Ceknricek.com -- Sri Mulyani Indrawati mencium gelagat tak sedap di lingkungannya. Dia menyebut ada geng kesukuan dan keagamaan di Kementerian Keuangan. Sampai-sampai ia meminta anak buahnya itu untuk saling berbaur. Bukan hanya dengan kelompoknya, melainkan dengan semua.
"Dari siang salat zuhur, makan siang, sama mereka lagi. No wonder satu sama lain untuk sinergi sulit. Kemudian muncul kecurigaan ngomongin apa. Oh ini kelompok Bali, Batak dan sebagainya. Secara tidak sadar Anda memecah belah Indonesia. Itu serius," ujar Sri Mulyani Selasa (29/10).
Menteri Sri tidak asal ngomong. Dia bilang tahu karyawan di Kemenkeu hanya mau kumpul dengan teman yang satu sekolah, satu kampung atau satu angkatan. “Instruksi saya, tolong Pak Sekjen, ini instruksi. Makan siang harus sama dengan orang yang berbeda, yang Anda tidak kenal. Itu instruksi saya. Saya minta Bu Irjen untuk mengawasi," instruksinya.
Sumber: Bizlaw
Menteri Sri menggunakan istilah geng untuk anak buahnya yang berkelompok dengan teman sesuku, sedaerah atau seagama.
Geng bisa diterjemahkan sebuah kelompok individu yang saling berkaitan baik teman dekat maupun kesamaan latar belakang seperti lingkungan, pekerjaan, hobi, atau sekolah. Hanya saja, biasanya, geng merujuk kepada gerombolan orang yang melakukan hal negatif dan ilegal seperti kriminal, penyelundupan, atau narkoba. Tapi geng yang dimaksud Sri adalah geng terjemahan pertama, bukan kelompok kriminal. Meski menurut Sri, bisa memecah belah Indonesia.
Babi Kuning
Sejatinya, apa yang dibilang Menteri Sri bukan hal yang baru. Di lingkungan pegawai DKI Jakarta dulu juga ada istilah “babi kuning”. Walaupun menyebut nama hewan, istilah itu jauh sekali dari jenis binatang babi yang kita kenal. “Babi kuning” tidak lain singkatan sinis dari “batak-bima-kuningan”. Etnis ini dulu yang mendominasi PNS DKI Jakarta.
Konon, ketika masa jaya "babi kuning", dokumen bisa dimainkan. Misalnya, seperti ada penyeragaman bulan kelahiran, umumnya tertulis Desember, bagi mereka yang masuk birokrasi 1970-an atau 1980-an. Supaya masa pensiunnya bisa untung beberapa bulan.
Baca Juga: Apa yang Terjadi Ketika Sri Mulyani Lakukan Austerity Policy
Pada waktu itu, nyaris seluruh sopir dan karyawan PPD beretnis Batak. Hal yang sama juga terjadi di Bulog. Saat Kabulog dijabat Bustanul Arifin, badan ini dikuasai kader Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI. Di Kemenkeu juga ada geng HMI. Marie Muhammad dan Fuad Bawazir yang sempat menjadi Menkeu di era Orde Baru adalah kader HMI.
Kabinet UGM
Lalu, terbaru yang juga menjadi sorotan adalah susunan menteri pada Kabinet Indonesia Maju atau KIM. Dari 34 menteri, 9 di antaranya dipilih lulusan Universitas Gajah Mada atau UGM. Apakah itu disengaja atau tidak, keputusan Presiden Joko Widodo itu mengundang pergunjingan karena dianggap nepotisme.
Mari kita perkenalkan satu per satu lulusan UGM itu. Ada tiga alumni UGM pada kursi Menko. Mereka adalah Menkopolhukam, Mahfud MD; Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto; dan Menko PMK, Muhadjir Effendy.
Selain mereka adalah tujuh menteri lainnya, juga lulusan UGM. Mereka adalah Menteri Sekretaris Negara, Pratikno; Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi; Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi; Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono; Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto; dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Mahfud adalah lulusan Sastra Arab di UGM. Ia juga melanjutkan program pascasarjana di kampus yang sama untuk jurusan Ilmu Politik. Di UGM pula Mahfud meraih gelar doktor untuk Ilmu Hukum Tata Negara.
Sumber: Ardy/Ceknricek.com
Baca Juga: Kabinet Radikal Presiden Jokowi
Airlangga Hartarto alumni dari Fakultas Teknik Mesin UGM pada 1987. Muhadjir Effendy kuliah di UGM untuk program Magister Adminsitrasi Publik (MAP) dan menamatkannya pada 1996.
Sedangkan Pratikno mengambil jurusan Ilmu Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM hingga meraih gelar sarjana di usia 23 tahun. Dia juga eks Rektor UGM. Pada 2008, Pratikno digelari Professor in Political Science oleh UGM.
Retno Marsudi juga lulusan UGM. Pada 1985, perempuan ini meraih gelar sarjana untuk Hubungan Internasional UGM. Lalu, Budi Karya Sumadi lulus dari jurusan arsitektur UGM pada 1981. Basuki Hadimuljono berkuliah di UGM untuk jurusan Teknik Geologi. Terawan Agus Putranto juga merupakan lulusan Fakultas Kedokteran UGM. Sedangkan Pramono Anung merupakan lulusan program Magister Manajemen UGM.
Biasanya, ihwal dominasi etnik di birokrasi karena dimulai adanya petinggi yang menjadi penjamin saudara sesuku dan seagama. Di negeri ini, membantu saudara sekampung, sealumni, sesama kader organisasi tertentu dinilai bagian dari kebajikan bernilai tinggi. Akan menjadi 'gunjingan' jika ada yang punya kedudukan tinggi di institusi negeri, tetapi tak bisa membantu kaumnya.
Hal yang demikian itu bisa diterjemahkan begitu terhadap sikap nepotisme yang terjadi di Pemda DKI Jakarta, Bulog, Kementerian Keuangan atau institusi lainnya. Hanya saja sikap primordialisme yang berkembang di Istana tentu punya dalih sendiri, yang boleh jadi, lebih elok. Tapi bagaimana pun primordialisme dan nepotisme semacam itulah, yang dulunya menjadi musuh gerakan reformasi.
BACA JUGA: Cek AKTIVITAS PRESIDEN, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Farid R Iskandar