Biografi SM Ardan: Pemotret Realitas Masyarakat Betawi | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Ilustrasi: Alfiardy/Ceknricek.com

Biografi SM Ardan: Pemotret Realitas Masyarakat Betawi

Ceknricek.com -- Bagi masyarakat Betawi, Syahmardan atau yang biasa dikenal dengan SM Ardan lebih dikenal sebagai seniman tradisi Betawi ketimbang sebagai seorang sastrawan. Memang, kiprah kesenimanan pria yang meninggal 26 November 2006, atau 13 tahun lalu ini lebih banyak berkecimpung di masalah kebetawian daripada kesusastraan Indonesia.

Meski demikian, laki-laki kelahiran Medan, Sumatra Utara, pada 2 Februari 1932 ini juga dikenal luas sebagai sastrawan, penulis drama, dan esais handal. Cerpen-cerpennya pun dianggap seringkali memotret realitas masyarakat Betawi yang sederhana pada masanya.

Nama asli SM Ardan adalah Sahmardan, sebagian sumber menyebutnya Syahmardan. Saat kecil, ayahnya Muhammad Zein juru potret yang berasal dari Betawi, mengajak istrinya Nursyah perempuan asal Bogor untuk merantau ke Medan.

Setelah ayahnya meninggal dunia, Ardan pun diajak kembali ke Jakarta oleh sang Ibu. Di kota inilah SM Ardan kemudian menghabiskan hidupnya. Dari bersekolah, berkarya, bekerja, hingga berkeluarga sampai akhir hayat.

Aktivitas menulis Ardan dimulai tahun 1950-an ketika menulis puisi di majalah sekolah, dan mencoba peruntungan di majalah yang lebih terkenal. Usahanya membuahkan hasil. Tulisan-tulisannya dimuat di berbagai media massa seperti Merdeka, Aneka, Pemuda, Mimbar, Indonesia Djaja, Mimbar Indonesia, dan Kisah.

Baca Juga: Mengenang Benyamin Sueb; Si Biang Kerok yang Melegenda

Meski menyadari bahwa dirinya bukan orang Betawi asli, SM Ardan sangat mencintai kehidupan masyarakat Betawi. Kemungkinan karena SM Ardan dibesarkan di lingkungan masyarakat Betawi dan ayahnya asli Betawi.

Selain itu, darah seni diwarisi dari ayahnya yang dikenal sebagai seorang juru foto. Ardan lalu memadukan bakat seni yang diterimanya dengan pengalaman-pengalaman hidupnya dalam mengungkapkan karya ciptaannya. 

Sumber: Istimewa

Sebagai seorang sastrawan, karyanya yang paling terkenal tentu saja Terang Bulan Terang di Kali (2017). Sebuah kumpulan cerpen yang diterbitkan Pustaka Jaya pada tahun 1974 dan kembali diterbitkan oleh Masup Jakarta pada 2017.  

Kumpulan cerpen ini mengutip HB Jassin, berhasil memotret kehidupan sehari-hari masyarakat Jakarta yang sederhana, yaitu lingkungan tukang becak, pengemis dan gembel yang tinggal di gubuk-gubuk dan di bawah langit terbuka.

Jassin menuliskan, meskipun nama kumpulan cerpen itu diambil dari satu pantun yang romantis, kehidupan yang dilukiskan adalah kenyataan sehari-hari yang keras, avontur manusia tak punya, yang didekati dengan pengertian yang mesra meresap dan penyerahan yang menyatu.

Menurut Ajip Rosidi yang mengutip pernyataan Ardan sendiri, cerpen-cerpen yang dilahirkan SM Ardan merupakan refleksi kepedulian dan kecintaannya pada dunia kehidupan Jakarta yang sudah sangat dikenalnya benar.

Baca Juga: Mengenang Chitra Dewi, Artis Tiga Zaman

Bagi Ardan, dari ada kebiasaan, tradisi, penderitaan, dan suka duka warga Jakarta dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Hal inilah kemudian yang mendorongnya mengangkat peri kehidupan warga Jakarta yang memang telah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya sendiri.

Aktif di Kesenian Hingga Akhir Hayat

Selain aktif di kepenulisan, SM Ardan juga turut melestarikan kesenian tradisi betawi. Dari tangan dinginnya lenong dan tari topeng betawi kemudian mengalami masa-masa keemasan serta semakin mengakar di masyarakat.

Sumber: Istimewa

“Sejak tahun 1969, ia aktif membina kesenian Betawi, khususnya Lenong. Dari sana pula, ia ‘terpaksa’ menulis sejumlah naskah lenong. Sayangnya, naskah-naskah lenong yang dihasilkannya masih tercecer dan belum dipublikasikan dalam bentuk buku,” tulis Maman S. Mahayana, melansir Tirto.

Sejak tahun 1985, Ardan lalu tercatat sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta. Sebagian besar waktunya pun akhirnya Ia curahkan dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan Lembaga Kebudayaan Betawi, di samping mengurus pekerjaan rutinnya di Pusat Perfilman Usmar Ismail. 

Baca Juga: Mengenang Usmar Ismail, Bapak Perfilman Nasional

Dalam rentang waktu hidupnya, SM Ardan melahirkan berbagai karya, antara lain cerpen, Terang Bulan Terang di Kali (1955) dan Cerita Sekeliling Jakarta (2006). Ia juga menerbitkan Kumpulan Sajak, Ketemu di Djalan (bersama Ajip Rosidi dan Sobron Aidit, 1956).

Sumber: Istimewa

Kumpulan Skenario Film seperti, Si Pitung (1970), Si Gondrong (1971), Berandal-Berandal Metropolitan (1971), Pembalasan Si Pitung (1977), Rahasia Wisma Mega (1978), dan naskah drama tiga babak Nyai Dasima (1965).

Pada akhir November 2006, SM Ardan menjadi korban tabrak lari dari seorang pengendara motor. Kecelakaan ini membuatnya mengalami pendarahan di kepala, sementara kaki kanannya patah.

Selang seminggu menjalani perawatan intensif di ruang ICU RS Jakarta karena koma, SM Ardan meninggal 26 November 2006. Jenazahnya kemudian dibumikan di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat.

SM Ardan telah menggenapkan nasib sebagai seorang yang terus "menyanyikan kesaksian" masyarakat Betawi. Berkat kesaksiannya, kini kita dapat mendengarkan derita rakyat kecil di sepanjang tebing kali Ciliwung yang terus dicintainya hingga akhir hayat.

BACA JUGA: Cek OLAHRAGA, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.


Editor: Thomas Rizal


Berita Terkait