Berkah Lebaran: Si Manis yang Kian Menarik | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto : Akurat.co

Berkah Lebaran: Si Manis yang Kian Menarik

Ceknricek.com -- Seperti biasa, konsumsi gula sudah pasti meningkat tajam pada Ramadan dan Lebaran. Peluang ini membuat pabrik gula melakukan giling lebih cepat dari biasanya. Paling tidak begitu yang dilakukan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI. BUMN ini memulai proses giling tebu lebih awal dari biasanya. PTPN XI berusaha berproduksi sebelum Lebaran. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan gula masyarakat pada saat momen Hari Raya tersebut.

Ada empat pabrik gula (PG) yang sudah memulai giling, yakni di wilayah barat PG Pagotan dan PG Purwodadi, serta wilayah tengah dan barat di PG Semboro dan PG Kedawung.

Sumber : Istimewa

"Strategi kita kenapa giling sebelum Lebaran? Permintaan gula menjelang Lebaran itu tinggi, nanti harga gula bisa melejit kalau tidak ada pasokan," ujar Direktur Utama PTPN XI, Gede Meivera Utama, kepada wartawan, di sela-sela Buka Bersama PTPN XI, Rabu (22/5).

Selain itu, strategi giling lebih dulu tersebut dilakukan sesuai tingkat kemasakan tebu. Menurut dia, tebu yang masuk sekarang itu sudah full capacity. “Nanti tiga hari sebelum Lebaran berhenti beroperasi, setelah Lebaran selesai pabrik akan beroperasi kembali," imbuhnya.

Hingga kini tingkat rendemen gula yang sedang digiling di empat PG itu sekitar 7%. Pada musim giling tahun ini PTPN XI menargetkan bisa memproduksi 380.000 ton gula dengan tingkat rendemen 7,8%.

Target tersebut sama seperti capaian tahun lalu. "Kita realistis saja untuk target tahun ini karena memang curah hujannya lebih tinggi dan rendemen akan lebih rendah dari tahun lalu," jelasnya.

Belum Matang

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Arum Sabil, mengungkap bahwa banyak petani tebu yang mulai memanen tebu pada pertengahan Mei. Dia mengkhawatirkan tanaman tebu yang dipanen tersebut sebenarnya masih belum matang.

Tebu tersebut baru berumur 10 bulan, sedangkan usia normal panen minimal 11 bulan. “Seharusnya itu dipanen setelah 12 bulan. Satu petani panen 10 bulan, petani yang lain juga ikut. Secara berantai semua panen umurnya 10 bulan meski belum cukup usia,” katanya kepada Bisnis, Kamis (17/5).

Petani banyak yang memanen lebih awal karena khawatir pabrik gula tidak menyerap tebu mereka. Di sisi lain, pabrik pun berebut untuk menyerap tebu petani karena takut ada kapasitas tidak terpakai selama musim giling. Selama tebu memenuhi persyaratan seperti bersih dan segar, tebu diterima meski belum berusia matang.

Arum Sabil.Sumber : Antara

Menurutnya, harus ada solusi untuk menyelesaikan persaingan tidak sehat yang tengah berkembang tersebut. Pasalnya, panen tebu belum cukup usia sama dengan membuang gula karena rendemen belum optimal sudah digiling.

“Tanpa disadari banyak gula dibuang karena rendemen belum maksimal. Jangan-jangan kami pintar urusan pertanian tebu dan pabrik gula, tetapi juga dungu karena sudah tahu belum matang, tetapi ditebang,” katanya.

Bila situasi seperti itu terus berjalan, produksi gula nasional bisa lebih rendah daripada tahun lalu yakni 2,2 juta ton. Kalau mau mengantisipasi penurunan produksi, menurut Arum, masih belum terlambat asal pemanenan dini segera dihentikan.

Persoalan urusan gula nasional, bukan hanya soal rendemen yang rendah saja. Produktivitas juga perkebunan tebu juga begitu. Berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA) 2018, produktivitas perkebunan tebu di Indonesia hanya mencapai 68,29 ton per hektar di 2017. Jumlah ini lebih rendah daripada negara-negara penghasil gula lainnya, seperti Brasil sebesar 68,94 ton per hektare dan India sebesar 70,02 ton per hektare dalam periode yang sama.

Revitalisasi

Kini yang dilakukan pemerintah adalah melakukan revitalisasi pabrik gula untuk mendongkrak produktivitas industri gula nasional. Persoalannya, dari sebanyak 63 pabrik gula yang ada di negara ini, sekitar 40 di antaranya berusia lebih dari 100 tahun, dan yang tertua mencapai 184 tahun.

Permenperin nomor 10 tahun 2017 yang memperbolehkan penggunaan gula mentah impor untuk diolah dan secara bertahap digantikan dengan gula lokal diharapkan tidak hanya mendorong tumbuhnya produsen gula yang kualitasnya memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Peraturan ini juga diharapkan menjadi awal kebangkitan kondisi industri keseluruhan yang selama ini terperangkap dalam produktivitas yang rendah.
Produksi Gula.Sumber : Akurat.co
Lahirnya pabrik baru di industri gula merupakan salah satu bentuk keberhasilan pemerintah dalam memberikan insentif bagi pelaku industri gula yang berencana berinvestasi atau bahkan memperluas bisnisnya.
Bentuk insentif yang diatur dalam Permenperin nomor 10 tahun 2017 ini memberikan fasilitas akses bahan baku industri gula dalam bentuk pelonggaran impor gula kristal mentah selama kurun waktu tertentu. Namun, berbagai bentuk insentif ini juga harus diikuti ekosistem yang mendukung berkembangnya inovasi teknologi.

Selama ini, impor gula secara umum dilakukan guna merespons jumlah kebutuhan dalam negeri. Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa produksi gula nasional hanya mencapai 2,17 juta ton dan di saat yang sama impor gula mencapai 4,6 juta ton pada 2018.
Produksi Gula.Sumber : Istimewa

Selain itu, impor gula juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kualitas gula. Solanya, kualitas gula lokal belum memenuhi seluruh kebutuhan industri pengguna gula, seperti industri makanan dan minuman tertentu dan industri kesehatan tertentu.

Industri gula Tanah Air menghadapi target produksi 2,45 juta ton pada 2019 di tengah tren penurunan produksi dan penyusutan lahan dalam empat tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, produksi gula nasional turun dari 2,57 juta ton pada 2014 menjadi 2,19 juta ton pada 2017. Padahal pada tahun tersebut, kebutuhan gula rumah tangga mencapai 2,8 juta ton. Penurunan produksi diikuti pula dengan penyusutan luas area tebu dari 472.676 hektare pada 2014 menjadi 420.146 juta hektare pada 2017.

Lantaran itu, Kementerian Pertanian menargetkan dapat menambah luas tanam tebu sampai 80.000 hektare pada 2024. Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian Agus Wahyudi mengatakan bahwa kebutuhan gula kristal putih (GKP) pada 2024 naik 3 juta ton. Sementara itu, produksi gula nasional dalam beberapa tahun terakhir stagnan pada kisaran 2,2 juta ton.
Sumber : Bisnis.com
Jadi, perlu ada kenaikan produksi gula sebanyak 775.000 ton. Luas tanam 420.000 hektare ditargetkan dalam 5 tahun lagi bertambah menjadi 500.000 hektare.

Tidak hanya penambahan luas lahan, pemerintah juga perlu menaikkan produktivitas tanaman menjadi 6 ton per ha dari 5,3 ton per ha.

Rasanya, upaya Kementan ini memang tidak mudah. Sejumlah praktisi gula berpendapat peningkatan produksi gula hanya bisa dicapai jika rendemen bisa didongkrak sebesar 10% dengan produktivitas mencapai 1.000 kuintal/hektare. Sedangkan saat ini produktivitas di kisaran 800 kuintal/hektare dan rendemennya sekitar 7,5%.

Nah, jika itu bisa dicapai maka gula lokal dapat dijual dengan harga pembelian pemerintah (HPP) di kisaran Rp6.000 sampai Rp7.000 per kg sehingga bisa bersaing dengan gula impor.


Berita Terkait