VIP tidak lebih dari 25%, selebihnya adalah untuk pasien JKN. Dengan kata lain, hak pasien JKN untuk bisa berkonsultasi dengan dan ditangani penyakitnya oleh spesialis Bintang Tiga dibatasi. Bila pasien JKN tersebut tetap menghendaki bertemu dengan spesialis Bintang Tiga, maka dia harus pindah jadi pasien umum atau naik kelas ke VIP atau VVIP (tentunya dengan konsekuensi kewajiban membayar biaya tambahan)
Sebelum mulai berprofesi, seorang dokter harus mengucapkan sumpah dokter, yang salah satunya menyebutkan bahwa “dalam menunaikan kewajiban terhadap orang sakit, saya berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial”. Jadi isi dari kepdirjen yankes ini jelas tidak etis dan tidak bermoral karena bertentangan dengan salah satu lafal sumpah dokter.
Secara struktural, semua RSV berada di bawah kekuasaan dirjen Pelayanan Kesehatan, dan sebagai tangan kanan menkes, dirjen yankes adalah pelaksana dari semua kebijakan menkes terkait layanan kesehatan. Jadi jelas terlihat secara kasat mata dan gamblang siapa yang berada dibalik hilangnya Anggaran Wajib Kesehatan (MSK) 15% dalam UU 17/2023, karpet merah bagi RS Asing nan Mewah dan dokter Asing, Surat Edaran Dirut RSV tentang Operasional Kamar Bedah 24 jam, dan munculnya Kepdirjen Yankes No. HK.02.02/D/7373/2023, semuanya itu jelas bukan untuk memenuhi hak konstitusi dan hak asasi rakyat terkait kesehatan dan kesejahteraan.
Menkes dan dirjen yankes jelas sekali memiliki landasan berfikir yang selain salah, tidak etis dan tidak bermoral, juga bertentangan dengan konstitusi, yaitu menjadikan program layanan kesehatan dan kehadiran RSV sebagai alat bisnis dengan memanfaatkan rakyat yang sakit dan butuh pertolongan sebagai obyek bisnisnya. Sampai kapanpun, orang-orang dengan landasan moral berfikir seperti menkes dan dirjen yankes ini tidak layak dan tidak punya tempat lagi sebagai penentu kebijakan di Kementerian manapun.
#Zainal Muttaqin, Praktisi Medis Bedah Saraf (29 tahun), dan Guru Besar FK Undip
Editor: Ariful Hakim