Ceknricek.com -- Dalam babak sejarah perjuangan bangsa Indonesia menuju negara berdaulat, Perundingan Linggarjati merupakan salah satu kronik sejarah antara Indonesia dengan Belanda yang nantinya menimbulkan kontroversi dari berbagai kalangan.
Perjanjian yang dimulai hari ini, 45 tahun yang lalu, tepatnya 11 November 1947 ini dilaksanakan di Kuningan, Jawa Barat, dan menentukan nasib bangsa Indonesia setelah dua tahun diproklamirkan.
Bermula dari Rumah Ibu Jasitem
Bermula dari sebuah gubuk yang dibangun tahun 1918 oleh seorang ibu bernama Jasitem, sebuah perundingan antara Indonesia dalam menyelesaikan perselisihan sengketa wilayah antara Belanda dengan Indonesia dimulai.
Pada 1921 ketika Ibu Jasitem diambil selir oleh orang Belanda lalu, gubuk itu dijual kepada seorang Belanda bernama van Ost Doom dan dijadikan Hotel Roostord pada tahun 1930. Setelah kemerdekaan hotel itu berubah nama menjadi Hotel Merdeka.
Pasca kemerdekaan, hotel itu kemudian sempat menjadi markas Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 1945 dan kelak akan menjadi tempat bersejarah dalam perundingan Linggarjati.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Peristiwa 10 November 1945
Tahun 1946 Perdana Menteri Sjahrir (14 November-3 Juli 1947) berusaha menyelesaikan sengketa wilayah dengan pihak Belanda. Sebagai negara yang ingin beradab, Indonesia pun memilih untuk berunding dengan Belanda, bukan tidak hanya dengan jalan peperangan.
Jejak peristiwa ini sebenarnya berkaitpaut dengan peristiwa 10 November 1945 dengan masuknya Tentara Inggris yang diboncengi oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA) hingga terjadi pertempuran berdarah di Surabaya.
Pada Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia sebagai upaya perundingan antara Indonesia dan Belanda yang bertempat di Konsulat Inggris di Jakarta. Perundingan ini membuahkan kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata pada 14 oktober 1946 dan berencana melakukan perundingan lebih lanjut.
Sumber: Istimewa
Semula Jakarta kembali dipilih sebagai tempat perundingan, namun menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Volume 1 (2004), pihak republik tak bersedia berunding di Jakarta. Penolakan dari pihak republik terjadi karena Jakarta pada saat itu sudah dikuasai oleh Sekutu.
Ibu kota Indonesia pada waktu itu memang telah pindah untuk sementara ke Yogyakarta pada 1 Januari 1946 setelah Jakarta diduduki oleh NICA. “Dari sinilah lalu diambil jalan tengah untuk melakukan perundingan. Tempatnya di Linggarjati, dekat Cirebon,“ tulis Rosihan.
Perundingan Kontroversial
Berdasarkan sejarah yang tertulis, Perundingan Linggarjati diadakan pada 11-14 November 1946 di desa Linggarjati, kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kota itu pun sibuk menyambut keramaian. Di pelabuhan Cirebon kapal perang Bankcert menurunkan jangkar dan menjadi penginapan delegasi Belanda.
Di lain pihak delegasi Indonesia yang terdiri dari Sutan Syahrir, A.K. Gani, Susanto Tirtoprojo, dan Mohammad Roem, dan dua saksi tamu Amir Syarifudin, dr. Leimena, dr. Sudarsono, Ali Budiharjo, menginap di penginapan Linggasama yang letaknya dekat dengan Desa Linggarjati.
Sementara itu, Sukarno dan Hatta yang juga berposisi sebagai saksi tamu menginap di rumah Bupati Kuningan Mohammad Ahmad. Untuk menghindari insiden yang tidak diinginkan, sejumlah pasukan keamanan dari berbagai daerah pun diterjunkan ke daerah ini untuk mengamankan jalannya perundingan, salah satunya dari Jawa Timur pimpinan Kapten Abdullah.
Sumber: Istimewa
“Menjelang akan diadakannya perundingan antara Indonesia-Belanda di Linggarjati, maka sebagian dari pasukan Kapten Abdullah dikirimkan ke Cirebon untuk melakukan tugas pengawalan. Pasukan ini dipimpin sendiri oleh Kapten Abdullah,” tulis Radik Djarwadi dalam Pradjurit Mengabdi (1959).
Dalam perundingan ini terdapat 17 pasal yang akhirnya dibahas. Namun Indonesia harus menerima kenyataan pahit yang tidak menyenangkan, pasalnya wilayah Republik hanya diakui secara defacto oleh Belanda meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura saja.
Baca Juga: Ketika Pangeran Antasari Melawan Penjajahan Belanda
Tidak hanya itu, Indonesia harus ikut pula dalam Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya. Isi terakhir dari hasil perjanjian itu adalah paling lambat Belanda harus meninggalkan daerah de facto pada 1 Januari 1949.
Sumber: Istimewa
Respon beberapa tokoh Indonesia seperti Tan Malaka dan beberapa kaum militer menyikapi hasil perjanjian itu bagi mereka adalah sebuah kebodohan besar yang dilakukan oelh pemerintahan. Membiarkan sejengkal demi sejengkal wilayah Indonesia hilang ke tangan Belanda adalah sebuah kesalahan fatal.
Namun yang menjadi pertimbangan delegasi republik adalah kekuatan militer Belanda. Sukarno sadar keadaan itu, apabila perundingan macet, yang terjadi adalah peperangan. Dari sinilah kemudian pada 15 November 1946 perjanjian ditandatangani oleh Sjahrir sebagai ketua di Istana Merdeka Jakarta.
“Risikonya amat besar, di mana akan jatuh korban dan jiwa yang amat besar di kalangan rakyat dan Republik Indonesia bisa dipaksa melalui kekuasaan militer itu,” tulis Rushdy Hoesein dalam Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati (2010).
Dikhianati Belanda
Pada 5 maret 1947, pihak republik meratifikasi perundingan dan Kabinet Sjahrir resmi berakhir pada 3 Juli di tahun yang sama. Perlahan-lahan, topeng kelicikan Belanda juga mulai terkuak setelah serangkaian perundingan-perundingan sebelumnya selalu dikhianati.
Beberapa minggu setelah Sutan Sjahrir berhenti menjadi Perdana Menteri, Belanda menghianati perjanjian dengan menyatakan tidak terikat lagi dengan Perjanjian Linggarjati pada 20 Juli 1947. Keesokan harinya mereka melancarkan serangan tiba-tiba ke wilayah kekuasaan Republik yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer I.
Museum Linggarjati. Sumber: Istimewa
Baca Juga: Mengenang Perjuangan Tuanku Imam Bonjol di Era Kolonial
Perundingan besar di bekas rumah Ibu Jasitem itu pun gagal menghasilkan perdamaian. Dan yang terjadi nantinya akan kembali menyulut perlawanan rakyat Indonesia hingga akhirnya PBB ikut turun tangan menyikapi persoalan.
Foto: Istimewa
Kini bangunan rumah tua bergaya kolonial itu diubah menjadi museum Linggarjati yang menjadi saksi bisu terjadinya kronik sejarah bangsa Indonesia dalam menentukan kemerdekaannya sebagai sebuah bangsa yang berdaulat.
BACA JUGA: Cek OPINI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Farid R Iskandar