Ceknricek.com--Sebenarnya bukan hanya satu atau dua penjajah Belanda di Indonesia yang suka melakukan kekejaman ketika mereka berkuasa. Alias haus darah. Namun di antara mereka yang kejam itu, salah seorang di antaranya yang mungkin sampai kini masih diingat dengan geram oleh banyak warga di Indonesia adalah Raymond Pierre Paul Westerling, yang juga digelari “Turko” karena dia dilahirkan di Istanbul, Turki, dan berdarah campuran Belanda dan Yunani.
Bagi seorang Westerling nilai “kemanusiaan” seorang orang Indonesia memang hampir tidak ada.Dan ini nampaknya memang merupakan bagian dari “budaya atau sifat jiwa” orang Belanda pada waktu itu, seperti yang pernah dicela keras oleh tokoh terkemuka Belanda dalam tahun 1511, Erasmus.
Dalam tulisan sebelumnya yang dimuat CeknRicek, penulis mengemukakan: Dalam Tahun 1511, seorang pemikir dan humanis Belanda, Desiderius Erasmus Roterodamus, lebih dikenal dengan nama tengahnya Erasmus, pernah mencela habis-habisan sikap masyarakat (Belanda) waktu itu yang ditudingnya “telah dibimbing oleh anutan keyakinan yang didasarkan atas darah….” (The Lessons of Terror oleh Caleb Carr, halaman 65).
Sang keparat Westerling pertama kali mencecahkan kaki di Indonesia melalui Medan dalam bulan September 1945, sebagai seorang anggota KNIL – angkatan perang kolonial Hindia Belanda, yang di antara anggota-anggotanya juga terdapat ”orang-orang” Indonesia.
Konon ketika bertugas di kampung halaman saya itu (Medan), Westerling berhasil menyudahi riwayat seorang “pemimpin gerombolan” bernama Terakan yang dikatakan bertanggung jawab atas serangan-serangan terhadap warga Indonesia maupun anggota masyarakat sipil Eropa (Belanda) di Sumatera Utara.
Dalam memoarnya Westerling menuturkan apa yang dilakukannya terhadap Terakan sebagai berikut: “Kami memancang tombak di tengah-tengah kampung dan di ujung tombak itu kami tusukkan kepala Terakan. Di bawah tombak itu kami bubuhkan tulisan sebagai peringatan sopan kepada para anggota gerombolannya bahwa apabila mereka terus bersikukuh melakukan perbuatan terkutuk mereka, maka niscaya kepala-kepala mereka akan menyusul menghiasi ujung-ujung tombak berikutnya.”
Bagi penguasa penjajah Belanda waktu itu, sikap dan perbuatan Westerling dianggap suatu ketegasan terpuji. Tidak lama setelah itu Westerling mendapat tugas baru. Kali ini agar mengikis habis “pemberontakan para teroris merah-putih” di Sulawesi.
Disayangkan, bahwa serdadu-serdadu Belanda pada waktu itu juga didampingi unsur (lebih tepat oknum) jenis bangsa lainnya yang pada halnya telah begitu lama menikmati kenikmatan hidup di Zamrud Khatulistiwa itu.
Laporan yang didalangi penjajah Belanda waktu itu menyebutkan bahwa keadaan di Sulawesi Selatan "sudah carut marut; perekonomian lumpuh, sementara warga yang masih sangsi dan tidak mau berpihak kepada penjajah ditekan agar menjauh dari Belanda dan antek-anteknya.”
Bulan Desember 1946, Westerling menerima arahan agar mengikis habis perlawanan pejuang merah putih (yang difitnah sebagai teroris merah putih). Dilaporkan oleh sementara sejarawan waktu itu para laskar gerilya dari Jawa banyak yang bergabung dengan para pejuang kemerdekaan di Sulawesi Selatan, hingga Belanda serta konco-konconya benar-benar kewalahan.
Ada yang menyebut bahwa saat-saat gebrakan para laskar merah-putih itu disebut sebagai masa “Bersiap”, hingga menyusahkan rencana licik Belanda untuk menggagalkan terbentuknya sebuah negara Indonesia yang bersatu, dan sebaliknya membentuk sebuah boneka Negara Indonesia Timur.
Setelah konsultasi yang intensif akhirnya penjajah Belanda memutuskan untuk mengerahkan dari Jawa satu batalion tambahan di bawah komando Westerling. Ia dibekali instruksi untuk menyiapkan operasi kontra gerilya merah-putih, yang disebut “teroris merah putih.”
Di antara mandat yang diberikan kepada Westerling adalah “wewenang untuk melakukan eksekusi sumir (pembunuhan semena-mena). Bagi seorang Westerling “mandat” ini memang laksana “pucuk dicinta ulam tiba”. Karena menurut Westerling “demi mengamankan” Sulawesi Selatan hanya dapat dicapai dengan mengorbankan ribuan jiwa dengan cara “eksekusi di tempat”, termasuk mereka yang disangka sebagai laskar rakyat. Tata cara ini kemudian dikenal sebagai Metoda Westerling.
Westerling ternyata punya banyak informan yang sama-sama bertugas dengan intel-intel militer Belanda. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari para informan dan intel itu, serdadu Belanda akan mengepung sebuah atau lebih dari hanya sebuah desa yang “dicurigai” pada malam hari, dan kemudian penduduk desa digiring ke suatu lokasi.
Waktu fajar tiba, oleh serdadu Belanda, terkadang dipimpin langsung oleh Westerling, mereka yang "dianggap” teroris dan pembunuh langsung ditembak di tempat. Mereka yang memberikan perlawanan bersenjata juga langsung dihabisi di tempat. Setelah itu Westerling akan mengangkat lurah baru dan membentuk satuan polisi desa. Semua yang hadir diwajibkan bersumpah dengan Quran bahwa mereka sekali-kali tidak bakalan mengikuti rekam jejak para “teroris”. Akhirnya Westerling membentuk satuan polisi baru dan menyusun “dewan kampung” yang bertanggung jawab untuk memelihara ketertiban.
Berbagai pengamat sejarah menilai bahwa setelah Indonesia akhirnya merdeka dan berdaulat, paling tidak sampai tahun 1954, pihak Belanda masih belum seratus persen yakin bahwa Westerling adalah “manusia yang jahat”. Payah untuk dipercaya bahwa upaya untuk meninggikan derajat Westerling ini pernah berulang kali dilakukan oleh pihak Belanda. Beberapa kali Westerling diusulkan agar dianugerahi “satya lencana” oleh pemerintah Belanda.
Misal saja dalam bulan Agustus 1948, dalam sepucuk surat kepada Pangeran Bernhard, ajudannya Henk Ulrici merujuk pada kenyataan bahwa Westerling masih juga belum menerima sesuatu satya lencana, meskipun “jarang-jarang ada seorang komandan seperti dirinya, seorang pemberani yang kukuh dan ganteng.”
Pangeran Bernhard kemudian bertanya kepada Jenderal Simon Hendrik Spoor, yang terkenal perannya ketika Belanda berusaha merebut kembali Indonesia, apakah Westerling akan atau tidak bakalan memperoleh satya lencana.
Ternyata tidak ada maksud Spoor untuk memberikan penghargaan kemiliteran kepada Westerling. Ketika Westerling keluar dari ketentaraan Belanda, seorang perwira Belanda, Kolonel Reemer menyarankan agar Westerling dianugerahi Bintang Jasa Militer William karena prestasinya di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Jawa.Permohonan ini juga ditolak.
Mungkin Belanda sudah mulai merasa malu karena selama, dan bahkan setelah menjajah Indonesia mereka suka mengesankan sebagai pihak yang tidak nyaman karena dianggap sebagai “penjahat dalam sejarah”, melainkan mereka adalah sebagai “korban dalam sejarah.”
Dan setelah berhasil melarikan diri dari Indonesia, sebelum ditangkap, diadili dan dihukum sebagai penjahat perang, Westerling bermukim di kota Friesland, Belanda. Ia kemudian menulis memoar – alias kenang-kenangan masa lalunya dengan bantuan seorang penulis.
Westerling kemudian sering diundang untuk menyampaikan ceramah, yang sering dihadiri oleh para pengagumnya. Dalam suatu ceramah seperti itu, Westerling ditanya kenapa Soekarno tidak ditembak saja. Jawabannya (yang bisa menyakiti hati banyak warga Indonesia): “Orang Belanda sangat berhitung, bayangkan sebutir peluru harganya 35 sen, sedangkan nilai seorang Sukarno hanya 5 sen," kata Westerling mencemooh.
Editor: Ariful Hakim