Ceknricek.com - Masyarakat Kabupaten Cilacap dan Banyumas punya tradisi unik untuk menyambut datangnya bulan Ramadan. Mengklaim sebagai anak keturunan Kiai Bonokeling itu, mereka berziarah ke makam sang leluhur, mengunggah harapan agar kehidupannya kelak senantiasa berlimpah kebaikan.
Proses akulturasi budaya melahirkan munculnya beragam tradisi jelang datangnya bulan Ramadan. Begitupun dengan puasa tahun ini yang jatuh Kamis (17/5). Semua dilakukan sebagai upaya mempersiapkan diri, untuk menjalankan serangkaian ibadah di bulan suci umat Islam ini.
Di kalangan masyarakat Jawa, tradisi-tradisi tersebut masih terjaga baik. Mereka berkeyakinan, tradisi-tradisi itu adalah bagian dari upaya untuk menghomati para leluhur, yang memiliki jasa besar pada kehidupan anak keturunannya.
Nyadran menjadi satu tradisi utama yang diciptakan masyarakat Jawa. Bulan Ruwah -- sebulan sebelum Ramadhan -- dipilih untuk pelaksanaan tradisi ini. Konon pada bulan itulah arwah dari para leluhur pulang, sehingga ada semacam tuntunan bagi yang masih hidup untuk menjamu kedatangan mereka, untuk kemudian menitipkan doa dan harapan, agar ke depan bisa menjadi kenyataan.
Tradisi yang masih kuat hingga saat ini adalah nyadran di makam Kiai Bonokeling, yang biasa disebut dengan tradisi unggah-unggahan. Tradisi yang dalam bahasa Indonesia berarti menaikkan sesuatu, dimaknai sebagai upaya anak keturunan Kiai Bonokeling untuk memanjatkan harapan agar ke depannya bisa senantiasa dilimpahi keberkahan.
Tradisi unggah-unggahan masih terpelihara dengan baik di wilayah Desa Pakuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Setiap tahun ribuan anak turunan Kiai Bonokeling yang tersebar di beberapa wilayah, datang untuk berkumpul di makam sang tokoh. Uniknya mereka rela berjalan kaki puluhan kilometer dengan tanpa alas kaki, untuk mengikuti ritual unggah-unggahan.
Kiai Bonokeling
Pemandangan itu kembali terlihat, Kamis (10/5), ketika ribuan warga Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap berjalan menyusuri jalan aspal menuju ke kompleks makam Kiai Bonokeling sejauh 30 kilometer. Beratnya beban hasil bumi yang dipikul dan terik matahari tak menyurutkan langkah mereka. Iring-iringan perjalanan menciptakan pemandangan eksotis bagi siapa saja yang menjumpainya.
Beragam bawaan itu dikumpulkan bersama-sama untuk dimasak, dan disantap bersama di kompleks makam Kiai Bonokeling. Karena itulah, usai menempuh perjalanan sekitar 7-8 jam, mereka langsung disambut oleh warga Desa Pakuncen, tempat di mana makam Kiai Bonokeling berada.
Sembari berisitirahat melepas lelah di rumah-rumah khusus yang disebut Bedogol, para anak keturunan Kiai Bonokeling yang berasal dari Adipala juga mulai mempersiapkan diri untuk mengikuti serangkaian ritual.
Berbaur dengan asap pekat dupa dan kemenyan, ribuan warga mulai berkumpul untuk memanjatkan puji-pujian kepada Yang Maha Kuasa. Dipimpin oleh seorang Kiai Juru Kunci, para pengikut aliran Kiai Bonokeling terlihat khusyuk berdoa, di tengah heningnya malam.
Keesokan harinya, Jumat pagi, ritual puncak pun mulai digelar. Para pria memakai baju hitam lengkap dengan ikat kepala. Sedangkan yang wanita mengenakan kemben berupa kain jarik serta selendang kain putih. Para penganut aliran Kiai Bonokeling ini pun mulai antre bergiliran satu persatu memasuki cungkup makam sang junjungan.
Diawali dengan bersuci menggunakan air dari sebuah pancuran yang sudah disediakan, para wanita mendapat giliran pertama untuk mengunjungi makam. Satu per satu mereka berbaris dengan rapi, tanpa ada yang berusaha untuk saling mendahului. Setiap orang yang masuk ke makam, bisa berdoa dengan khusyuk, untuk memanjatkan harapannya pada Tuhan melalui perantara Kiai Bonokeling.
Banyaknya orang membuat ritual yang dimulai sejak pagi, baru selesai saat matahari tenggelam. Upacara ditutup dengan acara makan bersama, dari beragam hasil bumi yang sehari sebelumnya dikumpulkan dan dimasak bersama.
Tenang & Damai
Rasa persaudaraan yang begitu erat di antara mereka, meski terpisah wilayah yang berbeda. Kerukunan itu tak lepas dari kuatnya mereka menjaga ajaran Kiai Bonokeling agar senantiasa tenang dan damai.
Sowan atau masuk dan berdoa di dalam makam menjadi ritual utama dalam tradisi unggah-unggahan. Dalam ritus inilah makna dari unggah-unggahan diwujudkan. Para anak turunan Kiai Bonokeling mengunggah atau memanjatkan doa dan harapan kepada Tuhan, lewat perantara leluhur mereka, dalam hal ini Kiai Bonokeling.
Usai pelaksanaan ritual utama ini pun, keesokan harinya (Sabtu), para anak turun Kiai Bonokeling yang berasal dari wilayah Kecamatan Adipala kembali ke rumah masing-masing. Dan lagi-lagi mereka berjalan tanpa alas kaki, untuk melakukan penyatuan dengan alam, sebagai bagian dari upaya menjaga hubungan yang harmonis dengan semesta.
Tak ada tersurat kelelahan di wajah-wajah mereka. Pancaran penuh optimis begitu tersirat dari senyum mereka di sepanjang perjalanan. Mereka telah menitipkan semua harapan pada Kiai Bonokeling, yang diyakini pasti akan terkabul. Dengan begitu, rasa bahagia senantiasa menyelimuti hati mereka di tengah pelaksanaan ibadah puasa, hingga saatnya Lebaran nanti.