Ceknricek.com -- Konsumsi tepung terigu belakangan ini agak turun sehingga membuat industri si putih nan lembut ini lesu. Hanya saja, pada Ramadan dan Lebaran perdagangan tepung terigu mulai menggeliat. Penjualan komoditas berbahan baku gandum itu diperkirakan meningkat 10%-15% sepanjang hari Bulan Suci dan Hari Raya Umat Islam itu.
Permintaan terigu sudah mulai menggeliat sejak tiga bulan sebelum Ramadan atau pada Februari 2019. "Puncaknya, terjadi kenaikan di Maret, April, dan Mei sekitar 10%-15% dibandingkan bulan biasa," ungkap Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), Ratna Sari Lopis, kepada Bisnis, beberapa hari lalu.
Asyiknya, harga jual tepung terigu tidak serta bergerak naik. Soalnya, kenaikan harga jual terigu biasanya ditentukan dua faktor: fluktuasi nilai tukar rupiah dan harga gandum internasional. Nah, tahun lalu harga jual tepung terigu sudah naik 5%-10% secara gradual karena penyesuaian nilai tukar rupiah yang kala itu sempat menyentuh Rp15.000/US$.

Sumber: Republika
Konsumsi tepung terigu nasional diperkirakan ada kenaikkan 5% dari realisasi tahun lalu yang mencapai sekitar 8 juta metrik ton. Ramadan dan Lebaran menjadi salah satu momentum produsen makanan mendulang keuntungan.
Hanya saja, jika menilik penjualan tepung terigu belakangan ini, naga-naganya target pertumbuhan selama setahun pada tahun 2019, sebesar 5% akan sulit tercapai. Pertumbuhan penjualan tepung terigu kuartal pertama 2019 hanya tumbuh tipis 0,4% secara tahunan menjadi 1,6 juta ton.
Permintaan tepung terigu pada kuartal I/2019 dipengaruhi oleh faktor Pesta Demokrasi. "Alhasil, pedagang dalam volume besar [wholesale] dan gudang-gudang di daerah menahan pembelian," ujar Ratna.
Ratna berharap permintaan pada kuartal II/2019 akan pulih dan tumbuh di rentang 5%-7% secara tahunan. “Meski kami tidak terlalu optimistis melihat keadaan pasar yang masih menahan ekspansi," katanya.
Selain itu, tekanan juga datang dari masa tahun ajaran baru di sektor pendidikan dan pergerakan komoditas lain yang memengaruhi preferensi beli masyarakat. Dengan kata lain, permintaan berkurang mengingat konsumen mengubah skala prioritasnya.
Aptindo mencatat permintaan tepung terigu pada 2016 tumbuh mencapai 7,71%. Lalu, pada 2017 dan 2018, permintaan tepung terigu tumbuh melambat masing-masing sebesar 6,67% dan 4,51%.
Tiga Jenis
Permintaan tepung terigu pada akhir tahun lalu mencapai 6,5 juta ton. Adapun, industri nasional mengakomodasi 99,96% dari kebutuhan nasional. Pertumbuhan permintaan tepung terigu nasional secara konsisten melambat sejak 2016. Adapun pelambatan pertumbuhan ekspornya tercatat sejak 2015.
Terigu adalah tepung hasil dari bulir gandum yang telah melalui proses penggilingan. Saat ini, makanan berbasis terigu telah menjadi makanan pokok di banyak negara, bahkan di Indonesia dapat dijumpai beragam makanan yang terbuat dari terigu. Kandungan gizi yang tinggi, pengolahan yang mudah dan praktis, ketersediaan yang cukup, serta harganya relatif terjangkau, menjadikan makanan berbasis terigu merambah cepat ke berbagai negara.

Sumber: Istimewa
Setidaknya ada tiga jenis tepung terigu. Pertama, tepung berprotein tinggi (bread flour). Tepung terigu yang mengandung kadar protein tinggi, antara 11%-13%, digunakan sebagai bahan pembuat roti, mi, pasta, donat. Contoh, tepung terigu berprotein tinggi, misalnya, Lonceng untuk pembuatan roti dan Peacock Biru untuk pembuatan mie.
Kedua, tepung berprotein sedang/serbaguna (all purpose flour). Tepung terigu yang mengandung kadar protein sedang, sekitar 8%-10%, digunakan sebagai bahan pembuat cake. Contoh tepung terigu jenis ini ialah Mila Serbaguna. Ketiga, tepung berprotein rendah (pastry flour), mengandung protein sekitar 6%-8%, umumnya digunakan untuk membuat kue yang renyah, seperti biskuit atau kulit gorengan. Contoh, tepung terigu ini ialah Kecapi dan Tegu.
Banyak produk yang menggunakan terigu sebagai bahan baku utamanya. Terigu merupakan produk olahan dari gandum. Sayangnya, produksi gandum dalam negeri masih sangat minim. Produksi gandum dalam negeri nyaris tidak ada dan hanya sebatas produksi uji coba dalam laboratorium. Berdasarkan keadaan tersebut, membuat Indonesia saat ini masih menggantungkan permintaan akan kebutuhan gandum melalui impor.
Selama ini sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) menguasai 66% permintaan tepung terigu nasional, sedangkan sisanya berasal dari industri besar. Sektor UKM tersebut mayoritas terdiri dari produsen rumahan.
Impor Gandum
Sebagian besar bahan baku gandum di Indonesia dipasok dari berbagai negara, yakni Australia, Kanada, Amerika, Rusi, dan Ukraina.
Menurut Data Asosiasi Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), permintaan akan impor gandum Indonesia pada tahun 2017 naik sekitar 9% menjadi 11,48 juta ton dari tahun sebelumnya. Nilai impor itu meningkat 9,9% menjadi US$2,65 miliar. Impor gandum Indonesia terbesar berasal dari Australia, yakni mencapai 4,23 juta ton atau sekitar 37% dari total impor gandum di Indonesia.

Impor gandum. Sumber: Bisnis.com
Impor gandum pada tahun ini diperkirakan makin melonjak, berbanding lurus dengan tingginya permintaan tepung terigu di dalam negeri. Padahal, harga gandum dunia tengah melambung.
Aptindo memperkirakan, pada tahun ini kebutuhan impor gandum tumbuh 5% dari realisasi impor pada tahun lalu sebanyak 10,09 juta ton. Angka ini sebanding dengan pertumbuhan permintaan tepung terigu nasional.
Selama ini 90% impor gandum masih diserap oleh industri tepung terigu. Sementara itu, sisanya diserap oleh industri pakan hewan sebagai bahan baku campuran.

Sumber: Tribunnews
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018 total impor gandum Indonesia pada tahun lalu mencapai 10,09 juta ton, turun dari realisasi 2017 sebanyak 11,43 juta ton. Impor gandum dan biji meslin Indonesia dari Australia tercatat mencapai 2,41 juta ton, turun dari 2017 yang mencapai 5,10 juta ton. Sementara itu, impor gandum dari Ukraina pada 2018 naik menjadi 2,41 juta ton dari 1,98 juta ton pada 2017.
Salah satu kendala yang akan dihadapi Indonesia dalam melakukan impor gandum pada tahun ini adalah tingginya harga gandum global. Berdasarkan data Chicago Board of Trade (CBOT), harga gandum pada level US$5,23/bushels sejak awal tahun ini. Harga tersebut terus merangkak naik sejak November 2018 mencapai US$4,87/bushels.

Sumber: Istimewa
Naiknya harga gandum tersebut antara lain, disebabkan oleh Rusia dan Ukraina yang memutuskan untuk membatasi ekspor gandumnya. Padahal, selama ini Ukraina dan Rusia menjadi pemasok gandum untuk Indonesia, selain Australia.
Kenaikan harga gandum global juga disebabkan oleh produksi gandum Australia yang mengalami penurunan sejak tahun lalu akibat gangguan cuaca. Mengutip laporan resmi di laman Australian Bureau of Agricultural and Resource Economics and Sciences (ABARES), produksi gandum Australia pada musim 2018-2019 diperkirakan hanya akan mencapai 19,1 juta ton.
Gangguan saat masa tanam komoditas gandum di Australia sempat membuat para importir gandum Indonesia mengalihkan pemasoknya ke Kanada dan Amerika Serikat (AS).