Bahasa Indonesia Anak Muda Zaman Now | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak

Bahasa Indonesia Anak Muda Zaman Now

Abdullah Alamudi*

Ceknricek.com - KELUHAN para dosen dan wartawan senior Lembaga Pers Dr. Soetomo  dalam acara munggah tahunan LPDS, kali ini terpusat pada buruknya mutu Bahasa Indonesia kaum muda –khususnya generasi now –serta-merta mengingatkan penulis pada Almarhum H. Rosihan Anwar. 

Tokoh wartawan Indonesia. Dia hadir di semua episode pertumbuhan republik ini. Orang tidak bisa berbicara mengenai sejarah pers Indonesia tanpa menyebut nama Rosihan, yang bila masih hidup hari ini (10 Mei 2018) berumur 96 tahun. 

Ingatan penulis pada Pak Rosihan, begitu panggilan akrabnya, muncul ketika Pius Pope, salah seorang dosen senior LPDS dan instruktur di Metro TV, mengemukakan dengan lantang bahwa banyak wartawan muda terutama kaum muda yang sering menggunakan media sosial, tidak bisa menyatakan pendapat mereka dengan jelas. 

Mereka tidak bisa berkomunikasi dengan baik karena Bahasa Indonesia mereka sangat buruk. Mereka tidak bicara dalam Bahasa Indonesia tapi dalam dialek lokal, Betawi misalnya, yang mungkin orang Betawi pun sukar mengerti. Pendapatnya diamini oleh para dosen yang menghadiri munggahan itu, semacam silaturahim menjelang  Ramadhan. 

Ucapan Pius itu menyentakkan ingatan penulis pada sebuah artikel Rosihan di Kompas Minggu (5/9/1993) berjudul Diaspora dan Bahasa Melayu, sekembali dia dari  pertemuan Forum Bahasa Melayu di Singapura. 

Forum itu dibuka oleh Haji Sidek bin Saniff, Menteri Negara Pendidikan Singapura, yang mengungkapkan harapannya untuk menjadikan Bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara, sebagai bahasa di bidang perdagangan, ekonomi-keuangan, iptek, kesusasteraan, dan kesenian. Diaspora (penyebaran) rumpun Bahasa Melayu sangat banyak di rantau ini, bahkan sampai ke Afrika Selatan, Australia, Selandia Baru, Belanda, dan Suriname. 

Rosihan mendukung ide menjadikan (rumpun) Bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan dan ilmu pengetahuan di kawasan ini, tapi dia mengingatkan tuan rumahnya, Haji Sidek bin Saniff, bahwa di kalangan kaum terpelajar dan kelas menengah urban di beberapa negeri rantau ini terdapat kecenderungan lebih menyukai Bahasa Inggris daripada Bahasa Melayu. 

Di samping itu, katanya, Bahasa Melayu sangat dipengaruhi oleh dialek-dialek lokal. Misalnya, Bahasa Malaysia dipengaruhi oleh dialek Pahang atau Trengganu. Bahasa Indonesia oleh dialek Betawi. 

Akibatnya tidak pernah ada usaha serius untuk berbahasa Indonesia yang baik. “Sebabnya ialah karena generasi muda Indonesia tidak menguasai sepenuhnya Bahasa Indonesia,” tulis Rosihan. “Mereka mengira mereka telah paham, pada hal tidak. 

Mereka tidak mendisiplinkan diri untuk bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa yang baku, pokoknya yang agak teratur, bukan bahasa yang pakai elo-elo, gue-gue, ngeselin,” tambahnya.  “Dalam membiasakan diri bercakap-cakap dalam bahasa yang baku peran guru di sekolah penting, begitu juga peran orang tua di rumah,” kata Rosihan. 

Apa yang ditulis Rosihan Anwar 25 tahu lalu itu masih berlaku sekarang. Dan kondisinya mungkin makin parah lagi. Pendapat dan pengalaman para dosen senior dan instruktur jurnalistik dari LPDS itu merupakan bukti dan pembenaran atas pendapat Rosihan. Kalimat-kalimat tidak lengkap dengan susunan kata-kata yang  pembaca temukan di dalam media sosial rasanya semakin menegaskan bagaimana dialek lokal telah merusak Bahasa Indonesia baku. 

Penulis bisa tambahkan di sini bahwa pengaruh negatif dari perkembangan dan kemajuan industri televisi di Indonesia telah memainkan peran yang sangat besar terhadap “perkosaan” tata bahasa Bahasa Indonesia, dan penggunaan dialek Betawi di daerah non-Betawi. 

Banyak pejabat publik menggunakan Bahasa Indonesia secara salah dengan misalnya, menjamakkan kata benda yang sudah mengandung pengertian jamak. “Mereka” sudah mengandung pengertian jamak untuk orang ketiga, bukan “mereka-mereka” seperti sering didengungkan oleh pejabat di Jakarta, disiarkan oleh stasiun radio dan televisi, didengar dan ditonton masyarakat daerah dan ditiru oleh pejabat-pejabat di daerah. 

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah salah seorang pejabat publik yang sangat banyak menggunakan Bahasa Inggris dalam pidato dan ceramahnya. Mungkin dia bisa digunakan sebagai contoh atas apa yang dikatakan Rosihan, “kecenderungan masyarakat urban menggunakan Bahasa Inggris” dalam percakapan mereka. 

Kaum muda di daerah tampaknya baru merasa “keren” kalau berbicara dengan lagak pemuda urban di Jakarta, seperti yang mereka tonton di berbagai siaran televisi. Dalam perkembangan belakangan ini, istilah elo - gue mulai tergeser oleh “bro” (brother) dan “sis” (sister).  Salah satu akibatnya adalah bahasa suku/dialek lokal terkikis menjelang punah. 

Orang Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan misalnya, sekarang lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia dengan dialek lokal dibanding Bahasa Bugis atau Bahasa Makassar meskipun pemerintah daerah di sana sudah menambahkan aksara Bugis/Makassar pada nama-nama jalannya. 

Masyarakat tidak perlu heran ketika mendengar Rosihan menekankan penting peran guru di sekolah dan orang tua di rumah untuk mendisiplinkan diri menggunakan Bahasa Indonesia baku. Karena, dia sendiri adalah seorang pendidik yang menghabiskan 67 tahun dari hidupnya di bidang kewartawanan, termasuk 15 tahun memimpin penataran wartawan anggota Persatuan Wartawan Inonesia (PWI) untuk meningkatkan profesionalisme mereka – dan itu berarti mengajar  mereka menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Rosihan telah menulis lebih dari 30 judul buku mengenai berbagai topik, dari jurnalistik, agama, sejarah, politik sampai reportase film dan dokumenter di berbagai media di Indonesia termasuk Harian Pedoman, Kompas, Tabloid Cek&Ricek (kolom Helo Selebriti), The Jakarta Post, dan Waspada di Medan serta The New York Times. Rosihan adalah seorang otodidak. 

Pendidikannya dari HIS dan MULO di Padang, AMS A jurusan Klasik Barat di Yogyakarta; dia pernah ikut program School of Journalism, Columbia University, New York (1954) tapi dia mengusai dan bisa menulis dan berbicara dengan fasih dalam Bahasa Belanda, Inggris, Prancis, dan berkomunikasi lisan dalam beberapa bahasa asing lainnya. 

Dia juga faham Bahasa Latin karena mengambil jurusan Klasik Barat ketika di Yogyakarta. Di dalam setiap ceramah dan kuliahnya kepada wartawan dan peserta kursusnya, Rosihan selalu menekankan supaya mereka banyak membaca dan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan Benar. 

Dalam buku Belahan Jiwa, Memoar Kasih Saying Percintaan-nya dengan istrinya, Zuraida Sanawi, Rosihan menganjurkan supaya pacarnya (waktu itu) menggunakan Bahasa Indonesia dalam surat menyurat mereka. 

(Tapi) “janganlah terlalu zakelijk (formal-Red.)” (Hlmn. 65)  Sebelumnya, Ibu Ida, begitu penulis menyebutnya, hampir selalu menggunakan Bahasa Belanda dalam surat-suratnya kepada “Tjian”, sebutan Ida pada Rosihan. 

Ketika pemerintahan Soekarno-Hatta mengungsi ke Yogyakarta akibat tekanan militer Belanda, Ibu Ida bekerja sebagai staf di kantor Perdana Menteri Sjahrir di Yogyakarta dan penyiar Radio Free Indonesia sementara Rosihan sebagai wartawan di Jakarta. 

Orang yang hanya mengenal Rosihan dari “luar”, mungkin akan menyebutnya sebagai pribadi yang sombong, angkuh, arogan, apalagi kalau orang itu pernah dibentak di dalam kelas karena Bahasa Indonesianya buruk. 

Penulis, yang pernah beberapa tahun bekerja sebagai reporter dan redaktur di Harian Pedoman, di mana Rosihan menjadi Pemimpin Redaksinya (dan Alhamdulillah tidak pernah dia bentak), berpendapat lain. 

Rosihan adalah seorang tokoh yang punya kharisma kuat, disayang tapi dibenci.  Selama 67 tahun karier jurnalistiknya penuh dengan ambivalensi, terutama dalam hubungannya dengan Rezim Orde Lama dan Orde Baru. 

Rosihan selalu mengikuti instinct jurnalistiknya, menyuarakan isi hatinya, mengungkapkan kebenaran, ketidakadilan, dan tidak satu gembok pun yang bisa mengunci kebebasan berpikirnya. Rosihan sngat menghargai kerja orang lain walaupun memang dia tidak pernah memuji. 

Maka kalau dia mengatakan, “Saya baca tulisan kamu,” maka bagi seorang reporter muda, itu adalah satu pujian dan penghargaan besar dari seorang Rosihan Anwar. Dia dorong wartawan yang dia lihat punya potensi untuk maju. 

Rosihan punya kolom Peta Bumi Politik yang terbit di Pedoman setiap Senin. Bila dia keluar kota, kolom itu diisi dengan berita atau features yang lain. 

Ketika penulis minta izin untuk mengisi kolomnya setiap Senin bila Rosihan di luar kota, dia hanya menjawab, “Kamu bisa?” Sejak itu, setiap Rosihan berhalangan menulis Peta Bumi Politik-nya maka yang muncul adalah Almanak Politik oleh Abdullah Alamudi di halaman yang sama mengikuti pola tulisan Rosihan.

Rosihan lahir di Kubang Nan Dua, Kabupaten Solok, Sumatera Barat pada 10 Mei 1922. Pada umur 20 tahun dia sudah menjadi reporter Asia Raya dan meliput dari awal berdirinya Republik Indonesia, bahkan terlibat langsung dalam berbagai episode bangsa ini. 

Sejak dulu Rosihan sangat skeptis terhadap sejumlah anggota DPR dan para elit politik yang dia gambarkan sebagai golddiggers, pemburu harta.  Dia mengingatkan wartawan untuk tidak terlalu banyak menaruh harapan kepada mereka. 

Melihat banyaknya anggota DPR/DPRD dan elit politik yang sekarang berada di balik penjara Komisi Peberantasan Korupsi, maka tampaknya skeptisisme Rosihan, yang dia sampaikan pada ulang tahunnya yang ke 80, tahun 2002 masih harus menjadi perhatian wartawan sekarang. 

Tapi apa yang ditulis  wartawan dan disampaikan oleh masyarakat pencinta media sosial  hanya akan bisa dicerna, dipahami masyarakat awam apa bila mereka menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. 

Bahasa (rumpun Melayu) yang berdiaspora di kawasan ini hanya akan bisa tumbuh subur jika para penggunanya lebih banyak memakai bahasa baku, tanpa terlalu banyak dicampuri dengan bahasa Inggris atau dialek lokal. Tapi itu hanya akan bisa terjadi kalau para orang tua dan guru menegakkan disiplin menggunakan  bahasa Indonesia yang baku.  
 
 *Wartawan senior. Pengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Akademi Televisi Indonesia.





Berita Terkait