Ceknricek.com -- Di balik suasana haru dan bahagia setelah ikhtiar panjang memperjuangkan kemerdekaaan dari belenggu penjajahan, bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, memproklamirkan kemerdekaannya di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat.
Ada sosok yang memiliki andil besar dalam proses Indonesia menyatakan kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka. Dia adalah Sayuti Melik, orang yang mengetik naskah proklamasi yang dibacakan oleh Presiden Sukarno.
Sayuti Melik lahir hari ini, 111 tahun yang lalu, tepatnya pada 22 November 1908, di Sleman Yogyakarta. Dirangkum dari berbagai sumber, berikut perjalanan kisah hidup sang juru ketik naskah proklamasi.
Anak Bekel Desa dari Yogyakarta
Mohamad Ibnu Sayuti atau lebih dikenal sebagai Sayuti Melik lahir di Sleman pada 1908. Dia merupakan anak dari seorang bekel (lurah) atau kepala desa Kadilobo, Sleman, Yogyakarta bernama Abdul Mu’in alias Partoprawito, sementara Ibunya bernama Sumilah.
Sang ayah inilah yang mengajarkan Sayuti kecil tentang nasionalisme dengan menentang kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda yang menggunakan sawah-sawah rakyat untuk ditanami tembakau. Partoprawito yang juga seorang pokrol, sejenis pengacara, kemudian mengajak rakyat menentang kebijakan tersebut.
Sayuti Melik yang melihat secara langsung bagaimana sang ayah berani menentang Belanda kemudian tumbuh menjadi seorang yang bernyali tinggi dalam menentang ketidakadilan. Dari pengalamannya di masa kecil inilah kelak tulisan-tulisannya sebagai wartawan sangat kritis dalam menyoroti ketidakadilan.
Sejak belia, Sayuti Melik sudah berminat pada isu-isu kebangsaan. Ia rajin membaca buku, koran, dan sering menghadiri diskusi-diskusi tokoh berpengaruh pada waktu itu. Tercatat Ia pernah berguru ke Kyai haji Ahmad Dahlan sebelum akhirnya melanjutkan pendidikan di Solo.
Namun seiring daya pikirnya yang kian kritis ia mulai meninggalkan ide-ide pendiri Muhammadiyah tersebut yang ia anggap kurang progresif.
Baca Juga: Lukisan Saksi Bisu Pembacaan Teks Proklamasi
“Lama-kelamaan saya tidak tertarik kepada Kyai Dahlan, karena menurut saya dia kurang progresif-revolusioner. Akhirnya saya tinggalkan Kyai Dahlan, dan saya berguru kepada Haji Misbach,” ucapnya seperti dikutip Solichin Salam dalam Wajah-wajah Nasional (1990: 173).
Dikurung dan Dibuang Pemerintah Kolonial
Tahun 1920, Sayuti Melik melanjutkan pendidikannya ke Solo dan belajar di bawah bimbingan orang Belanda bernama H.A Zurink. Di sinilah ia mengenal sosok Haji Misbach, seorang ulama berhaluan kiri ketika membaca beberapa tulisannya di majalah Islam Bergerak atau Medan Muslimin.
Pada umur 16 tahun, Sayuti Melik sudah terjun ke kancah perjuangan dan menulis di surat kabar dengan nama samaran “Si Kecil”. Dia pun berkali-kali ditahan karena tulisan-tulisannya.
Pada 1924, ia sempat menjadi tahanan kolonial di Ambarawa, Jawa Tengah, dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk melawan pemerintah, sebagaimana dituliskan Arif Priyadi dalam buku, Wawancara dengan Sayuti Melik (1986).
Dua tahun kemudian, pada 1926, Sayuti Melik kembali ditangkap dengan tudingan terlibat aksi perlawanan Partai Komunis Indonesia. Menurut Audrey Kahin dalam Regional Dynamics of The Indonesian Revolution (1985), Sayuti tak hanya dibui, tapi juga turut dibuang ke Boven Digul, Papua, bersama orang-orang PKI (hlm. 37).
Tahun 1933, Sayuti Melik baru kembali pulang ke Jawa, namun lagi-lagi tiga tahun kemudian kembali dijebloskan ke bui ketika ia merantau ke Singapura dan ditangkap pemerintah kolonial Inggris karena dicurigai terlibat dalam gerakan bawah tanah.
Empat tahun berjalan, Sayuti Melik baru pulang kembali ke Tanah Air pada 1937 dan bertemu dengan Soerastri Karma Trimurti seorang jurnalis perempuan sekaligus aktivis pada zaman pergerakan. Mereka menikah pada 1938 dan menerbitkan koran Pesat di Semarang.
Dibui Bangsa Sendiri
Setelah Sayuti Melik dan Trimurti menikah, mereka terus melanjutkan perjuangan demi berdaulatnya negara Indonesia. Keduanya hanya menyepakati satu janji bersama yakni: “Perjanjiannya? Bersama-sama berjuang,” ujar Tri seperti dikutip dari Historia.
Baca Juga: Mengenal Pemilik Rumah Tempat Lahirnya Proklamasi Kemerdekaan
Meski demikian, pasangan teladan dari pejuang-pejuang kemerdekaan itu tidak sempat menikmati kehidupan keluarga yang tenteram. Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan mereka yang mengkritik tajam pemerintah Hindia Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, mereka juga tidak luput dari intaian pemerintah fasis Dai Nippon, koran Pesat dibredel. Trimurti ditangkap Kempetai, sementara Sayuti dicurigai Jepang sebagai orang komunis.
Tahun 1943, Trimurti dibebaskan atas permintaan Sukarno. Sayuti Melik dan istrinya akhirnya sempat hidup tenang karena dekat dengan Bung Besar yang telah ia kenal sejak 1926.
Kelak, Sayuti ikut bergabung dalam kelompok pemuda Menteng 31 yang membawa Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Satu hari kemudian Indonesia merdeka, dan teks proklamasi kemerdekaan diketik dan disunting olehnya sebelum akhirnya dibacakan oleh Sukarno.
Meski turut ikut berperan dalam upaya kemerdekaan dengan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), pada tahun 1946 atas perintah Amir Syarifudin--kala itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan--ia ditangkap oleh Pemerintah RI karena dianggap turut terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946.
Setelah diperiksa oleh Mahkamah Tentara, Sayuti terbukti dinyatakan tidak bersalah dan lepas dari dakwaan. Ia kemudian ikut kembali berjuang ketika Belanda ingin kembali berkuasa di Indonesia lewat Agresi Militer. Tahun 1948, Sayuti Melik ditangkap Belanda dan ditahan di Ambarawa. Dia baru bebas jelang penyerahan kedaulatan pada 1950.
Menentang Sukarno
Pada awalnya, Sayuti Melik dikenal sebagai orang dekat dan pendukung Sukarno. Namun ketika penyambung lidah rakyat itu berkuasa, ia justru menentang keras gagasan-gagasan Bung Besar ketika memasyarakatkan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom).
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Peristiwa Penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok
Selain menentang gagasan Nasakom dan mengusulkan menggantinya menjadi Nasasos, dengan mengganti unsur komunis menjadi sosialisme, Sayuti Melik juga tidak setuju Sukarno menjadi presiden seumur hidup. Sejak saat itulah ia terkesan diabaikan rezim Orde Lama.
Tulisannya, Belajar Memahami Sukarnoisme yang dimuat di puluhan media massa kemudian dilarang. Artikel bersambung itu menjelaskan perbedaan Marhaenisme ajaran Bung Karno dan Marxisme-Leninisme doktrin PKI. Ketika itu Sayuti melihat PKI hendak membonceng kharisma Bung Karno.
Setelah Orde Lama runtuh dan digantikan Orde Baru, Sayuti Melik kembali berkibar di kancah politik. Dia menjadi anggota DPR/MPR mewakili Golkar, partai representasi dari kekuasaan Suharto selama berkuasa. Setelah hidup tenang di era ini, pada 27 Februari 1989, dalam usia 80 tahun, Sayuti Melik meninggal dunia setelah setahun sakit.
Sang juru ketik naskah proklamasi itu dimakamkan di TMP Kalibata. Dia menerima Bintang Mahaputra Tingkat V (1961) dari Presiden Soekarno dan Bintang Mahaputra Adipradana (II) dari Presiden Soeharto (1973).
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Farid R Iskandar