Ceknricek.com -- Bagi Anda yang sudah sering membaca Sapta Siaga, Lima Sekawan, Malory Towers, atau serial Si Badung, pastinya sudah tidak asing lagi dengan nama Enid Blyton, atau dikenal juga dengan Mary Pollock. Penulis asal Inggris yang pandai membangkitkan imajinasi anak-anak kecil untuk terus berpetualang ini merupakan seorang pengarang yang sangat populer di dunia, bahkan hingga kini buku-bukunya masih terjual jutaan copy setiap tahun.
Pengarang serial cerita anak legendaris ini meninggal 28 November 1968, tepat 51 tahun yang lalu. Lahir dengan nama Enid Mary Blyton pada tanggal 11 Agustus 1897 di London, Inggris, Ia merupakan anak pertama dari pasangan Thomas Carey Blyton dan Theresa Mary Harrison Blyton. Blyton memiliki dua adik laki-laki, yakni Hanly Blyton, dan Carey Blyton.
Bakat Sejak Kecil
Bakat menulis dan kecintaan Enid pada buku dan sastra sudah terlihat saat ia masih belia. Ia juga sangat menyukai membaca novel, beberapa yang menjadi favoritnya yaitu Black Beauty (karya Anna Sewell), The Water Babies (Charles Kingsley), dan Little Women (M. Alcott).
Ketika Enid berusia 10 tahun dan duduk di bangku sekolah, ia bersama kedua temannya, Mirabel Davies dan Mary Attenborough, sempat membuat majalah Dab yang mereka terbitkan sendiri. Dalam majalh itu, Mirabel bertugas menulis puisi, Enid Blyton menulis cerita pendek, dan Mary yang membuat ilustrasinya.
Baca Juga: Mengenang Legenda Guru Gambar Anak Indonesia, Tino Sidin
Pada umur 14 tahun, Blyton remaja kemudian menjuarai kompetisi puisi yang kemudian diterbitkan Arthur Mee Magazine. Meski demikian ia tak mendapat dukungan penuh dari kedua orangtuanya yang gagal dalam berumah tangga dan bercerai.
Dalam film dokumenter yang dibuat BBC pada 2009 yang berjudul Enid, diceritakan suatu hari ayah Blyton meninggalkan rumah setelah bertengkar dengan ibunya. Kejadian ini pun membuat Blyton tidak pernah memaafkan ibunya karena Blyton adalah anak kesayangan sang ayah.
Blyton memang sangat dekat dengan ayahnya yang berprofesi sebagai seorang pedagang kain yang cukup sukses. Dalam autobiografinya, The Story of My Life (1952), Enid pun pernah menulis:
"... ayahku mencintai pedesaan, mencintai bunga, burung, dan binatang liar, dan tahu lebih banyak mengenai alam lebih daripada siapa pun yang pernah aku temui [..] Itu luar biasa bagiku dan Ini cara terbaik untukku belajar mengenai alam dan dapat berjalan-jalan dengan seseorang yang benar-benar tahu mengenai hal itu semua."
Saat beranjak dewasa, Blyton kemudian meninggalkan rumah untuk bersekolah menjadi guru taman kanak-kanak dan sejak itu pula dia tidak pernah lagi pulang kerumahnya. Ibunya memang sejak awal melarang Enid untuk menjadi pengarang, dan percaya bahwa takdirnya hanya menjadi nyonya rumah yang baik.
Di masa inilah Enid kemudian kembali lagi meneruskan hobinya dan mulai menulis cerita anak dan bertemu dengan suami pertamanya, Mayor Hugh Pollock, seorang veteran perang, hingga mereka menikah tak lama kemudian pada 28 Agustus 1924.
Dari pernikahan antara Blyton dengan Pollock, mereka kemudian dianugerahi dua orang anak, yakni Gillian Mary Baverstock, dan Imogen Mary Smallwood. Meski demikian, Blyton yang terkenal sangat ramah terhadap para fansnya ternyata tidak pernah hangat kepada putri-putrinya sendiri.
Rumah tangga Blyton pun kemudian retak dan berujung pada perceraian karena ia terlalu tenggelam dalam dunia imajinasinya sendiri dan tidak mengindahkan apa yang terjadi di dunia luar. Ia lalu menikah lagi dengan seorang dokter bedah bernama Kenneth Waters pada 1942.
Karya-Karya Enid Blyton di Indonesia
Produktivitas Enid Blyton sebagai seorang pengarang sudah tidak perlu diragukan lagi. Dalam rentang waktu hidupnya, sudah lebih dari 700 buku telah Enid tuliskan dan diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia.
Tahun 1942, Enid mulai membuat serial terkenal The Famous Five. Kisah tentang Julian, Dick, George, Anne, dan seekor anjing bernama Timmy yang bertemakan kisah petualangan anak-anak yang berjumlah 21 serial.
Di Indonesia sendiri, bagi remaja era 80-90-an mengenal serial tersebut dengan judul buku Lima Sekawan yang memiliki pengaruh terhadap masa tumbuh remaja di Indonesia pada waktu itu. Salah satu pengalih bahasa yang rajin menerjemahkan karya-karya Enid Blyton tak lain adalah Agus Setiadi, ayah dari mantan menteri kebudayaan Hilmar Farid.
Di samping The Famous Five’, karya Blyton yang tak kalah bersinar adalah Secret Seven (Sapta Siaga) yang hampir senada dalam hal tema dengan petualangan. Di buku ini Enid Blyton menuliskan kisah tentang Peter, Janet, Jack, Pamela, Barbara, Colin dan anjing pelacak mereka yang bernama Skippy dalam 15 seri judul yang dia buat dari 1949-1963.
Baca Juga: Menilik Jalan Hidup Sayuti Melik, Sang Juru Ketik Naskah Proklamasi
Mengenai keberhasilannya sendiri sebagai seorang penulis legendaris, Michael Woods, seorang psikolog pernah berujar, "Enid pernah menjadi seorang anak, dia berpikir seperti anak-anak, menulis sebagai anak-anak". Bahkan, dalam penghargaan buku Costa di tahun 2008, nama Enid Blyton ditetapkan sebagai penulis paling dicintai, melampaui Roald Dahl, J.K. Rowling, dan Shakespeare.
Beberapa karyanya yang terkenal di Indonesia antara lain seperti; The Adventure Series (Seri Petualangan), The Barney Mystery Series (Serial Komplotan), The Circus Series, The Famous Five (Lima Sekawan), The Five Find-Outers (Pasukan Mau Tahu), The Magic Faraway Tree series, The Secret Seven (Sapta Siaga), dan The Secret Series (Empat Serangkai).
Sekiranya, banyak anak di Indonesia di era 90-an yang kini telah berkeluarga tetap menjadi pembaca setia Enid Blyton, bahkan mewariskan buku-buku petualangan itu kepada anak mereka secara turun temurun, hingga buku-buku tersebut menemukan pembaca-pembaca baru dari generasi sekarang.
Dan kini, setelah setengah abad berlalu, sejak kematian Enid Blyton akibat serangan jantung pada 28 November 1968, karya-karyanya akan tetap abadi dan akan terus menginspirasi anak-anak untuk bertualang memasuki goa, bertemu orang jahat, atau menanjaki gigir-gigir jurang setelah bolos dari asrama sekolah.
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Thomas Rizal