Trumpcession: Pasrah yang Visioner? | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Trumpcession: Pasrah yang Visioner?

RNI (Rangkaian Ngopi Imajiner) bersama Gus Dur

Ceknricek.com -- Dalam beberapa hari terakhir, jujur saja, saya memang sedang menanti-nanti kehadiran Gus Dur untuk mohon maaf lahir batin di Idul Fitri 1446 H ini, sembari mencermati kabar adanya pertemuan Presiden Prabowo dengan ibu Megawati Soekarno Putri. Eh.. tanpa diduga beliau tetiba muncul: ‘’Selamat datang di babak baru perdagangan global Mas: di mana aturan dibuat oleh yang kuat, dan yang lemah disarankan untuk tidak mengeluh terlalu keras he..he..he..’’

Belum sempat saya menanggapi, beliau melanjutkan: ‘’Mas, ibarat kado Lebaran, pemerintahan Donald Trump mulai memberlakukan tarif global sebesar 10% pada semua impor, dengan tarif lebih tinggi hingga 49% dikenakan pada negara-negara tertentu seperti Kamboja, Vietnam, dan China. Uni Eropa harus menghadapi tarif sebesar 20%, yang mendorong ancaman tindakan balasan sebanding dari negara-negara Eropa yang selama ini dikenal sekutu dekat Amerika.

Pejabat administrasi pemerintahan masa jabatan kedua Donald J. Trump menggambarkan pemberlakuan tarif ini sebagai "penyesuaian harga satu kali" yang diperlukan untuk rekalkulasi ekonomi bagi kepentingan Amerika, tentu. Ya, sejak 2 April 2025 lalu, Presiden Trump mengumumkan penerapan tarif "resiprokal" sebesar 10% pada impor dari 185 negara, termasuk sekutu utama di Eropa dan Asia. Tarif ini dimaksudkan untuk mengatasi defisit perdagangan AS dan merangsang industri domestik. Trump mengakui potensi volatilitas pasar akibat kebijakan ini, menyatakan bahwa "terkadang Anda harus minum obat pahit untuk memperbaiki sesuatu."

Bila kita kilas-balik, sejak awal masa jabatan pertamanya dulu, Presiden Trump mengadopsi pendekatan proteksionis dalam perdagangan internasional dengan tujuan mengurangi defisit perdagangan dan meningkatkan lapangan kerja di sektor manufaktur Amerika, yang selalu digembar-gemborkan sejak masa kampanye dan membuatnya menang. Kita tentu masih ingat, pada masa kepresidenan Donald J. Trump (2017–2021), Amerika Serikat serta dunia menyaksikan pergeseran besar dalam arah kebijakan ekonomi, khususnya di bidang perdagangan internasional. Dengan slogan "America First", Trump mendorong kebijakan proteksionis, meninjau ulang perjanjian dagang multilateral, dan memberlakukan tarif tinggi terhadap negara-negara mitra dagang utama — terutama Tiongkok.

Kini, penerapan reciprocal tariffs, diprediksi akan memicu mulainya gelombang resesi global. Istilah “Trumpcession” menjadi simbol bahwa kebijakan ekonomi nasionalistik yang tidak disertai koordinasi global dapat berbalik menjadi bumerang bagi penurunan kinerja ekonomi Amerika. Pengumuman tarif pada April 2025 menyebabkan penurunan tajam di pasar saham, dengan Dow Jones turun 1.600 poin dan S&P 500 serta Nasdaq mengalami penurunan terbesar sejak 2020. Bursa saham Indonesia sendiri dibuka langsung di-hold karena anjlok 9% lebih ke kisaran 5900-an.

Harus diakui secara kritis, tarif Trump 2025 bukan sekadar angka di neraca dagang dan pasar saham serta berbagai indikator ekonomi lainnya. Ia adalah simbol jelas dan tajam bagaimana globalisasi bisa berubah menjadi egoisasi. Dengan kebijakan ini Trump telah sangat berhasil membuat perekonomian global menjadi sebuah panggung teater nan absurd: dimana ketidak-pastian adalah bintang utamanya!

Dan Indonesia? Kita tetap tersenyum atau berusaha tenang. Tentu, senyum itu mungkin getir dan ironis. Tapi hei, bukankah kita memang jago dalam berpura-pura bahwa semua baik-baik saja? Kita sudah biasa hidup dalam ketidakpastian. Biasa menghadapi kebijakan global yang bikin kepala pening. Tapi satu hal yang luar biasa dari Indonesia: daya tahan kita terhadap kekacauan. Kita akan menyanyi di tengah krisis, berjoget saat rupiah terjun, dan menyalahkan cuaca saat ekspor anjlok. Karena begitulah cara kita menghadapi dunia: dengan pasrah yang visioner?

Solusi? Ya, pasti ada, bahkan penuh semangat optimisme lhoo..mari jual produk kita ke planet lain, karena pasar regional juga sedang pusing. Uni Eropa sedang urus Putin, Tiongkok sedang balas AS, dan ASEAN? Ya, kita semua satu perahu bocor. Belum lagi soal kita perbaiki iklim investasi sambil kita atur ulang pajak dan deregulasi, mari berharap investor masih percaya pada sistem hukum yang kadang-kadang seperti peribahasa esuk dele sore tempe alias tidak konsisten, ini sarkasme saya. Mumpung masih suasana Idul Fitri, saya mohon maaf lahir batih juga ya..’’, pungkas Gus Dur sembari berlalu.

Saya masih bengong, juga bingung mencerna paparan beliau tadi. Saya jadi teringat berbagai ulasan yang ditandaskan beragam ekonom: kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh AS memberikan tantangan serius bagi perekonomian Indonesia. Namun, dengan respon yang tepat dan strategi mitigasi yang efektif, Indonesia dapat mengurangi dampak negatif dan bahkan menemukan peluang baru dalam dinamika perdagangan global. Penting bagi pemerintah, pelaku usaha, dan seluruh pemangku kepentingan untuk bersinergi dalam menghadapi tantangan ini demi menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional. Semoga demikian!

*) Greg Teguh Santoso, pemikir lepas-bebas, doktor di bidang Knowledge Management and Digital Communication.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait