Ceknricek.com -- Pada masa-masa akhir Perang Padri (1803-1837), setelah pemerintahan Hindia Belanda menyadari strategi perangnya kalah dengan kaum Padri, mereka kemudian mengambil jalan pintas dengan menjebak Imam Bonjol dalam sebuah perundingan yang berselubung penghianatan.
Pada 28 Oktober 1837 mereka mengundang Imam Bonjol sebagai pemimpin kaum Padri ke Palupuh untuk kembali merundingkan perdamaian dengan residen Francis. Tentu sudah bisa ditebak apa yang kemudian terjadi. Sesampainya di Palupuh, Imam Bonjol ditangkap lalu diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat.
Perjalanan pengasingan Imam Bonjol tak hanya berhenti di sana. Dia sempat kembali dibuang ke Ambon dan berakhir di Lotak, Minahasa, dekat Manado, Sulawesi Utara. Di tempat pengasingannya yang terakhir itulah Imam Bonjol kemudian mengembuskan napas terakhirnya pada 8 November 1864, tepat hari ini 155 tahun lalu.
Sumber: Istimewa
Imam Bonjol dan Perang Padri
Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, pada 1772. Ia merupakan anak dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Imam Bondjol tumbuh dewasa pada waktu daerah Sumatera Barat dilanda oleh perang saudara antara golongan Padri dengan golongan Adat.
Golongan Padri yang dipengaruhi oleh gerakan Wahabi di Tanah Arab pada waktu itu berusaha membersihkan ajaran agama yang sudah banyak diselewengkan dan mengembalikannya sesuai dengan ajaran Islam yang murni.
Sumber: Wikipedia
Baca Juga: Ketika Pangeran Antasari Melawan Penjajahan Belanda
Tantangan kemudian datang dari golongan adat yang melihat gerakan baru itu sebagai bahaya terhadap kedudukan mereka. Apabila gerakan Padri berhasil, maka golongan ulamalah yang akan berkuasa, padahal pada masa-masa sebelumnya golongan adatlah yang berkuasa.
Golongan adat yang merasa kedudukannya terancam, mencari bantuan pihak lain, yakni Inggris yang ketika itu menguasai pesisir barat Sumatera. Usaha mereka tidak berhasil, bahkan sebaliknya Inggris malah menjual senjata kepada golongan paderi.
Situasi menjadi berubah ketika pesisir barat Sumatera, sesuai dengan Perjanjian London, dikembalikan kepada Belanda. Dalam perjanjian tahun 1821 antara Belanda dan golongan adat, Belanda berjanji akan membantu golongan adat untuk memerangi Padri.
Sepasukan tentara Belanda kemudian ditempatkan di pedalaman Sumatera Barat. Pada waktu sebelumnya, Belanda hanya berkuasa di daerah pesisir. Dengan perjanjian tahun 1821, maka Belanda melancarkan perang kolonial di Sumatera Barat.
Pertempuran pertama berkobar di Sulit Air, dekat danau Singkarak, dan kemudian berkobar di tempat-tempat lain dalam waktu yang cukup lama.
Sementara itu Imam Bonjol pun tumbuh menjadi ulama terkemuka di daerah Alahan Panjang dengan pusatnya Bonjol.
Lukisan Imam Bonjol. FOTO: Istimewa
Dalam pertentangan antara golongan Padri dengan golongan adat, Imam Bonjol kemudian berdiri di pihak Padri. Dalam usahanya mengembangkan faham Padri, ia lebih banyak menjalankan cara persuasi, karena itu pertentangan antara kedua golongan itu di daerah Alahan panjang tidak terjadi sehebat di daerah-daerah lain.
Baca Juga: Kiprah Gatot Subroto, Jenderal "Gila" dari Banyumas
Kendati disokong oleh kekuatan dan pasukan kolonial, dalam peperangan, kaum Padri tetap sulit ditaklukkan. Oleh karena itu, Hindia-Belanda, melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengajak pemimpin kaum Padri yang kala itu telah diamanahkan kepada Imam Bonjol untuk berdamai. Tanda dari perjanjian damai tersebut adalah dengan menerbitkan maklumat Perjanjian Masang pada 1824.
Namun, pemerintah Hindia-Belanda memang tidak sungguh-sungguh memiliki iktikad baik dan ingin berdamai dengan kaum Padri. Hindia-Belanda melanggar kesepakatan damai yang telah mereka buat dengan kaum Padri dengan menyerang Nagari Pandai Sikek. Hingga 1833 kondisi peperangan berubah pada 1833.
Kaum adat akhirnya bergabung dan bahu membahu dengan kaum Padri melawan pasukan kolonial. Bersatunya kaum adat dan Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah. Dari sana lahirlah sebuah konsenus adat basandi syarak, yakni adat berdasarkan agama.
Sumber: harianhaluan.com
Bergabungnya kaum adat dan kaum Padri tentu saja semakin menyulitkan pasukan Hindia-Belanda. Kendati sempat melakukan penyerangan bertubi-tubi dan mengepung benteng kaum Padri di Bonjol pada Maret hingga Agustus 1837, hal tersebut tak mampu menundukkan perlawanan kaum Padri.
Hindia-Belanda bahkan sampai tiga kali mengganti komandan perangnya untuk menaklukkan benteng kaum Padri tersebut. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Hindia-Belanda memanfaatkan momen perundingan untuk menjerat Imam Bonjol untuk akhirnya diasingkan.
Hari-Hari Akhir Imam Bonjol
Setelah diringkus pemerintahan Hindia Belanda, Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, Ambon dan yang terakhir di Minahasa pada tahun 1841. Ia tiba di kota ini pada pertengahan tahun bersama anak-anaknya Sutan Saidi, Abdul Wahid dan Baginda Tan Labi.
Seperti dikisahkan dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol (2004: 157) yang aslinya ditulis Naali Sutan Chaniago dan dialihbahasakan oleh Sjafnir Aboe Nain, sebelum bertolak ke Manado, seorang Kapitan Melayu di Ambon memberi keterangan kepada pengikut Imam Bonjol soal Manado yang bukan negeri Islam dan banyak babi berkeliaran di sana.
Baca Juga: Mengenang Agus Salim: The Grand Old Man Indonesia
Pesan si kapitan: jika bisa, jangan mau pergi ke Manado. Namun pemerintah kolonial lah yang punya kuasa soal ke mana Imam Bonjol harus dibuang. Dari sinilah kemudian Imam Bonjol sempat singgah di Ambon dan Kema, Minahasa bagian selatan. Awalnya Imam Bonjol dan pengikutnya ditempatkan di Desa Kombi, dekat dengan Danau Tondano.
Mengutip Tirto, seperti dicatat Roger Kembuan dalam tesisnya, Bahagia di Pengasingan: Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Buangan di Kampung Jawa Tondano 1830-1908 (2015:125) Imam Bonjol dan anak-anaknya harus berjalan kaki tiga hari untuk mencapai Desa Kombi dari kota Manado.
Museum Imam Bonjol. Sumber: Traveling
Dari desa Kombi Imam Bonjol kembali dipindahkan ke desa Lotta Pineleng setelah Ia yang meminta sendiri kepada pemerintah kolonial karena merasa tak betah di tempat desa yang lama. Di tempat inilah ia kemudian wafat pada tanggal 8 November 1864 sampai mencapai usia 92 tahun.
Jenazahnya kemudian dimakamkan di kampung tersebut. Pemerintah RI menghargai jasa yang telah disumbangkan Tuanku Imam Bonjol untuk kemerdekaan bangsanya. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 087/TK/Tahun 1973 tanggal 6 November 1973, Tuanku Imam Bonjol lalu dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Farid R Iskandar