Benarkah Orba Pernah Memanfaatkan Arief Budiman? | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Repubilka

Benarkah Orba Pernah Memanfaatkan Arief Budiman?

Ceknricek.com --Pada suatu Aidul Fitri saya ditugaskan menjadi khatib di Universitas Melbourne. Selesai salat saya langsung bangkit, dan ketika balik badan menghadap jema’ah, mata saya langsung tersorot ke Prof. DR. Arief Budiman, yang duduk di barisan/shaf ke lima atau keenam. Dan ternyata sorotan matanya pun terkesan mengarah ke saya.

Khutbah saya waktu itu bertemakan saling memaafkan sebagaimana dianjurkan dalam ajaran Islam. Maksudnya seseorang yang dianiaya berhak membalas, namun akan lebih baik kalau dia memaafkan yang telah menganiayanya.

“Dan balasan kejahatan itu ialah kejahatan yang setimpal, maka barangsiapa yang memaafkan dan mengadakan perdamaian, maka pahalanya atas Allah. Sesungguhnyalah Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang menganiaya.” (QS 42:40).

Baca Juga : Jokowi dan Trump Bahas Kerja Sama Atasi Kekurangan Alkes hingga APD

Selesai khutbah Arief langsung mendatangi saya, seakan meminta pertanggungjawaban.

“Jadi saya wajib memaafkan Suharto?” tanyanya dengan senyum yang begitu sering menghias bibirnya.

“Tidak wajib. Anda yang paling berhak apakah akan memaafkan atau tidak memaafkan,” jawab saya.

Arief hanya merespon dengan senyum khasnya.

Suatu kali, sebelum Arief dipercaya menjadi Kepala Jurusan Kajian Indonesia di perguruan tinggi  tertua  di Negara Bagian Victoria, Universitas Melbourne, saya baru tiba di Bandara Cengkareng dari Melbourne untuk melaksanakan tugas peliputan di Jakarta, sementara Arief juga baru tiba kembali dari perjalanan ke Skandinavia. Ia mengenakan kemeja berlapis-lapis. Rupanya waktu itu suhu udara di Skandinavia masih dingin.

Sebelum meninggalkan bandara kami sempat berbincang, dan dalam kesempatan itu saya menyatakan keheranan kenapa penguasa Orde Baru yang begitu sering dikecamnya masih mengizinkannya untuk bepergian ke luar negeri.

Lagi-lagi dengan senyum khasnya itu, ia memberi penjelasan yang cukup menakjubkan.

“Anda harus tahu,” katanya dengan enteng, “Saya ini sebenarnya diperalat oleh Orde Baru.”

“Maksud Arief?”

“Dengan bebasnya saya keluar masuk Indonesia maka luar negeri terkesan bahwa Indonesia (di bawah Orde Baru) adalah sebuah negara demokratis. Artinya seolah siapa saja boleh berbeda pandangan dengan penguasa namun haknya untuk menyatakan pendapat, untuk bepergian ke luar negeri, masih tetap terjamin,” begitu Arief menjelaskan.

Baca Juga : Penulis Stephen King Sebut Trump Tidak Waras

Saya termangu sejenak, karena kebetulan waktu itu saya ditugasi oleh Radio Australia/ABC untuk mewawancarai sebanyak mungkin tokoh-tokoh Petisi 50, dan mereka yang dianggap oposisi terhadap Orde Baru, seperti Jend. Abdul Haris Nasution, Jend. Ali Sadikin, Jend. (Polisi)  Hugeng dan banyak lagi, termasuk Mochtar Lubis.

Saya bertanya kepada Arief apakah kebebasan keluar masuk Indonesia itu berlaku untuk semua “oposisi”?

“Oh tidak,” katanya, lagi-lagi sambil tesenyum. “Yang punya massa (pengikut yang banyak) tidak mungkin diperbolehkan seenaknya ke luar negeri. Saya ‘kan tidak punya massa. Hanya mahasiswa.”

Dan dengan lihainya Orde Baru memanfaatkan kenyataan itu. Alhasil sama-sama untung – win-win. Tidak lama kemudian kami berpisah ke tujuan masing-masing.

Ketika akhirnya Arief pindah ke Melbourne untuk memangku jabatan Kepala Jurusan Kajian Indonesia Universitas Melbourne,  dari waktu ke waktu, kami suka jumpa dan biasanya ngobrol tentang politik.

Ia pernah meminta agar hasil-hasil wawancara saya dengan berbagai tokoh Petisi 50 itu dipercayakan kepada Universitas Satyawacana untuk menyimpannya, tempat ia pernah mengajar. Namun permintaannya itu terpaksa saya tolak karena persoalan hak-cipta yang ada di tangan Radio Australia. (Kini saya menyesal karena tidak satu pun dari begitu banyak wawancara yang saya lakukan dengan para tokoh Petisi 50 itu yang terselamatkan sewaktu saya pensiun. Pada hal di Universitas Satyawacana sistem dokumentasinya jauh lebih rapih).

Baca Juga : Beyonce Sumbang Rp 93,5 Miliar Bantu Korban Terdampak Corona

Tidak ada yang bisa membantah bahwa Arief adalah seorang demokrat sejati yang gigih. Ketika menjelang pemilu di India tahun 2014 saya membaca surat terbuka sejumlah cendekiawan India, termasuk penulis Salman Rushdie, yang mencemaskan bahwa demokrasi  (India adalah negara demokratis terbesar di dunia) akan melakukan kekeliruan karena memungkinkan seorang Narendra Modi terpilih dan menjadi Perdana Menteri India, saya kembali teringat akan perbincangan yang pernah terjadi antara Arief dan saya di Melbourne.

Sekitar 75 orang maha guru dan cerdik cendekiawan asal India yang waktu itu berkiprah di berbagai lembaga pendidikan ternama di Inggris, seperti Universitas Oxford dan Universitas Cambridge serta London School of Economics secara beramai-ramai mengecam calon Perdana Menteri dari Partai Bharatiya Janata itu. Dalam surat terbuka itu disebutkan, “Kemungkinan Modi jadi Perdana Menteri India sangat mengerikan kami.”

Dalam surat yang dimuat oleh Koran Independent Inggris itu, juga dibeberkan kecemasan mereka bahwa seandainya Modi terpilih (dan waktu itu gelagatnya memang Modi berada di paling depan) maka niscaya “demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia di India akan terdampak”, sementara di bidang ekonomi yang akan meraup keuntungan paling besar adalah para konglomerat, sementara rakyat akan terus bergelimangan dengan kemiskinan.

Suatu kali, setelah Reformasi dan pilpres langsung akan diselenggarakan di Indonesia saya pernah mengajukan hipotesa kepada Arief.

Saya kemukakan kepada Arief bahwa dalam tahun 1990 di Aljazair, ketika Partai Penyelamatan Islam (FIS) diyakini akan menang dalam pemilu dan sesuai janji partai itu dalam kampanye akan mendirikan negara Islam (sebuah teokrasi) pihak militer bertindak mengambilalih (kudeta) kekuasaan. Ternyata negara-negara demokrasi Barat tidak ada yang peduli meski mereka adalah “kampiun demokrasi”.

Baca Juga : Saingi Zoom, Telegram Bakal Tambah Fitur Panggilan Video Grup

Saya kemudian mengemukakan hipotesa kepada Arief:

“Sekiranya Amien Rais berkampanye dalam pilpres langsung yang demokratis dan menjanjikan pembentukan sebuah negara Islam di Indonesia kalau dia menang. Nah, apakah ini dapat diterima?”

“Oh tidak mungkin. Itu sama sekali tidak boleh!” tandasnya dengan tegas dan penuh keyakinan.

Arief menganggap bahwa semua yang mau berpikir akan memahami penolakannya itu, dan saya juga tidak mencecarnya dengan tuntutan agar dia, sebagai seorang demokrat sejati yang gigih menjunjung tinggi nilai-nilai bentuk pemerintahan ini, membela atau mempertahankan sikapnya itu.

Saya jadi teringat akan ucapan tokoh Inggris Sir Winston Churchill  yang mengatakan “demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling jelek, namun  mengingat bentuk-bentuk lainnya lebih jelek, maka demokrasi masih mendingan ( begitukah? wallahu a’lam)”.

Yang pasti Indonesia kehilangan seorang tokoh pejuang yang berani maju tanpa sangkur terhunus,berbekal hanya ‘itikad dan niat luhur. Indonesia telah ditinggalkan seorang anak bangsa yang dalam perjuangannya demi hak asasi manusia tidak pernah memikirkan kepentingan dirinya sendiri.

Saya bangga karena pernah mengenal (dan berbincang) dengan seorang Prof. DR. Arief Budiman.

Semoga segala cita-cita perjuangannya yang tanpa pamrih diganjar dengan pahala yang setimpal oleh Allah (swt). 

Innaillahi wa inna ilaihi rajiuun. Al Faatihah

BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait