Ceknricek.com -- Barang-barang China makin membanjiri pasar Indonesia. Kondisi ini diperkirakan akan kian menggila ke depannya. Pada Juli 2019, impor nonmigas Indonesia dari China sudah melonjak US$1,5 miliar atau setara Rp21,1 triliun (kurs rupiah Rp 14.100 per dolar AS). Impor nonmigas pada bulan Juni US$2,6 miliar menjadi US$4,1 miliar pada Juli 2019. Kenaikan ini menjadi yang paling tinggi sepanjang tahun ini.
Ini adalah data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilansir Kamis (15/8). Lonjakan impor Indonesia dari China pada Juli tersebut terjadi sebelum ada kebijakan devaluasi nilai tukar renminbi oleh Pemerintah China. Kebijakan pelemahan nilai mata uang China bakal terasa di pasar Indonesia setidaknya dua sampai tiga bulan mendatang.
Barang China. Sumber: rahsia alibaba
Sejumlah kalangan menduga, banjir barang China ke Indonesia sebagai dampak perang dagang antara China dengan Amerika Serikat. Barang-barang China terhambat masuk ke Negeri Paman Sam, maka mengalir ke pasar negara-negara yang bersahabat dengan Negeri Tirai Bambu itu.
“Barang-barang yang mengalami kenaikan impor paling tinggi dari China adalah telepon genggam, laptop atau komputer pribadi, alat pendingin udara dan kepiting beku,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto, Kamis (15/8).
Baca Juga: Devaluasi Yuan: Siap-siap Banjir Barang China
Melihat jenis barang yang tinggi lonjakan impornya, Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Benny Soetrisno mengambil kesimpulan, banjir barang-barang China ke pasar Indonesia itu terjadi setelah AS menetapkan pajak yang tinggi atas impor dari Negeri Tirai Bambu itu.
Sumber: Kompas
“Kalau melihat komoditas yang mengalami lonjakan impor, produk-produk tersebut adalah yang disetop impornya oleh AS, seperti alat elektronik. Kita sebagai negara dengan konsumen yang besar, tentu menjadi sasaran empuk bagi produk-produk dari China,” ujar Benny kepada Bisnis.
Benny khawatir, dengan adanya kebijakan devaluasi nilai tukar mata renminbi oleh China, akan makin meningkatkan potensi lonjakan impor terhadap barang-barang konsumsi tersebut. Untuk itu, dia meminta pemerintah mengawasi dan mengontrol pertumbuhan barang-barang konsumsi tersebut.
Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, sependapat dengan Benny. Menurutnya, laju impor produk dari China akan terus tumbuh pada masa depan seiring mulai terasanya dampak devaluasi nilai tukar renminbi yang diperkirakan baru terasa pada dua hingga tiga bulan ke depan.
Benny. Sumber: Bisnis
Di sisi lain, dia juga menduga, kebijakan pengendalian impor produk konsumsi melalui Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 masih belum bertaji. “Pemerintah harus mengevaluasi kebijakan pengendalian impornya seperti melalui PPh pasal 22. Sebab, dengan makin murahnya produk asal China, kebijakan tersebut tidak akan berpengaruh banyak dengan harga jual produk tersebut di Indonesia,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Erwin Taufan menambahkan, tindakan pelemahan nilai tukar renminbi oleh Negeri Panda, akan membuat Indonesia makin sulit membendung laju impor produk-produk dari negara itu. Pasalnya, pemerintah Indonesia tidak dapat melakukan pembatasan impor menggunakan skema tarif seperti halnya yang terjadi melalui praktik dumping maupun subsidi.
Sumber: Republika
Menurut Benny, tanpa adanya kontrol impor yang ketat dari pemerintah, maka akan merusak industri domestik dan membuat defisit neraca perdagangan dengan China makin melebar. Dia menyebutkan, pengetatan impor melalui kebijakan nontarif seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) bisa menjadi alat untuk membendung impor produk China tersebut.
Pembelian Langsung
Di sisi lain, Erwin mengatakan produsen asal China cukup mudah untuk memasarkan produknya ke Indonesia lantaran masifnya kehadiran platform dagang elektronik (dagang-el) yang membuka jasa pembelian secara langsung dari Negeri Panda.
Berdasarkan penelusurannya, barang-barang konsumsi seperti ponsel dan alat elektronik menjadi yang paling besar diimpor dari China selain produk pakaian. Kunci untuk mengendalikan lonjakan impor barang konsumsi dari China adalah dengan membuat aturan baku bagi platform dagang-el ketika melakukan transaksi cross border. “Selama tidak ada payung hukum yang jelas mengenai kebijakan tersebut, impor barang konsumsi akan terus tumbuh, dan lonjakan impor dari China akan terus terjadi,” ujarnya.
Baca Juga: China Pengganggu Baja, Semen, dan Tekstil Kita
Bhima mengungkap data asosiasi e-commerce menunjukkan kecenderungan 93% barang yang dijual marketplace adalah barang impor. Artinya, produk lokal hanya 7%. Lalu, peneliti Indef lainnya, Ariyo Irhamna, menduga maraknya barang impor di e-commerce dikarenakan derasnya investasi asing. Praktik investasinya lebih didominasi untuk "membuka toko" di dalam negeri bukan melakukan produksi dan ekspor.
"Banyak investasi yang masuk tidak berkualitas. Mayoritas investasi yang masuk ke Indonesia di dominasi oleh perusahaan market-seeking (mencari pasar) dan resource-seeking (pencari bahan baku)," ujarnya. "Sayangnya, tren perkembangan startup Indonesia tidak direspons oleh pemerintah dengan tepat sehingga banyak platform e-commerce didominasi oleh barang impor."
Bhima menambahkan, pemerintah perlu memberdayakan UMKM di 75.000 desa untuk memasarkan produknya secara online dan syukur kalau bisa ekspor. Dana desa yang jumlahnya Rp70 triliun per tahun bisa dimanfaatkan untuk BUMdes (adopsi Taobao Villages di China).
Selain itu, pemerintah perlu menyamakan aturan barang impor di retailer konvensional dan online. Sebelumnya sudah ada beberapa pembatasan produk impor melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.04/2018 (PMK 112). "Kebijakan tersebut memperkecil nominal ketentuan nilai bebas bea masuk dari US$100 menjadi US$75 per hari. Tapi aturan itu belum cukup. Porsi barang impor di e-commerce harus diatur misalnya 70% harus menjual produk yg diproduksi lokal," ujarnya.
Bukan Konsumsi
Di tengah kekhawatiran itu, Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, justru menilai lonjakan nilai impor produk China masih terbilang bagus. Dia bilang, lonjakan impor ini lebih didominasi oleh barang modal, bukan konsumsi.
“Bagus sebenarnya, dalam artian, masuknya barang modal, bukan konsumsi, karena industrinya tumbuh,” kata Enggar kepada pers, usai mengikuti Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (16/8).
Impor barang modal terjadi karena memang beberapa produk seperti mesin memang belum bisa diproduksi di dalam negeri. Dia mengklaim, data ekspor - impor BPS berasal dari kementeriannya.
Baca Juga: Mata Uang China di Negeri Rupiah
Namun, data Enggar dipatahkan BPS yang mencatat impor konsumsi pada Juli melonjak 42,15% dibanding bulan sebelumnya. Kenaikan impor antara lain didorong oleh impor sejumlah produk pangan terutama dari China, seperti bawang putih hingga buah pir. "Konsumsi mengalami kenaikan 42,15% secara bulanan. Yang pertama karena bawang putih dari Tiongkok, AC dari Tiongkok, ada impor buah pir juga," ujar Suhariyanto.
Sumber: CNBC
Berdasarkan catatan BPS pula, impor konsumsi Juli 2019 mencapai US$1,46 miliar, naik dibandingkan bulan sebelumnya US$1,03 miliar. Sementara secara akumulasi, impor konsumsi pada Januari-Juli 2019 mencapai US$8,88 miliar, turun 10,22% dibanding periode yang sama tahun lalu.
BPS juga mencatat impor bawang putih pada Juli 2019 mencapai 86,12 juta ton, naik dibandingkan bulan sebelumnya sebanyak 51,24 juta ton. Adapun sepanjang Januari-Juli 2019, impor bawang putih yang masuk sudah mencapai 214,67 juta ton. Adapun sebelumnya, pemerintah membuka keran impor bawang putih sebanyak 256 ribu ton.
Data-data yang dihidangkan BPS ini sejatinya hanya melengkapi saja dari apa yang sudah dirasakan produsen dalam negeri yang kian tersisih di pasarnya sendiri oleh barang dari China.
BACA JUGA: Cek HEADLINE Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini