Ceknricek.com--Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) tak salah. Lembaga non profit itu bukan didirikan untuk menciptakan, memelihara, atau mencari-cari masalah. Tapi justru didasari niat dan tujuan untuk mewadahi kepedulian masyarakat luas yang ingin berpartisipasi dan berperan serta. Dalam upaya bersama menanggulangi persoalan sosial kemasyarakatan yang mungkin terbengkalai, perlu didukung, hingga belum dapat tertangani sepenuhnya oleh pemerintah. Sebab sejatinya, masyarakat dan pemerintah -- disamping tanah air -- adalah komponen utama hadirnya suatu negara.
Hal yang bermasalah -- dan ini cukup serius -- adalah pengingkaran Pembina yang juga Pendiri Yayasan, terhadap ketentuan perundang-undangan yang sudah sedemikian jelas dan lugas. Bahwa dia (mereka) dilarang mengalihkan atau mendistribusikan kekayaan Yayasan bagi dirinya masing-masing. Dalam bentuk apa pun. Baik secara langsung maupun tidak (UU 16/2001 jo UU 28/2004, pasal 5). Pelanggaran ketentuan itu memang disertai ancam pidana penjara hingga 5 tahun. Juga ketentuan yang mewajibkan mereka mengembalikan kekayaan yang sempat dinikmati (pasal 70).
Tapi kita merupakan Negara yang telah bertekad menempatkan hukum sebagai panglima kehidupan berbangsa. Maka segala sesuatunya perlu dan harus diadili sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tak boleh suka-suka berdasarkan kebenaran yang diyakini sendiri.
Pasal 53 yang tercantum dalam undang-undang tersebut, telah mengatur hal-hal yang menjadi dasar perlu dan tidaknya pemeriksaan terhadap organ suatu Yayasan. Yakni, jika dan hanya jika terdapat dugaan ada yang melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan Anggaran Dasar. Atau lalai dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Bisa pula karena melakukan perbuatan yang merugikan Yayasan atau pihak ketiga. Kemungkinan lain karena yang bersangkutan melakukan perbuatan merugikan Negara.
Lebih lanjut, ayat 2 pasal 53 tersebut menegaskan. Bahwa pemeriksaan terhadap dugaan tersebut, hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan atas permohonan tertulis yang diajukan pihak ketiga yang berkepentingan. Tentu saja disertai alasan-alasannya. Undang-undang itupun menegaskan bahwa pemeriksaan berdasarkan pengadilan, dilakukan atas permintaan Kejaksaan yang bertindak mewakili kepentingan umum (ayat 3).
Artinya, hingga tahap pemeriksaan atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan organ Yayasan ACT saja pun, tidak bisa dilakukan serta merta. Pengadilan sendiri bahkan masih berkemungkinan menolak permohonan pemeriksaan yang telah diajukan (pasal 54 ayat 1). Andaikata Pengadilan mengabulkannya, lembaga yudikatif itu akan mengeluarkan penetapan dan mengangkat ahli (maksimal 3 orang) yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan (pasal 54 ayat 2).
+++
Peraturan perundang-undangan mengenai Yayasan tersebut memang merupakan kemajuan yang sangat berarti bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Tapi bagaimana pun memang belum lengkap dan jauh dari sempurna. Setidaknya sebagaimana yamg tertuang dalam catatan berikut.
Persoalan utama keberadaan Yayasan hari ini terletak pada petunjuk pelaksanaan terhadap siapa yang berwenang, ditugaskan, dan wajib melakukan pengawasan dan pembinaan. Agar keberadaan setiap Yayasan yang berdiri dan beroperasi di negeri ini, tetap sejalan dengan hakekatnya. Yakni sebagai salah satu bentuk peranserta dan keterlibatan khalayak luas dalam mengatasi persoalan sosial kemasyarakatan. Sebab bagaimanapun, pemerintah tak mungkin sepenuhnya dapat melaksanakan tugas dan kewajiban konstitusi yang diamanahkan ke pundaknya sendiri.
Hal itulah yang melatar belakangi gagasan brilian dan cemerlang almarhum Abdurrahman Wahid ketika membubarkan Departemen Sosial saat menjadi Presiden RI keempat dulu. Menurut beliau, selama Departemen Sosial masih ada, pemerintah dan masyarakat tak bakal pernah sejalan. Sebab pemerintah menjadi begitu berkuasa dan masyarakat tak kunjung mandiri karena terus-menerus dilayani.
"Masyarakat harus mengambil alih tugas-tugas tersebut, kemudian pemerintah akan mengevaluasi kerja masyarakat. Saya sendiri percaya pada mekanisme masyarakat," kata Gus Dur dalam Sidang Paripurna DPR di Jakarta, pada tanggal 18 November 1999 lalu.
Sejarah memang mencatat, lembaga itu merupakan biang kerok berbagai persoalan mendasar bangsa ini. Departemen Sosial bukan hanya dikenal sebagai gudang penyelewengan kekuasaan dan anggaran Negara. Tapi juga rahim yang melegitimasi masalah sosial kontemporer di zamannya. Seperti dalam hal 'memasyarakatkan' perjudian massal yang terselubung, melalui program SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah) dan Porkas (Pekan Olahraga dan Ketangkasan). Alih-alih menyelesaikan tugasnya yang marak tersebab kemiskinan dan tingkat pendidikan rata-rata masyarakat yang rendah, mereka malah merekayasa kehadiran persoalan sosial yang baru itu.
Dua tahun setelah Gus Dur membubarkan Departemen Sosial, MPR kemudian bersidang dan mengangkat Megawati sebagai penggantinya. Presiden kelima RI yang beberapa waktu lalu 'melecehkan' tukang bakso itu, justru mengawali langkahnya dengan menghidupkan kembali Departemen Sosial. Ditunjuknyalah Bachtiar Chamsyah untuk mengisi posisi menteri.
Sinyalemen Gus Dur tentang Departemen Sosial yang seperti sarang tikus yang perlu diberangus, benar belaka. Sebelum Juliari Batubara dicokok KPK akhir tahun 2020 lalu -- kader PDIP yang diangkat menjadi Menteri Sosial pada era kepemimpinan Joko Widodo periode kedua sekarang -- 2 menteri departemen yang kini menjadi kementerian itu, juga terbukti sama bejatnya.
Termasuk Bachtiar Chamsyah, politisi PPP yang ketuanya waktu itu, Hamzah Haz, diangkat sebagai Wakil Presiden mendampingi Megawati.
Bachtiar kemudian tetap dipertahankan SBY menempati jabatannya. Setelah dia berhasil mengalahkan Megawati lewat pemilihan presiden yang untuk pertama kalinya diselenggarakan secara langsung. Tapi pada tahun 2010, dia akhirnya ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi.
Menteri Sosial lain yang setali-tiga-uang dengan Juliar maupun Bachtiar adalah, Idrus Marham. Sosok politikus dari Golkar yang ditunjuk Joko Widodo di penghujung periode kepemimpinannya yang pertama itu (2018), baru sempat menjabat selama 8 bulan. Sebelum akhirnya berurusan dengan lembaga anti rasuah yang dulu disegani dan dihormati masyarakat luas tersebut.
+++
Pemikiran Gus Dur yang menginginkan masyarakat mengambil alih tugas-tugas sosial kemasyarakatan, sementara pemerintah ditekankannya lebih berperan dalam hal evaluasi, mau tidak mau turut mewarnai lahirnya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Kegiatan non profit untuk tujuan sosial tertentu yang diorganisasikan masyarakat lewat yayasan, sudah berlangsung sejak zaman penjajahan. Tapi tanpa dasar dan ketentuan hukum yang jelas sehingga kerap disalahkan gunakan untuk kepentingan sempit pendiri dan pengurusnya. Di era Orde Baru, berbagai penyelewengan kekuasaan dan penjarahan kekayaan Negara, justru banyak berlangsung lewat 'topeng' filantropi yayasan yang didirikan penguasa Negara yang berasal dari kalangan sipil maupun militer. Pekerjaan rumah untuk membenahi kesemerawutan yang diciptakannya bahkan tak kunjung terselesaikan hingga hari ini.
UU 16/2001 tentang Yayasan yang kemudian hari disempurnakan lewat UU 28/2004, dimaksudkan untuk membenahi sekaligus memfasilitasi gagasan 'menyerahkan' tugas-tugas sosial tersebut kepada masyarakat. Tentu saja dengan ketentuan dan tatacara agar keberadaannya sesuai dengan tujuan pendirian. Dapat dipertanggung-jawabkan dan tidak digunakan untuk kepentingan pribadi maupun perbuatan yang merugikan Negara.
Demikianlah latar belakang ketentuan larangan pengalihan maupun pembagian kekayaan Yayasan kepada Pendiri, Pembina, Pengurus, maupun Pengawasnya (pasal 5). Hal yang ditegaskan secara gamblang tersebut, juga dilengkapi dengan ancaman pidana penjara hingga 5 tahun bagi yang mengingkarinya (pasal 70).
Tapi larangan itu mestinya dirumuskan pada ketentuan turunan yang lebih tegas dan rinci. Agar pemerintah yang sejatinya senantiasa memgevaluasi kegiatan masyarakat itu, menjalankan fungsi dan peran pengawasan dan pembinaan mereka. Mengembangkan ketentuan dan tatacara agar kepatuhan yang selaras (comply) organ Yayasan terhadap ketentuan perundang-undangan, terselenggara secara seksama. Juga agar sebagai penyelenggara Negara, mereka memiliki kemampuan preventif dan antisipatif sehingga pelanggaran ketentuan tak berlarut, bahkan mampu dicegah lebih dini.
Artinya, pemerintah yang berkuasa tak boleh dan tidak diperkenankan konstitusi untuk bertindak semena-mena 'mengadili' diluar ketentuan hukum. Sebagaimana tindakan pembekuan rekening ACT dan pencabutan izin yang diberitakan Koran Tempo, 7 Juli 2022 lalu.
Mendasarkan langkah dan tindakan kepada Peraturan Pemerintah No 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan yang ditanda-tangani Presiden Suharto dulu, tentu saja sangat berlebihan. Sebab pada dasarnya ketentuan itu disusun untuk kewenangan instansi yang memberi izin kepada masyarakat untuk mengumpulkan sumbangan. Acuannya pun UU No 9 tahun 1961 yang kala itu ditanda-tangani Djuanda, selaku Pejabat Presiden Republik Indonesia.
+++
Majalah dan Koran Tempo telah melakukan tugasnya sebagai pilar keempat demokrasi dengan baik. Untuk mengungkap kebobrokan yang selama ini sejatinya berlangsung luas di tengah masyarakat. Tentang penyelewengan dan penyalahgunaan Yayasan oleh oknum-oknumnya yang tidak bertanggung jawab. Padahal, peran serta dan partisipasi masyarakat dalam menangani berbagai persoalan sosial kemasyarakat yang semakin kompleks, salah satunya melalui lembaga nirlaba Yayasan, semakin penting dan dibutuhkan.
Tapi Majalah dan Koran Tempo juga tak boleh berhenti di sana. Sepatutnya pula mereka mengungkap kebobrokan dan ketidak becusan lembaga Legislatif maupun Eksekutif bangsa ini, yang abai menuntaskan, memperbaiki, dan menyempurnakan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Termasuk dalam penyelenggaraan Yayasan di republik ini.
Jika kau telah memulainya, maka kau pula yang harus mengakhirinya.
Mardhani, Jilal -- 8 Juli 2022 (dipublikasikan 9 Juli 2022)
Editor: Ariful Hakim