Ceknricek.com--Negara ini didirikan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan menghadirkan layanan kesehatan yang layak bagi seluruh warga negara, sebagaimana tertuang dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. Kementerian Kesehatan adalah kepanjangan tangan negara yang paling bertanggung jawab (leading sector) dalam mewujudkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau (universal health coverage) bagi seluruh warga negara.
Semua pasti ingat di awal 2020, saat pandemi Covid-19 mulai masuk ke beberapa negara tetangga. Alih-alih memimpin upaya pencegahan masuknya Covid-19, Terawan sebagai Menkes abai dan terkesan menyepelekan ancaman wabah yang sudah di depan pintu.
“Jangan panik, jangan resah, enjoy aja, ya Harvard-nya suruh ke sinilah untuk melihat, kan virusnya ringan-ringan saja. Batuk pilek itu kematiannya lebih tinggi dari virus Corona ini, ini akan sembuh sendiri," demikian sepotong jejak digital ucapan sang Menteri.
Sikap abai dan sombong sang Menteri ini berakibat pada amburadulnya penanganan wabah, sehingga dalam 6 bulan pertama saja lebih dari 303 ribu kasus terkonfirmasi dengan lebih dari 11.151 kematian (Gugus Tugas, s/d 4 Oktober 2020).
Di sisi lain, kapasitas RS untuk menampung 20% pasien bergejala sedang sampai berat hampir terlampaui dengan dampak angka kematian Nakes sebesar 6,5% (20 kali angka kematian nakes dunia yang cuma 0,37%). Proporsi kematian nakes di Indonesia ini benar-benar tertinggi di dunia. Dalam situasi yang benar-benar kritis tersebut, sang Menteri membuat gaduh terkait tatakelola Nakes yaitu merombak Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dengan cara yang menyalahi undang-undang.
Upaya mendegradasi peran KKI sebagai lembaga independen di bawah Presiden di tengah pertempuran menghadapi wabah yang tak kunjung usai yang diwarnai kegagapan dan ketidaksiapan logistik bagi pasukan tempur (Nakes) di lapangan, sang menteri tega sekali mengobok-obok Konsil Kedokteran yang merupakan Lembaga Negara penjaga standar mutu dan kompetensi nakes.
Awal Agustus 2020, atas usulan Menkes (berdasarkan Permenkes No 81-2019 tentang Tata Cara Pengusulan Calon Anggota KKI), tiba-tiba presiden melantik para anggota Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang kemudian ditolak oleh IDI, PDGI dan seluruh Perhimpunan Dokter Spesialis (Keppres No.55/M-2020, tg.11/8/2020).
Penolakan ini karena penunjukan wakil-wakil IDI, PDGI, AIPKI, MKKI, dan AFDOKGI oleh Menkes tidak pernah dikomunikasikan dan tidak mewakili semua organisasi profesi kesehatan tersebut.
Dalam UU 29-2004 (saat itu masih berlaku), pasal 14 tentang keanggotaan, disebutkan bahwa keanggotaan KKI ditetapkan oleh presiden atas usulan menkes berdasarkan atas usulan dari organisasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan dokter, dokter gigi, dan rumah sakit pendidikan (semuanya merupakan representasi dari Civil Society di bidang kedokteran dan kesehatan).
Pada pasal 6, jelas tertera peran penting Konsil Kedokteran dalam tata kelola dokter dan dokter gigi (pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis).
Upaya menkes merusak tatakelola nakes terkait kedudukan KKI ini dilawan oleh IDI dan PDGI ke PTUN (dengan Putusan No. 204/G/2020/PTUN.JKT dan Putusan Banding No. 198/B/2021/PT.TUN.JKT) dan akhirnya berujung pada Putusan Kasasi oleh Mahkamah Agung (MA) No. 128 PK/TUN/2022, tg. 18/8/2022 yang meminta Presiden untuk melakukan koreksi atas Keppres yang tidak memenuhi ketentuan pasal 14 UU 29-2004.
Putusan PK dari MA ini kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya Keppres No. 10/M-2023, tg. 3/3/2023 yang memberhentikan 7 orang anggota KKI yang penunjukannya oleh menkes Terawan menyalahi ketentuan perundang-undangan. Putusan MA No. 128 PK/TUN/2022 ini sekaligus membatalkan Permenkes No 81-2019 tentang Tata Cara Pengusulan Calon Anggota KKI.
Benang merah antara langkah Terawan yang inkonstitusional dengan penerusnya terlihat secara kasat mata bahwa Permenkes 81-2019 telah mendegradasi sifat KKI sebagai badan yang otonom, mandiri, non-struktural, dan bersifat independen. Ini menjadi salah satu alasan pokok dari beberapa OP mengajukan tuntutan pembatalan ke PTUN, yang selanjutnya dimenangkan oleh IDI dkk. di tingkat Kasasi dengan Putusan MA N0.5-2021.
Pertanyaannya adalah, mengapa seorang menkes menginisiasi sebuah kegaduhan di tengah situasi kritis perang melawan Covid-19. Apakah sesungguhnya tujuan utama dari tindakan menkes yang inkonstitusional tersebut, meskipun kemudian dibatalkan oleh putusan MA.
Meskipun Terawan sebagai menteri telah digantikan oleh Budi Gunadi Sadikin (BGS), ternyata upaya untuk mendegradasi kedudukan dan peran KKI, demi untuk bisa sepenuhnya menguasai dan mengkooptasi seluruh tata kelola nakes, masih terus berlanjut tanpa henti. Selaku pengusung UU 17-2023, tampak jelas adanya benang merah bahwa BGS adalah penerus bahkan bisa jadi kepanjangan tangan Terawan. Jadi jangan heran apalagi sampai terkejut, demi untuk tidak mengulang kegagalan Terawan, BGS benar-benar menghalalkan segala cara, termasuk mengumbar berbagai tuduhan dan fitnah keji kepada IDI sebagai organisasi profesi Nakes yang terbesar (antara lain https://kumparan.com/zainalmuttaqin/203iXSG2NZw? ; https://kumparan.com/zainalmuttaqin/205TufLd9jc? ; https://www.kompas.id/baca/opini/2023/02/08/karut-marut-distribusi-dokter-dan-dokter-spesialis ), dan masih banyak lagi.
Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait UU Kesehatan, pasal 728 ayat 3 menyebutkan bahwa keanggotaan konsil diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usulan menteri (persis sama dengan isi Permenkes 81-2019 yang dibatalkan oleh MA). Tidak ada lagi klausul “berdasarkan atas usulan dari organisasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan dokter, dokter gigi, dan rumah sakit pendidikan”, sebagaimana sebelumnya ada di Pasal 14 UU 29-2004. Bahkan dalam RPP Pasal 731 tertulis “Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan, pemberhentian pimpinan dan anggota konsil serta organisasi, tata kerja, alat kelengkapan konsil, dan sekretariat konsil diatur dengan peraturan menkes”.
Jelas terbaca upaya menkes lewat UU 17-2023 untuk mendegradasi kedudukan dan peran Konsil Kedokteran dan Konsil Tenaga Kesehatan ini dari sebuah Lembaga Negara yang anggotanya merupakan representasi Civil Society terkait bidang layanan kesehatan, menjadi sebuah lembaga pembantu menkes yang keanggotaannya tidak lagi representasi dari Civil Society, melainkan petugas menkes. Untuk itulah maka UU 17-2023 ini memang harus disusun tanpa melibatkan masukan (meaningful participation) dari para organisasi profesi (OP) yang menaungi Nakes Indonesia. Sebagai pemangku kepentingan dan pihak terdampak utama, sudah layak bila lima OP terbesar yang menaungi Nakes Indonesia (IDI, PDGI, PPNI, IBI, dan IAI) mengajukan Judicial Review UU 17-2023 ini baik secara Uji Formil dan Uji Materiil.
Pengangkatan "Teman" Menkes
Upaya Menkes Terawan merusak dan menghancurkan tatakelola nakes ini semakin diperburuk dengan bertindak nepotis yaitu mengangkat seorang ‘teman menkes’ yang bukan klinisi/ tidak pernah berpraktek sebagai dokter sebagai ketua Konsil Kedokteran. Hal ini jelas melanggar ketentuan pasal 18 UU 29-2004 terkait syarat untuk diangkat menjadi anggota KKI salah satunya adalah “pernah melakukan praktek kedokteran paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki STR dokter atau dokter gigi” (ketentuan ini tidak berlaku bagi wakil dari masyarakat). Meskipun terjadi pergantian menteri, tapi tidak pernah ada koreksi atas keputusan yang jelas salah dan nepotis tersebut.
Belakangan kita terhenyak ketika turun SK Mendikbud Ristek No. 48674/M/07/2023 yang mencabut jabatan akademik profesor a/n. ‘teman menkes’ tersebut (Kemendikbud Ristek memiliki bukti adanya ‘fraud’ terkait data jenjang karir ybs). Selaku pengusung dan pengusul ‘teman menkes’ tsb. sampai mendapatkan Keppres selaku ketua KKI (dengan gelar profesor), seharusnya Terawan ikut bertanggung jawab atas adanya ‘fraud’ atau pemalsuan data tsb. karena akibat dari keteledorannya, negara dan bangsa ini telah dirugikan dan dipermalukan.
Semoga ulasan ini membuka mata semua nakes dan masyarakat umum yang terkait dengan pelayanan kesehatan, dalam memahami semua peristiwa terkait kegaduhan dalam tata kelola nakes yang terjadi dalam kurun waktu 2020 hingga saat ini. Meski akhirnya disahkan dan berlaku, UU 17-2023 memiliki banyak cacad dan kekurangan, mulai dari proses yang menegasikan meaningful participation, adanya penolakan yang dilakukan oleh nakes dan koalisi masyarakat sipil (https://laporcovid19.org/post/tolak-ruu-kesehatan-omnibus-law-hasil-permufakatan-jahat-pemerintah-dengan-dpr), sampai Judicial Review yang sedang diajukan oleh koalisi 5 OP (IDI, PDGI, PPNI, IAI, dan IBI).
Semoga semua Nakes Indonesia tetap bersatu-padu dan konsisten (istiqomah), dalam perjuangannya mempertahankan kemandirian kewenangan Konsil Kedokteran dan Konsil Keperawatan demi bisa memberikan layanan kesehatan terbaik bagi bangsa. Rakernas IDI yang saat ini sedang berlangsung di Kendari merupakan sebuah bagian dari upaya untuk tetap konsisten memberikan yang terbaik bagi bangsa ini dan melawan kesewenangan penguasa untuk mengkooptasi dan menekan kemandirian profesi para Nakes.
#Zainal Muttaqin, Praktisi Medis, Dosen dan Guru Besar FK Universitas Diponegoro
Editor: Ariful Hakim