Belajarlah Sebelum Bicara | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Belajarlah Sebelum Bicara

Ceknricek.com -- Hari Minggu kemarin, 13 September 2020 (sebagaimana dikutip https://www.viva.co.id/berita/bisnis/1301777-airlangga-minta-anies-tak-lagi-overdosis-tangani-corona-di-jakarta) Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang sekaligus merangkap sebagai Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan:

"Tingkat kesembuhan (Jakarta, red) lebih tinggi dari nasional. Kalau nasional 71,4 persen, Jakarta 75,2 persen. Kemudian kalau bicara nasional fatality rate di atas 4 persen, nah Jakarta ini 2,7 persen. Jadi artinya tingkat fatality ratenya lebih rendah dari nasional." 

Petikan itu melengkapi imbauannya kepada Anies agar tak memberi (dosis) penjelasan berlebih dalam menyikapi pandemi sekarang ini. Memang setelah pernyataan Gubernur DKI Jakarta itu soal rencana kebijakan 'rem darurat' yang diterjemahkan sebagai 'PSBB total', bursa saham Jakarta langsung mengalami tekanan dan terkoreksi dalam. Nilai tukar rupiah pun terpuruk.

***

Begini, saya tak paham apakah latar belakang keilmuan Airlangga cukup mumpuni atau tidak, dalam hal urusan pandemi, kesehatan masyarakat, dan lain-lain yang berkaitan dengan virus korona ini. Walau saya kenal sangat baik dengan almarhum kakaknya, Gunadarma.

Jika pernyataan Anies soal PSBB total dan rem darurat itu, dianggap berlebihan -- janganlah lagi ada pejabat yang menyebabkan persoalan runyam bangsa ini, semakin kisruh. Apalagi disampaikan oleh sosok yang ditunjuk Presiden untuk mengepalai komite yang dibentuk untuk menangani pandemi itu sendiri. 

Tingkat kesembuhan pada suatu daerah atau negara, sejauh ini, tak dapat digunakan sebagai rujukan bahwa mereka lebih baik dibanding yang lain. Rajinlah membaca dan membuka data perkembangan masalah dan penanganan di berbagai negara lain -- hal yang di negara kita Indonesia ini, justru paling rumit sekaligus berantakan.

Pada gambar terlampir saya sajikan grafik yang menunjukkan recovery rate bersanding dengan fatality rate dari 28 negara yang memiliki kasus tertinggi di dunia. Pada tanggal 13 September kemarin, Indonesia berada pada posisi ke 23. Saya mengeluarkan Spanyol dan Inggris yang sebetulnya berada pada posisi 9 dan 14. Sebab keduanya tak mempublikasikan jumlah pasien yang sudah disembuhkan.

Melalui grafik itu, kita bisa mencermati tak adanya korelasi kuat antara angka kematian dengan angka kesembuhan. Negara lain yang memiliki tingkat kesembuhan kurang lebih setara dengan kita, memiliki fatality rate yang jauh berbeda. Bangladesh yang sama-sama pada tingkat kesembuhan 71% dengan kita, mencatat tingkat kematian 1,4 persen. Sementara Mexico hampir 8 kali lipatnya, atau 10,6 persen.

Silahkan simak angka-angka yang lain sendiri.

***

Hal yang ingin saya tekankan, angka tingkat kesembuhan pada rentang seperti yang dimiliki Indonesia, tak dapat digunakan sebagai indikator utama 'keberhasilan' suatu kota atau negara menghadapi pandemi ini. Sebab, jika dicermati secara global, angka tersebut sesungguhnya berada pada kisaran rata-rata dunia. Indonesia bahkan masih mencatatkan lebih buruk. Sebab, tingkat kesembuhan global pada saat data-data tersebut diunduh, sebesar 72,1 persen.

Kita semua tahu, potensi kematian akibat covid-19 ini lebih besar pada mereka yang berusia lanjut, memiliki penyakit bawaan, maupun anak-anak yang belum cukup umur. Artinya, sebagian besar penderita yang sembuh, kemungkinan besar merupakan bagian kelompok masyarakat yang tidak rentan itu.

Hal yang menakutkan sesungguhnya adalah penularan yang dialami kelompok masyarakat rentan dari mereka yang kerap disebut 'orang tanpa gejala'. Virus korona yang sudah bersemayam pada tubuhnya, tak menyebabkan gejala simtomatik apapun. Karena terlihat sehat maka mereka beraktivitas seperti biasa. Termasuk bercengkrama dengan orang-orang terdekatnya yang tergolong rentan. Di sinilah letak ketakutan terhadap virus k

orona yang menghantui kehidupan kita hari ini. Sebab, tanpa disadari, dapat menularkan dan berdampak serius hingga kematian.

***

Soal tingkat kematian Jakarta yang 'rendah' -- per tanggal 12 September kemarin tercatat 2,6% sementara angka Nasional adalah 4,0% dan angka dunia adalah 3,2% -- jangan digunakan untuk 'menawar' atau bahkan 'menggampangkan' persoalan.

Sebab, kematian adalah dukacita bagi manusia manapun. Tak ada makhluk yang menginginkan kematian sia-sia. Terlebih orang-orang yang mencintai dan mengasihi mereka. Terlepas dari kemiskinan, kebodohan, kemunafikan, dan kejahatannya masing-masing. Siapa pun ingin menghindari kematian. Itu bukan sekedar angka statistik. Seperti jumlah benur yang tak berhasil membesar dan berkembang.

Kita sesungguhnya sedang membicarakan nasib manusia, masyarakat Indonesia, yang dalam hidup sehari-harinya membiayai aparat negara yang mestinya becus mengurus mereka (lihat 'Upeti' https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10224382723859135&id=1336550387).

***

Maka terlepas dari implikasi penjelasan Anies Baswedan minggu lalu, terkait langkah-langkah yang akan diambil pemerintah daerah DKI Jakarta, sebaiknya perhatikanlah dengan seksama dulu angka-angka yang digunakan sebagai latar belakangnya.

Pada gambar lain yang saya lampirkan di sini, terlihat jika jumlah pasien Covid-19 Jakarta yang dirawat selama 15 hari terakhir (27 Agustus - 12 September 2020) meningkat 67% (dari 2.827 ke 4.684). Maka daripada sibuk menebar bantahan soal kapasitas rumah sakit yang tersedia, lebih baik bekerja bahu membahu untuk memastikan semua kekhawatiran yang dilontarkan Gubernur DKI Jakarta itu, tak bakal pernah terjadi.

Perubahan angka kematian rata-rata terkait Covid-19 memang belum signifikan. Tapi memang terlihat meningkat pada minggu-minggu terakhir ini.

Siapa yang menginginkan jika dirinya menjadi bagian dari angka tersebut, meski fatality ratenya menurun?

Tak ada. Termasuk Erlangga Hartarto, Anies Baswedan, maupun setiap yang nyinyir mengomentari 'the singer' hari ini. Bukan 'the song'.

BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini



Berita Terkait