Mengenang Kemanusiaan Tjipto Mangoenkoesoemo | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto : Jpnn.com

Mengenang Kemanusiaan Tjipto Mangoenkoesoemo

Ceknricek.com - Namanya abadi menjadi nama rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo. Tahun 1886 ia lahir di Ambarawa. Umur 13 tahun ia masuk Sekolah Dokter Pribumi-Stovia. Setelah lulus 1905, ia menjadi dokter pemerintah dan berhasil memberantas penyakit pes di Malang, Jawa Timur.

Atas jasanya, pemerintah kolonial Belanda memberinya penghargaan bintang emas. Namun ia menolak karena tak mau menerima hadiah dari penjajah. Dr Tjipto Mangunkusumo, meninggal tepat tanggal hari ini : 8 Maret 76 tahun silam.

 

Boedi Oetomo

Berawal dari gagasan mendirikan lembaga beasiswa untuk membantu para pelajar bumiputera, puluhan anak muda berkumpul di aula Stovia pada tahun 1908. Dalam pertemuan itu mereka sepakat mendirikan organisasi. Namanya, Boedi Oetomo (BO) yang memang sudah ditetapkan sejak awal.

Sumber : Historia.id (Foto pelajar Stovia mendirikan Budi Utomo)

Tjipto Mangoenkoesoemo turut andil dalam pendirian organisasi kebangsaan pertama di Indonesia itu. Bersama saudara kandungnya, Goenawan Mangoenkoesoemo, Tjipto adalah aktivis angkatan pertama BO selain nama-nama populer lain macam Wahidin Sudirohusodo, Radjiman Wedyodiningrat, Soetomo.

Tjipto ternyata tidak bertahan lama di Boedi Oetomo, karena karena berselisih paham dengan kubu Radjiman Wedyodiningrat. Tjipto menginginkan BO menjadi organisasi terbuka dan lebih demokratis. Sedangkan Radjiman mempertahankan BO sebagai gerakan murni priyayi Jawa. Dalam buku Kesadaran Nasional Volume I, Slamet Muljana menulis, setelah usulnya ditolak, Tjipto meletakkan jabatan sebagai Komisaris Pengurus Besar sekaligus mengundurkan diri dari Boedi Oetomo.


Tiga Serangkai Indische Partij

Tahun 1912 Tjipto Mangoenkoesoemo bersama Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) mendirikan Indische Partij (IP). IP adalah organisasi terbuka yang tanpa tedeng aling-aling menyerukan tujuan kemerdekaan. Sebagai pemimpin surat kabar De Express di Bandung, dia menerbitkan tulisan Soewardi Soerjaningrat: “Als Ik Een Nederlanderwas” (Andai saya seorang Belanda).

Sumber : p4tkpknips.blogspot.com (foto tiga serangkai;Tjipto, Dewantara, DD)

Tulisan tersebut mengkritik tindakan Kerajaan Belanda yang berulang tahun kemerdekaan ke-100 dari Prancis, 21-23 Maret 1913, namun dengan cara menggalang dana di Hindia Belanda. Akibatnya, trio Indische Partij itu dibuang ke Belanda.

Duduk (ki-ka) : Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, Soewarsdi Soerjaningrat, Berdiri (ki-ka) : F. Berding, G. L. Topi, J. Vermaesen, di Den Haag, Belanda, 1913. Foto KITLV Sumber : p4tkpknips.blogspot.com 

Setelah menjalani pengasingan selama satu tahun di negeri penjajah ia dipulangkan karena alasan kesehatan. Tjipto tiba di tanah air pada 22 Agustus 1914, dan langsung membangkitkan IP yang sebelumnya telah diberangus Belanda dengan nama baru- Insulinde.


Insulinde

Untuk mendukung gerakan Insulinde, Tjipto menerbitkan dua media sekaligus : Panggoegah dan Indische Beweging. Tulisan-tulisan Tjipto di dua surat kabar ini kerap membuat orang kolonial meradang dan terperangah. November 1915, ia sempat diajukan ke pengadilan dengan tuduhan pencemaran nama baik, namun bebas karena kurang bukti.

Tjipto pun diminta oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk masuk ke jajaran Dewan Rakyat (Volksraad) yang dibentuk 18 Mei 1918. Kendati jadi anggota dewan, Tjipto tetap vokal dan terus mengkritisi pemerintah, termasuk Volksraad sendiri. Kasunanan Surakarta Hadiningrat juga sering menjadi sasaran kecam Tjipto yang memang anti-feodalisme (Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, 1997:240).

Pergerakan Tjipto dan Insulinde tak pelak membuat pemerintah kolonial kelabakan. Ia dan kawan-kawan, termasuk Mohammad Misbach sang Haji Merah yang kala itu juga aktivis Insulinde, kerap melakukan propaganda kepada kaum tani di desa-desa untuk mogok kerja. Tanggal 4 Januari 1921, Tjipto ditangkap dan diseret ke pengadilan. Pemerintah memutuskan Tjipto dibuang ke Banda, Kepulauan Maluku, 19 Desember 1927.


Dokter Anti Kolonialisme

Meski menentang kolonialisme Belanda, Tjipto lebih mengkhawatirkan fasisme. Ketika Jerman menduduki Belanda pada 1940, dia berbalik menunjukkan simpati kepada Belanda. Dia mengirim surat ke majalah politik Nationale Commentaren yang dipimpin oleh Sam Ratulangi : “Perjuangan di Eropa sekarang itu ialah perjuangan antara demokrasi dengan totalitarianisme. Dalam perjuangan semacam itu tidak salah kita memilih, di manakah akan diletakkan perasaan simpati kita. Sudah tentu di pihak demokrasi.” Dia pun menganjurkan, “sekarang kita lebih baik tolong lawan kita itu, Holland…” Atas sikapnya ini, dia diejek sebagai orangtua yang pikun.

Tahun 1943 akibat terlalu sering dipindahkan dalam pembuangan selama belasan tahun -- Banda dipindahkan ke Bali, kemudian ke Makassar, dan diungsikan lagi ke Sukabumi, Jawa Barat -- membuat penyakit asma Tjipto jadi kian parah. Ia sempat dilarikan ke Jakarta untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Namun takdir berbicara lain. Dr Tjipto Mangunkusumo wafat pada 8 Maret 1943. Meskipun berstatus sebagai orang buangan, Tjipto justru sangat bersyukur. Ia bahkan sudah mengatakan itu jauh hari sebelumnya:

“Kalau nanti aku harus menanggung segala akibat dari kata-kata keras yang kukeluarkan dari jiwa yang pedih, aku akan bersyukur kepada Allah untuk keadilan-Nya yang memberikan kenikmatan padaku dalam hukuman : kenikmatan bahwa aku dapat berbuat jasa bagi bangsaku. Tuntutlah aku, siksalah aku, aku tiada gentar!” (Disarikan dari berbagai sumber). 



Berita Terkait