Biarkan Mereka Oposisi | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Sumber: pamflet.or.id

Biarkan Mereka Oposisi

Ceknricek.com -- Kegiatan diskusi dan pernyataan sikap sekelompok relawan pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno (Korpas) berakhir ricuh. Gara-garanya, peserta tidak menerima sikap pengakuan terhadap kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin yang disiapkan panitia. Peristiwa itu terjadi di Jakarta, Selasa (2/7) kemarin.

Sumber: tribun

Peristiwa di tempat kecil dengan sedikit pendukung Prabowo-Sandi itu menjadi cermin besar kondisi Indonesia sejatinya. Sebagian dari sekitar 70 juta pemilih dan pendukung Prabowo-Sandi nyatanya belum move on. Sebagian lagi sudah legawa, menerima kekalahan, tapi tetap memendam rasa kecewa. 

Nah, wajarlah jika sejumlah pihak mendorong Jokowi dan Prabowo saling berjabat tangan melakukan rekonsiliasi. Rekonsiliasi dianggap penting untuk mendinginkan situasi, kendati langkah inipun belum tentu diterima semua pendukung keduanya. Namun, setidaknya rakyat bisa menyaksikan bahwa kedua tokoh ini baik-baik saja, tidak saling memendam permusuhan.

Sumber: Setkab

Sikap Prabowo yang telah mempersilakan partai pendukungnya memilih jalan masing-masing sesungguhnya merupakan langkah yang bijak. Lewat cara ini, dia melepas para politisi dari partai pendukung mengambil sikap sendiri tanpa pengaruh koalisi. Mau tetap berjuang bersama sebagai oposisi atau pindah jalur ke Istana, silakan. Atau juga mempersilakan parpol pendukung itu bebas menjalankan aspirasi pemilihnya masing-masing.

Maklum saja, jauh sebelum palu Mahkamah Konstitusi diketuk yang akhirnya mengalahkan Prabowo, Partai Demokrat dan PAN, sudah santer disebut-sebut merapat ke Istana. Dengan keputusan Prabowo itu mereka yang ingin menjalankan keinginannya tidak perlu merasa lagi mengkhianati Prabowo atau partai koalisi lainnya.

Publik tentu masih ingat bahwa pada periode pertama Jokowi, pasca kekalahan Prabowo-Hatta Radjasa, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan membawa gerbong PAN ke Istana. Kini pun kondisi kayaknya tak jauh beda. Hanya saja, Amien Rais tampaknya masih konsisten berada di samping Prabowo sehingga membuat Zulhas maju-mundur tak karuan.

Tentang Partai Demokrat, publik tampaknya juga sudah membaca seperti apa keinginan Susilo Bambang Yudhoyono yang mendorong putranya Agus Harimurti untuk mendapatkan kursi politik bergengsi secepat mungkin. SBY bernafsu ingin membangun politik dinasti. Keputusan Prabowo jelas memberi jalan lempang bagi SBY untuk merapat ke Istana, tanpa perlu merasa mengkhianati koalisi.

Posisi sebagai Oposisi

Ke depan, Prabowo mungkin hanya bisa mengandalkan Partai Gerindra, PKS, dan Berkarya untuk mengimbangi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Sayangnya, Partai Berkarya tak punya wakil di parlemen karena tak memenuhi parliamentary threshold. Akhirnya hanya dengan PKS, Gerindra kembali berjalan bersama.

Sumber: Istimewa

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bisa dipastikan istiqomah. Jejak Partai Islam ini masih jelas: menolak bergabung dalam pemerintahan Jokowi sejak 2014. PKS bahkan menyerukan parpol yang sebelumnya tergabung dalam Koalisi Indonesia Adil dan Makmur bertransformasi menjadi oposisi pemerintah.

Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera, menegaskan mencintai negeri ini di dalam dan luar pemerintah sama baiknya ketika itu semata-mata memang ingin betul-betul untuk rakyat. “Menurut saya, kita sedang membangun budaya organisasi. Kami tetap menyatakan posisi sebagai oposisi adalah posisi yang mulia," tegasnya. "Menjadi oposisi kritis dan konstruktif pilihan paling rasional dalam kondisi sekarang," lanjut Mardani, Senin (1/7).

Mardani. Sumber: Inews

Sikap PKS menarik karena disampaikan pada saat Jokowi membuka pintu lebar-lebar untuk partai pendukung Prabowo masuk dalam koalisinya, untuk bersama-sama duduk di pemerintahan.

Jika menilik hasil rekapitulasi yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum pada 21 Mei lalu maka posisi pemerintahan Jokowi cukup kuat karena didukung 54,9% anggota parlemen dari partai pendukung. Sedangkan kursi partai Koalisi Adil Makmur 40,17%. Angka ini harus cukup berimbang dan sehat untuk pemerintahan ke depan.

Harusnya, Jokowi tak perlu lagi membuka pintu bagi partai oposisi. Di sisi lain, partai oposisi mestinya tidak kasak-kusuk mencari posisi. Partai pendukung Prabowo kasak-kusuk karena diberi peluang. Bahkan Jokowi berkeinginan kuat menarik Gerindra. Dalam wawancara dengan Jakarta Post, Jokowi mengatakan kalau dia "terbuka kepada siapa saja yang ingin bekerja sama" ketika ditanya kemungkinan masuknya Gerindra ke koalisi.

Jawaban ini menegaskan kalau partai koalisi Jokowi membuka pintu bukan hanya untuk Gerindra, tapi juga yang lain. Inilah yang menjadi tidak sehat. Jokowi mestinya menyadari memasukkan wakil partai penyokong Prabowo ke kabinet justru akan melemahkan oposisi sekaligus merugikan demokrasi. Sebab itu, upaya kedua kubu mencari kompromi harus tetap didasari etika politik.

Rekonsiliasi Lalu Oposisi

Sikap PKS patut mendapat apresiasi. Bahwa kedua kubu perlu bersalaman untuk mengakhiri kompetisi, adalah sesuatu yang baik dan wajib. Namun, kubu yang kalah, hendaknya tetap konsisten dengan ideologi dan gagasan mereka tanpa tergoda masuk dalam pemerintahan. Mereka tidak perlu kasak-kusuk meninggalkan koalisi calon presiden yang semula mereka usung.

Koalisi Bubar. Sumber: Pojok Satu

Rekonsiliasi jangan diterjemahkan berarti harus masuk koalisi. Apalagi disertai transaksi jabatan. Upaya rekonsiliasi yang harus dijalani adalah kembali ke posisi masing-masing untuk melaksanakan konstitusi. Melaksanakan konstitusi tidak harus bersatu dalam bentuk koalisi untuk masuk ke dalam pemerintahan saja. Tapi, bisa juga dilakukan dengan adanya salah satu pihak yang menjalankan pemerintahan dan ada pihak yang menjadi oposisi. Tujuannya untuk mengkritisi kebijakan. Jadi, terciptalah suatu pemerintahan yang seimbang.

Persoalannya, oposisi dalam demokrasi di Indonesia, bukanlah hal yang populer. Bahkan ada paranoia yang menyertai diksi oposisi seperti pembangkang, penentang, atau lawan politik dengan sikap ‘pokoknya katakan tidak!’ Oposisi hanya muncul sesaat di masa pemilu, setelah itu tenggelam.

Kata oposisi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, didefinisikan dalam dua bidang yang berbeda. Pada dunia politik, arti kata oposisi dimaknai sebagai ‘partai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa’. Sementara dalam bidang linguistik, arti kata oposisi dimaknai sebagai ‘pertentangan antara dua unsur bahasa untuk memperlihatkan perbedaan arti’.

Dalam hal menggambarkan peran oposisi, Ignas Kleden dalam tulisannya “Oposisi dalam Politik Indonesia” (Kompas, 4 Juli 1998), menggunakan terminologi advocatus diaboli atau devil's advocate. Dia menggambarkan peran oposisi sebagai ‘setan yang menyelamatkan kita, justru dengan mengganggu kita terus-menerus’.

Adanya oposisi serupa setan baik atau serupa kekuatan moral dan etik, dalam perspektif Sigmud Freud maka dipercaya penguasa akan menjalankan kekuasaan secara lebih benar. Harapan demokrasi terhadap oposisi yang tangguh tentu saja menjalankan fungsi check and balance untuk memastikan kekuasaan tetap berjalan pada rel yang benar dan tidak terseret pada kecenderungan alamiah penguasa untuk memperluas kekuasaannya serta menyelewengkan penggunaan kekuasaan.

Sayang sungguh sayang, dalam tradisi politik di Indonesia sejak lepas dari kolonialisme hingga kini cenderung menegaskan oposisi dengan pemaknaan yang negatif sebagai sumber instabilitas politik yang ujung-ujungnya mengganggu berjalannya agenda-agenda pemerintahan.

Peyoratif makna terhadap oposisi ini kerap dijadikan dalih penguasa untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya, entah dengan cara represif, disandra, ataupun diseret ke dalam koalisi kekuasaan. Oposisi bagi para elite kita yang masih gagap berdemokrasi ini benar-benar serupa setan; mengganggu dan menakutkan.

Pada masa Sukarno, pembungkaman terhadap oposisi dilakukan melalui Dekrit Presiden 1959, sementara pada masa Soeharto dilakukan melalui kebijakan pseudo demokrasi yang sangat despotis, sentralistik, dan otoritarian. Keduanya tumbang oleh kekuatan civil society. Sedangkan di era Reformasi, pembungkaman oposisi dilakukan dengan pembunuhan karakter lewat ‘jerat hukum’ dan pemberian jatah kuasa (ditarik ke lingkaran koalisi).

Kendati demikian, kita mencatat bahwa ada beberapa partai yang cukup kuat berpuasa kekuasaan dengan cara beroposisi.Sebut saja PDI Perjuangan pada masa 10 tahun kekuasaan Presiden SBY, lalu PKS dan Gerindra di masa Jokowi. Partai yang sudi berpuasa dan menolak bujuk rayu Istana inilah yang diharapkan member inspirasi kepada rakyat untuk menjadi pribadi kritis yang bertakwa.



Berita Terkait