Ceknricek.com--Bila ada keluarga atau orang terdekat anda yang didiagnosa kena penyakit ginjal, maka anda akan mencari informasi, termasuk bertanya pada teman anda yang dokter atau teman yang bekerja di lingkungan RS, tentang dokter ahli ginjal terbaik yang ada di kota anda. Sebelum membawa keluarga anda untuk berobat, anda akan lebih dulu googling via internet untuk mencari informasi tentang data diri sampai latar belakang pendidikan, dokter ahli ginjal yang dimaksud. Bahkan bila diperlukan anda akan terbang ke kota lain demi bisa bertemu dengan dokter terbaik yang anda merasa percaya dan bisa diandalkan untuk mengobati penyakit orang yang anda sayangi itu.
Di sisi lain, seorang dokter spesialis apapun yang baru memulai pekerjaan profesinya, dia akan berusaha melakukan yang terbaik bagi pasien-pasiennya. Upaya pengobatan terbaik dengan standar tertinggi ini, selain sebagai upaya melaksanakan isi sumpah dokter dan kode etik dokter Indonesia (KODEKI), juga bagian dari upaya untuk membangun ‘trust’ atau kepercayaan dari pasien, keluarganya, serta dari sejawat dokter lainnya.
Upaya untuk membangun ‘trust’ publik ini tentu saja bukan sebuah proses yang instant serta bisa diperoleh secara gampang dalam waktu yang singkat. Praktek kedokteran, bidang spesialis apapun, tidak satupun yang menjanjikan suatu kepastian kesembuhan melainkan sebagai upaya atau ikhtiar medis berlandaskan evidence based medicine, sebagai ikhtiar terbaik dengan persentase kesembuhan yang tertinggi untuk waktu itu.
Jadi bila ada dokter spesialis Bedah Saraf, misalnya, yang terkenal ahli dalam Penanganan Bedah Epilepsi, menjadi tujuan berobat banyak pasien epilepsi dari pelbagai daerah, serta menjadi tempat rujukan para dokter lain terkait penyakit epilepsi, tentulah hal itu bukan sebuah anugrah dari menkes, atau hasil dari mengiklankan diri via berbagai media. Semua itu merupakan hasil kerja keras berpuluh tahun untuk membangun ‘trust’ dari masyarakat dan dari para sejawat dokter lainnya, atas dasar kompetensi yang jelas dan skill komunikasi yang baik, dalam bingkai etika profesi yang terjaga baik dan berorientasi pada keselamatan pasien (patient safety).
Hubungan Kerja Kolaboratif Dokter Spesialis dengan Nakes lain di Rumah Sakit
Seorang dokter spesialis di RS tidak mungkin bekerja sendiri dalam merawat dan mengobati pasiennya. Setiap bentuk layanan kesehatan di RS adalah hasil kolaborasi antara dokter dengan nakes lain seperti perawat, Ahli Gizi, Ahli Farmasi, dan lainnya demi kesembuhan pasien. RS berperan penting menyediakan fasilitas diagnostik yang baik, fasilitas terapetik seperti Cath Lab, Kamar Bedah dengan segala kelengkapannya, serta sistem administrasi dan sistem informasi (Rekam Medik, dsb.) agar semua proses kolaborasi tersebut bisa berjalan dengan baik.
Seorang spesialis hanya bisa melaksanakan tugas profesionalnya dalam membangun dan memelihara ‘trust’ publik bila didukung oleh fasilitas diagnostik maupun terapetik yang disediakan oleh RS, dan sebaliknya RS akan bisa mengembangkan layanan spesialistik bila didukung oleh para spesialis yang selain kompeten juga memiliki etika profesi yang luhur dan mengutamakan keselamatan pasien, bukan sekedar berjuang mencari hidup dari sakitnya pasien. Jadi ada keterikatan teamwork yang terbangun antara dokter spesialis dengan tim nakes di Ruang Perawatan maupun di Kamar Bedah yang tidak gampang digantikan, yang nantinya berujung pada ‘trust’ Dokter-pasien-RS. Teamwork seperti ini tentu tidak ada atau berbeda dengan pekerjaan di industri perbankan atau industri pariwisata misalnya.
Jadi jelas bahwa ada keterikatan kolaboratif yang setara antara profesi dokter spesialis dengan RS tempat dia berprofesi dalam membangun dan memelihara ‘trust’ publik dari masyarakat penerima layanan kesehatan. Layanan kesehatan spesialistik di sebuah RS atau Klinik bukanlah sekedar sebuah tempat transaksi bisnis finansial, jual beli antara dokter dan pasien, seperti yang terjadi di bank atau bahkan di gedung-gedung tinggi milik para oligarki. Layanan kesehatan spesialistik di RS adalah sebuah media utama yang memungkinkan terbangunnya ‘trust’ dalam sebuah bingkai etika profesi dan patient safety antara dokter dengan para pasiennya.
Hak dokter spesialis ASN untuk Berpraktek di Tiga Tempat : Legal dan Halal
Menjadi seorang dokter spesialis melalui Pendidikan PPDS adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh pengorbanan dan airmata, termasuk dari orang tua dan keluarga. Sebagian besar dokter spesialis membiayai pendidikannya secara mandiri, dari orang tua dan/ atau mertua, atau istri/ suami yang rela ‘menunda’ kesejahteraan dalam hidup berumah tangga. Setelah lulus dan bekerja sebagai tenaga fungsional di RSV maupun RSUD, dengan penghasilan yang terbatas, mereka berhak memperoleh penghasilan tambahan yang legal dan halal dari praktek di RS Swasta. Di sisi lain, praktek para spesialis tersebut di RS swasta juga bisa memperluas dan mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh layanan medis spesialistik yang berkualitas (karena faktanya mendaftar periksa spesialis di RS Vertikal dibatasi kuota, dan antrean untuk rawat inap cukup panjang karena jumlah bed yang terbatas di RSV/ RSUD).
Yang tampak aneh adalah, saat menkes berteriak bahwa kita kekurangan spesialis, tapi faktanya menkes banyak membuat kebijakan yang ujung-ujungnya membatasi dan menghambat akses masyarakat dan orang sakit untuk mendapatkan layanan medis spesialistik yang berkualitas. Pertama adalah aturan tentang mono-loyalitas, disaat jumlah dokter subspesialis masih terbatas dan hampir semua berada di RSV karena perannya sebagai RS Pendidikan. Para Spesialis di RSV tidak diijinkan untuk bekerja di RS lain.
Meskipun para spesialis tersebut memperoleh gaji yang memadai bahkan lebih dari cukup, tapi hak masyarakat untuk bisa bertemu dengan para dokter spesialis tersebut menjadi terbatas karena mesti mengantre 6-12 bulan untuk bisa di rawat inap di RSV. Saat meninjau RS Kardiologi Emirates-Indonesia di Solo, tg 23/11/2024, menkes mengatakan akan memindahkan dokter spesialis jantung dari RS Sardjito ke RS Kardiologi di Solo, dan bahkan mengatakan bahwa para dokter spesialis tersebut nantinya tidak diperbolehkan bekerja di tempat lain alias mono-loyalitas (https://solo.tribunnews.com/2024/11/23/tarik-dokter-rsup-dr-sardjito-ke-rs-kardiologi-di-solo-menkes-dokter-tak-boleh). Keputusan ini adalah kebijakan semena-mena yang melambangkan sebuah pertunjukan arogansi kekuasaan, yang selain menghancurkan ‘trust’ yang sudah terbangun selama berpuluh tahun antara dokter-pasien-RS, juga akan semakin membatasi hak rakyat untuk mendapatkan layanan spesialistik dari para dokter spesialis tersebut. Memposisikan para dokter spesialis pegawai kemenkes tersebut bak para karyawan industri Layanan Kesehatan, yang disamakan dengan karyawan/ pejabat struktural industri Perbankan adalah kebijakan tolol yang berakar dari Pikiran Sesat menkes.
Kebijakan menkes yang menghancurkan ‘trust’ antara Dokter-Pasien-RS
Baru-baru ini beredar Surat No. KP.02.03/D/46389/2024 tentang Mutasi Rotasi Pegawai di Lingkungan Dirjen Yankes. Dengan surat dirjen yankes ini, menkes mencoba unjuk kekuasaan, sebagai kelanjutan dari Permenkes 12/2024 yang memposisikan menkes bak Fir’aun Moderen, Hitler, atau diktator yang menguasai seluruh tatakelola dokter dan nakes mulai dari produksi, kompetensi sampai lembaga kontrol kompetensi, sampai distribusinya.
Surat dirjen yankes ini adalah sekedar awal dari pertunjukan kekuasaan yang penuh arogansi tanpa memahami esensi hubungan dokter-pasien-rumah sakit yang dibangun dengan landasan nilai ‘trust’ ini. Bagi sang diktator (menkes) dan jajarannya, hubungan dokter-pasien-RS dipandang sebagai sekedar sebuah transaksi bisnis, jual beli demi mencari untung semata bak industri perbankan. Atas dasar pikiran sesat (logical fallacy) inilah, seorang dokter spesialis/ tenaga fungsional dengan mudahnya bisa dimutasi ke RS lain di daerah lain bak pemain catur memindahkan posisi bidak di atas papan catur. Mutasi model seperti ini sudah sering dilakukan oleh Kepala Daerah sebagai hukuman bagi pegawai/ pejabat struktural daerah yang tidak taat perintah, atau mendukung calon lain saat Pilkada.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, masyarakat kelas menengah ke atas, datang ke RS untuk mencari dokter spesialis yang mereka percaya. Mereka bahkan bukan mencari RS, karena mereka akan pergi kemanapun untuk bertemu dengan dokter spesialis yang terlanjur dipercaya. Melakukan mutasi/ rotasi pejabat/ pegawai fungsional dengan memindahkan dokter spesialis dari RSV akan memutuskan dan menghancurkan ‘trust’ yang selama bertahun bahkan berpuluh tahun telah terbangun antara dokter-pasien-RS. Pasien akan kehilangan dokter yang dipercaya, dokter akan kehilangan pasien yang selama ini memberinya kepercayaan, dan tidak mudah bagi RS untuk bisa membangun kembali ‘trust’ dokter-pasien ini mulai dari nol.
Diduga kuat, mutasi dokter spesialis ala menkes ini murni sebagai sarana unjuk kekuasaan menkes, karena tidak pernah dibahas dengan Fakultas Kedokteran yang terkait, mengingat posisi dokter spesialis tsb. sebagai Dokter Pendidik Klinis/ Dosen Tidak Tetap bagi program studi PPDS setempat. Selain mendadak dan tidak pernah dibahas apalagi didiskusikan dengan ybs., mutasi ini berpotensi besar menimbulkan kegoncangan dalam keharmonisan keluarga sampai pada kegoncangan finansial keluarga. Betapa naif dan konyolnya bila kebijakan yang dilandasi pikiran sesat, serta menegasikan sampai menghancurkan esensi ‘trust’ terkait hubungan Dokter-Pasien-RS ini terus dibiarkan tanpa koreksi oleh Presiden RI sebagai atasan langsung menkes.
#Zainal Muttaqin, Praktisi Medis Bedah Saraf (30 tahun), Guru Besar FK Undip
Editor: Ariful Hakim