Ceknricek.com -- "We cannot speak other than by our paintings" - Vincent van Gogh.
Suatu hari di Arles, Perancis 1888, setelah bertengkar dengan Paul Gauguin, Vincent van Gogh mengambil pisau cukur. Ia memotong salah satu telinganya, kemudian membungkusnya dalam koran dan memberikannya kepada seorang pelacur.
Tulisan “jaga ini baik-baik dan ingatlah aku” ditemukan bersamaan dengan telinga yang ia kirim. Kontan saja hal tersebut membuat seisi rumah bordil ketakutan. Setelah insiden mutilasi tesebut, Vincent kembali pulang ke rumah untuk melukis dirinya sendiri. Wajah berperban itu ia abadikan dalam Autoportrait à l'oreille bandée (Potret Diri dengan Perban di Telinga).
Lahir tepat pada tanggal hari ini, 30 Maret 1853, pelukis impresionisme terhebat dari Belanda ini selama hidupnya telah menciptakan kurang lebih 860-an lukisan. Namun sayang, Vincent tidak pernah tenar namanya sebagai seorang pelukis ketika masih hidup. Baru setelah kematiannya tahun 1890 karyanya mampu mempengaruhi kebudayan populer.
Rumah Sakit Jiwa
Tahun 1889 Vincent van Gogh masuk rumah sakit jiwa secara sukarela di daerah Saint-Rémy de Provence. Menurut buku Van Gogh, The Life (2011), seorang dokter bernama Théophile Peyron memberikan vonis epilepsi kepadanya. Di buku lain, Vincent van Gogh (2011), Victoria Charles mengatakan bahwa van Gogh masuk ke rumah sakit jiwa setelah bertengkar dengan teman sekaligus pelukis pasca-impresionis lain bernama Paul Gauguin.
Di sinilah ia kemudian melukis Malam Penuh Bintang (The Starry Night) salah satu lukisannya yang paling terkenal dan menjadi saksi bisu dari hidupnya yang tragis. Lukisan tersebut menggambarkan pusaran angin yang secara matematis sangat mirip dengan pola pusaran angin sebenarnya. Lukisan yang mengekspresikan kegairahan yang tinggi sekaligus perasaan kesepian sang pelukis yang cenderung menggunakan warna-warna gelap sesuai keadaan yang sepi. Kini, lukisan tersebut terpampang di Museum of Modern Art di New York, Amerika Serikat.
Surat-Surat Vincent
Sebagai seorang pelukis, Vincent van Gogh dikenal sebagai seseorang yang gemar menulis surat, khususnya kepada Theo, adiknya, yang sering memberikan bantuan ketika ia kekurangan uang atau kehabisan bahan cat. Keduanya memang telah sepakat dengan kontrak persaudaraan sedarah. Sang kakak bertugas melukis, sementara sang adik menampung karya-karya kakaknya untuk dijual.

“Sebenarnya saya ini tidak punya teman, kecuali Anda, dan kalau saya merasa begitu pedih, maka Andalah yang selalu muncul dalam ingatan”, demikian selarik kalimat dari surat Vincent kepada adiknya, Theo, yang dikirim dari Den Haag pada tahun 1883.
Selain berkorespondensi dengan sang adik, Vincent juga sering menulis surat kepada Jan Hendrick Weisenbruch, seorang pelukis dari Belanda. Dalam salah satu suratnya, Weisenbrch sering memberi semangat untuk Vincent tentang bagaimana mengambil sikap sebagai seeorang seniman dalam menjalani hidup.
“Karena itu aku membuatmu menjadi seorang pelukis sejati. Semakin kau menderita, semakin besar seharusnya rasa terima kasihmu. Itulah yang membuat seseorang menjadi pelukis kelas satu. Perut kosong lebih bagus daripada perut kenyang, Van Gogh, dan patah hati lebih baik daripada kebahagiaan. Jangan pernah lupakan itu!”--“Lust for Life" (Serambi, 249: 2012). Surat tersebut adalah jawaban Wissenbruch ketika Van Gogh mencoba meminjam uang untuk menyambung hidupnya sebagai seorang pelukis.
Seperti dilansir Vangoghmuseum.nl, di masa mudanya Vincent van Gogh hidup morat-marit. Untuk menutupi kondisi ekonominya, selain bantuan dari adiknya atau dari beberapa koresponden teman sesama pelukis, ia sering menukar karya seninya untuk menyambung hidup. Vincent van Gogh seringkali menukar karyanya dengan makanan atau alat-alat melukis.
Ada Peluru di Dada
Minggu malam 27 Juli 1890, van Gogh kembali ke penginapan sambil memegang dadanya. Sang pemilik penginapan menemukan sang pelukis merintih. “Saya terluka,” ujarnya. Ternyata sebuah peluru telah bersemayam di dadanya.
Setelah 30 jam, Vincent van Gogh yang pada saat itu berumur 37 tahun mengembuskan nafas terakhir pada 29 Juli 1890. Bagaimana peluru itu bisa bersarang di dada van Gogh terus diperdebatkan. Julius Meier-Graefe dalam Vincent van Gogh: A Biography (1910) mengatakan, maestro pasca-impresionis ini meninggal karena bunuh diri.
Namun menurut catatan Steven Naifeh dan Gregory W. Smith dalam Van Gogh, The Life (2011), luka di dada itu berasal dari tembakan jarak jauh sehingga kematiannya bukan akibat tindakan bunuh diri. Tanpa otopsi, saksi mata, dan barang bukti, tak seorang pun tahu siapa pelakunya-kendati ada pula dugaan bahwa sang pelaku adalah René Secrétan, seorang pelajar asal Paris yang tak sengaja menembak van Gogh.
Sepanjang hidupnya, Van Gogh telah menorehkan kecintaannya pada seni lukis. Ia punya keyakinan bahwa pada suatu saat bisa mandiri dan tak selalu bergantung pada Theo. Senyatanya, Van Gogh tak mampu menjual lukisannya sepanjang hidupnya, kecuali satu lukisan berjudul “Kebun Anggur Merah”. Karya ini dibeli oleh Anna Boch, kakak dari teman van Gogh yang bernama Eugene Boch, seharga 400 Franc atau sekitar Rp27 juta.
Pada pidato menjelang Vincent Van Gogh diturunkan ke liang lahat, dokter Gachet (orang yang merawat Vincent di masa-masa akhir jelang hidupnya) berpidato, “janganlah kita berputus asa, kita yang menjadi teman-teman Vincent. Vincent tidak mati. Dia tidak akan pernah mati. Cinta, kejeniusan, dan keindahan luar biasa yang telah dia ciptakan akan hidup selamanya, memperkaya dunia. Vincent van Gogh memang akan tetap abadi lewat sapuan-sapuan kuasnya yang indah di atas kanvas."