Ceknricek.com--Beberapa hari silam badan siaran Australia, ABC, menayangkan laporan wartawannya di Indonesia, tentang sebuah pasar yang “mengasyikkan” di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Dapat dikatakan mengasyikkan, paling tidak untuk para pemirsanya di Australia, adalah karena di pasar tersebut ada yang menjual daging kalong/kelelawar/paniki, yang dipanen dari gua-gua di sekitarnya.
Bukan itu saja, melainkan juga, begitu dilaporkan wartawan ABC, Bill Birtles, di sebuah meja di dekat tempat penjual kalong itu ada sejumlah “bangkai” anjing yang kulitnya telah berubah menjadi hitam bukan karena memang itu warna aslinya, melainkan karena semburan api yang digunakan untuk menghilangkan bulu dan sekaligus mengawetkannya.
Cepat-cepat wartawan ABC tersebut menjelaskan kepada para pemirsanya bahwa daging anjing dan kalong yang dijual di pasar itu sama sekali tidak mewakili pasar-pasar lain di Indonesia, karena “makhluk-makhluk tersebut umumnya hanya santapan penduduk di Sulawesi Utara, sebuah daerah permai berhiaskan berbagai bukit.”
Tidak jauh dari meja tempat tergeletaknya anjing-anjing yang sudah tidak bernyawa itu, terdapat kandang yang berisikan anjing anjing hidup.
Seorang penjual daging anjing menjelaskan bahwa “daging-daging anjing yang dijualnya bukan yang berasal dari daerah setempat, jadi bukan anjing yang kami jadikan binatang peliharaan.”
“Kami tidak tega memakan daging anjing peliharaan kami,” katanya.
Penduduk setempat, kata wartawan ABC tersebut, menjelaskan sop kaki anjing merupakan makanan berkhasiat untuk anak-anak yang terserang demam berdarah.
Meski begitu, penguasa setempat telah mengambil langkah untuk menghentikan penjualan daging anjing dan kucing, setelah dilancarkan kampanye selama bertahun-tahun oleh organisasi penyayang binatang.
Di Tomohon, begitu dilanjutkan wartawan Bill Birtles, para petugas kantor walikota setempat melakukan inspeksi terhadap pasar setempat untuk melacak apakah ada yang menjual daging anjing dan kucing.
Pemerintah setempat secara resmi telah melarang peredaran daging anjing dan kucing, baik karena alasan hak-hak asasi makhluk-makhluk tersebut, maupun sebagai usaha untuk mencegah penyebaran penyakit yang menular dari hewan ke manusia.
Secara resmi disebutkan bahwa “penyakit itu (rabies) disebarkan dari anjing, kelelawar, kucing dan kera.”
Bukan di Minahasa Saja “kuliner” Anjing Populer
Ketika menyaksikan laporan wartawan ABC itu, saya teringat akan “kegemparan” yang timbul menjelang Turnamen Piala Dunia Sepakbola yang akan dituan rumahi secara bersama oleh Jepang dan Korea Selatan dalam tahun 2002.
Waktu itu yang menjadi pembicaraan hangat adalah laporan bahwa rakyat Korea Selatan gemar makan daging anjing.
Para penyayang anjing, terutama di Barat, sangat terganggu dengan kenyataan itu, dan mereka mencoba untuk melancarkan protes. Bangsa Inggris terutamanya dikenal sangat sayang pada binatang, terutama anjing yang disebut sebagai “sahabat paling setia manusia”.
Begitu rupa hingga semasa hayatnya Ratu Elizabeth II dikenal sebagai, antara lain, pemilik dua ekor anjing jenis Corgi, yang sering dibawa ke mana-mana.
Saking sayangnya pada binatang dalam tahun 1824 di Inggris dibentuk sebuah gerakan penyayang binatang bernama Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals (RSPCA). Organisasi sejenis ini kemudian merebak ke mana-mana.
Namun anehnya, ini kata orang Rusia, bangsa Inggris yang mengaku begitu sayang pada binatang, terutama anjing, namun kalau lagi marah, terutama terhadap seorang perempuan, maka selalu mengibaratkannya sebagai “bitch” – alias anjing betina. Perkataan “catty” alias seperti kucing juga digunakan untuk mencela seorang perempuan. Begitu juga “cow” alias sapi betina.
Menarik adalah ulasan yang pernah ditulis pengarang terkenal Amerika James A. Michener, dalam bukunya “Islam: The Misunderstood Religion” – atau Islam, Agama Yang Disalahpahami.
Dalam buku itu, James A. Michener menuturkan suatu riwayat ketika Rasulullah (saw) melihat seorang Arab menarik seekor keledai. Beliau (saw) bertanya:
“Mau dibawa kemana keledai itu?”
“Ke pandai besi,” kata Arab tadi.
“Untuk apa?,” tanya Nabi (saw).
“Supaya di bagian atas (di keningnya) dicap dengan besi panas , agar orang menjadi tahu bahwa ini adalah keledai saya,” kata Arab tadi yang menjelaskan bahwa itu merupakan kebiasaan yang sudah umum dilakukan bangsa Romawi agar orang mengetahui milik siapa hewan-hewan beban yang berkeliaran. Rupanya setiap pemilik memiliki lambangnya masing-masing.
Kata pengarang James A. Michener, Rasulullah (saw) menganjurkan kepada Arab pemilik keledai tadi agar yang dicap dengan besi panas jangan kening keledai itu, karena bagian tubuh itu sangat peka, melainkan sebaiknya di bagian punggung, karena bagian tubuh itu banyak daging dan lemaknya, hingga rasa sakit dicap dengan besi panas tidak akan separah seperti kalau keningnya yang dicap.
“Itulah barangkali asal usul alias cikal bakal Gerakan Penyayang Binatang yang dalam abad ke-19 dibentuk di Inggris,” kata James A. Michener.
Dan dalam film-film Cowboy juga sering kita lihat bagaimana para pemilik sapi mencap bagian punggung hewan peliharaannya itu dengan besi panas untuk memberi sapi itu semacam “KTP”.
Cuma, tidak semua orang paham bahwa perkataan “bitch” selain secara harfiah berarti anjing betina, secara sindiran bisa juga berarti “perempuan jahat”. Perbedaan ini kemudian disajikan dalam bentuk “humor”, ketika istri seorang warga Inggris yang suaminya bekerja di India, tidak senang dengan ulah pasangan hidupnya itu yang rupanya berselingkuh dengan perempuan lain.
Begitulah suatu pagi, ketika sang suami sedang membawa anjingnya jalan, pembantu istrinya, seorang lelaki India, tiba-tiba muncul dari balik belukar dan langsung menembak anjing tersebut hingga tewas.
“Kau gila, ya? Kenapa kau tembak anjing aku?” hardik sang suami yang juga adalah tuan si India yang rupanya tidak paham bahwa perkataan “bitch” punya dua makna.
Dengan lugu si India pembantu rumah tangga keluarga Inggris itu mengatakan:
“Nyonya suruh saya tembak itu anak ‘bitch’,” katanya.
Pada hal yang dimaksudkan sang istri dengan “anak bitch” itu adalah sang suaminya, bukan anjingnya.
Ketika saya meliput Asian Games 2002 di Busan, Korea Selatan, dalam bulan Oktober tahun itu, banyak wartawan asing yang enggan mencicipi hidangan “hot dog” yang ditawarkan restoran siap saji McDonald.
Pada hal makanan khas Amerika ini biasanya dan umumnya terbuat dari daging ayam, sapi atau babi. Makanan asal Jerman ini disebut hot dog alias “anjing panas” karena bentuknya laksana anjing khas Jerman “dachshund”.Memang benar “lain lubuk lain ikannya, lain padang lain pula belalangnya”.
Bukan di Minahasa saja ada “kuliner” yang bagi orang luar dianggap sangat tidak layak santap. Seorang wartawan sebuah mingguan Inggris, kalau saya tidak salah “The Observer”, pernah melakukan lawatan keliling di Tiongkok khusus untuk mencicipi dan kemudian menulis tentang kuliner-kuliner khas daerah yang dikunjunginya dan “kuliner” khas daerah itu yang dicicipinya.
Dia memang “pemberani” karena tidak sungkan menyantap apa saja yang khas di tiap-tiap daerah yang dikunjunginya.
Pada akhir tulisannya ia memberi nasihat sebagai berikut:
“Kalau anda berkunjung ke Tiongkok (atau ke mana saja) yang hidangan makanan khasnya dapat membuat anda mual (barangkali semisal paniki atau daging anjing/kucing), maka paling aman adalah apabila anda masuk ke restoran halal. Di restoran halal anda tidak akan disuguhi yang 'aneh' selain daging ayam, kambing atau sapi,” begitu dia berpetuah.
Editor: Ariful Hakim