Ceknricek.com--Pengalaman tentang pendidikan dokter spesialis tentu hanya bisa diceritakan oleh mereka yang pernah mengalami suka duka menjalaninya. Di negeri manapun di dunia ini, pendidikan dokter spesialis jelas bukan cuma mendidik keterampilan psikomotor seperti pendidikan vokasi yang biasa dilakukan di Balai Latihan Kerja atau BLK.
Pendidikan dokter spesialis juga bukan sekedar mengajarkan keterampilan profesi, tapi ada ilmu yang harus dikuasai secara komprehensif (body of knowledge). Ada etika keilmuan dan etika serta disiplin profesi yang melekat, serta harus menjaga ‘patient safety’ sesuai dengan prinsip dasar ilmu kedokteran yaitu ‘Do No Harm’ (tidak boleh seorangpun mengalami cedera saat berupaya mencari pertolongan medis).
Karena pekerjaan dokter terkait dengan upaya menyelamatkan manusia dari penyakit, maka untuk menjaga keluhuran dan martabat profesi serta kepercayaan masyarakat penerima layanan, diperlukan landasan etik dan moral agar jasa dokter itu tidak menjadi upaya bisnis perdagangan atau jual beli yang memanfaatkan orang sakit sebagai objek untuk mencari keuntungan (hal ini jelas berbeda secara diametral dengan bisnis seorang bankir yang seolah-olah menolong orang padahal mencari rente atau bunga bank). Tempaan proses pendidikan dengan segala suka dan duka bahkan tetesan air mata itulah yang akhirnya membentuk pribadi tangguh dengan moral yang luhur para pejuang kemanusiaan tersebut.
Sebagaimana terukir dalam sejarah, pendidikan dokter zaman Stovia telah menghasilkan banyak tokoh yang kelak jadi bagian dari founding fathers bangsa ini. Model pendidikan dokter spesialis yang selama ini kita anut di era pasca kemerdekaan juga telah banyak menghasilkan para dokter spesialis pengabdi negeri seperti Dr. Siti Fadilah, Spesialis Jantung (ex Menkes); Dr. Nafsiah Mboi, Spesialis Anak (ex Menkes, ex Direktur WHO bidang Gender & Women’s Health); Dr. Melly Budhiman, Psikiater Anak (pendiri Yayasan Autisme Indonesia); Prof. Dr. Nila Moeloek, Spesialis Mata (ex Menkes, utusan khusus Presiden untuk Millenium Development Goals); Prof. Dr. Sri Rezeki, Spesialis Anak (pejuang imunisasi bayi dan anak, perintis Posyandu, dan ketua ITAGI); Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, Spesialis Anak (ketua tim peneliti dan tim uji klinis vaksin Covid-19 Bio Farma dan Unpad), Prof. Dr. Amin Subandrio, Spesialis Mikrobiologi Klinik, Ex kepala Lembaga Eijkman, dan terlalu banyak lagi yang tidak bisa disebut satu persatu.
Di dalam pendidikan militer diperlukan penggemblengan mental maupun fisik yang betul-betul keras dan ketat karena tantangan yang akan dihadapi para prajurit tersebut saat menghadapi musuh di medan tempur. Beratnya latihan tentu akan berbeda bagi prajurit biasa dengan calon anggota pasukan khusus seperti Kopassus, Paskhas, dan Marinir. Demikian pula dalam pendidikan dokter dan dokter spesialis, para peserta didik ditempa untuk melakukan yang terbaik guna menyelamatkan pasiennya. Resiko dari kesalahan tindakan yang dianggap sepele, atau keterlambatan penanganan beberapa menit, bisa saja berakibat terjadinya cacat yang menetap sampai hilangnya nyawa pasien. Bisa jadi upaya membentuk sikap disiplin dan tanggung jawab yang bersifat zero tolerance ini bisa dipersepsikan sebagai bentuk bullying.
Kewajiban untuk datang di pagi buta karena harus mencatat perkembangan kondisi pasien yang harus dilaporkan pada jam 07.00; kewajiban menghidupkan HP 24 jam dan mengangkat telepon dari senior adalah bentuk latihan tanggung jawab, karena kelak tanggung jawab dokter yang merawat pasien di RS tidak dibatasi oleh waktu/ jam kerja.
Saat tiba jam istirahat, tiba-tiba ada pasien gawat yang perlu penanganan emergensi, tentu akan membuat seorang peserta didik tidak bisa pulang sesuai jadwal, ini semua bagian dari proses pendidikan. UU 29-2013 (UU Dikdok) pasal 31 sudah mengatur tentang hak peserta didik untuk memperoleh waktu istirahat, yang diperlukan adalah peraturan pelaksanaannya.
Benarkah model pendidikan dokter spesialis yang kita anut saat ini sarat dengan bullying? Sehingga dunia medsos dalam satu bulan ini penuh dengan narasi kasus-kasus bullying yang dengan sengaja diamplifikasi termasuk oleh seorang menkes.
Melihat orkestra paduan suara para buzzer terkait bullying dalam pendidikan dokter spesialis, terbaca adanya upaya sistematis, masif dan terstruktur yang bertujuan untuk membangun opini publik betapa buruknya wajah pendidikan dokter spesialis model university based yang ada saat ini. Meskipun disebut university based, model ini sebenarnya dikelola bersama oleh Fakultas Kedokteran (FK), RS Pendidikan (RSP), dan Kolegium bidang ilmu (KBI, sebuah badan otonom dari Organisasi Profesi atau OP).
Kalau tuduhan itu benar, tidaklah mungkin dihasilkan para pejuang kesehatan seperti dr Amira Abdat, Sp OG di Fakfak, atau dr Carolina Kuntardjo, Sp B di Jakarta, dr Tomy Dharmawan Sp BTKV, DR. dr. Sumy Hastry, Sp F. (Kombes Pol, Kabid Dokkes Polda Jateng, pakar DVI/ Disaster Victim Identification); Dr. Franklin Shimano, Sp BS (bertahan di Sulawesi Tengah sejak sebelum gempa Palu), dan ribuan lagi.
Bullying dalam pendidikan kedokteran, khususnya pendidikan spesialis adalah sebuah fenomena global, dengan angka kejadian yang kecil dengan batasan yang tidak jelas yang dipengaruhi oleh budaya lokal maupun waktu kejadian (time frame).
Di Amerika, bullying ini dialami oleh 13,6% peserta didik program dokter spesialis, dan 4% bahkan berupa sexual bullying (Moves Medicine, Nov.14, 2019). Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan-pun angka bullying mencapai 11,3-18,1% (https://doi.org/10.1348/096317909X481256). Di sisi lain terjadi juga bullying terhadap dokter oleh pasien dan/ atau keluarganya, yang angkanya mencapai 25% (Australian Health Review, https://doi.org/10.1071/AH11048).
Semua institusi pendidikan dokter spesialis sudah punya peraturan yang ketat dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus bullying, dengan hukuman sampai pemberhentian kepada para pelakunya. Hal ini terlihat jelas dari surat keputusan dari Dekan maupun Rektor pemilik program studi dokter maupun dokter spesialis, beberapa contoh antara lain:
- FK USU: SE Dekan FK USU No. 668/ UN5.2.1.1/ SPB/ 2020 tentang Pencegahan Bullying dan Sexual Harassment di Lingkungan PPDS FK Universitas Sumatera Utara.
- FK Unhas : SK Rektor No. 1595/UN4/05.10/2013, tentang tata-tertib kehidupan Kampus, dan Peraturan Senat Akademik No. 46919/UN.2/IT.03/2016 tentang Kode Etik Mahasiswa Universitas Hasanuddin.
- FK UI: SK Rektor No. 14/2019, yang dijabarkan lebih lanjut dengan SK Dekan FKUI No. 714/UN2.F1.D/HKP.02.04/2018 tentang Tata Krama Kehidupan Kampus FKUI dan SK-444/UN2.F1.D/HKP.01.04/2020 dan diperbaharui SK-367/UN2.F1.D/HKP.02.04/ 2023 tentang Pencegahan Perundungan di Lingkungan Pendidikan Kedokteran FKUI & RSP.
- FK Unri : SK Dekan FK Unri No. 1148.a/UN19.5.1.18/U/2015 tentang kode etik dan disiplin mahasiswa FK Universitas Riau.
- FKKMK UGM: SKB Dekan, Dirut RSUP Dr. Sardjito, dan Dirut RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro, tentang Pedoman Menciptakan Lingkungan yang Supportif, tanggal 11 November 2019.
- FK Undip: Peraturan Rektor No. 28-2016 tentang Kode Etik Mahasiswa Universitas Diponegoro, dan Peraturan Rektor No. 13-2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Universitas Diponegoro.
Jelas bahwa semua Institusi Pendidikan Dokter Spesialis telah secara aktif memelihara dan menjaga Kode Etik Civitas Akademika dalam kehidupan kampus, termasuk di RS Pendidikan, jauh sebelum ada Instruksi Menteri Kesehatan tentang bullying tersebut, bahkan sebelum kehadiran menkes yang sekarang ini.
Bullying atau perundungan ini akan selalu ada dalam proses interaksi sosial baik di dalam maupun di luar institusi pendidikan. Perundungan terjadi karena ada pihak yang memiliki relasi kuasa, yang ingin mempertontonkan kelebihan atau kekuasaannya (opportunities to exercise power) kepada kelompok yang lebih rentan (bisa murid/ siswa/ taruna, maupun pegawai/ pekerja/ karyawan).
Di institusi pendidikan, kejadian perundungan yang sampai menimbulkan korban cacat bahkan meninggal lebih sering diberitakan terjadi di institusi pendidikan kedinasan seperti STPDN dan beberapa politeknik perhubungan laut. Banyak juga dilaporkan perundungan di sekolah mulai SMU, SMP, bahkan di sekolah dasar maupun di institusi pendidikan keagamaan/ pesantren (silahkan tulis ‘bullying’ di mesin pencari google dan akan muncul banyak info tentang ini).
Semua narasi menkes yang bersifat tuduhan terkait IDI (pemerasan dalam pengurusan STR maupun SKP), maupun terkait bullying (pemalakan peserta didik oleh seniornya dan/ atau dosennya) yang tidak pernah diklarifikasi kebenarannya, sebenarnya bisa digolongkan dalam bentuk bullying verbal (lampiran IMK N0. HK.02.01-Menkes/1512/2023 Bab II No. 2: tindakan mempermalukan, merendahkan, mencela/ mengejek, dan sarkasme, dan menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya).
Terkait dengan relasi kuasa yang melandasi setiap peristiwa bullying, ada Surat Edaran (SE) dirjen yankes No. HK.01.01/D/ 4902/ 2023, tg. 11 April 2023 tentang RUU Kesehatan. SE ini juga bisa digolongkan dalam bullying verbal karena isinya bernada ‘mengancam’ seluruh ASN di lingkungan satker dan BLU di lingkungan kemenkes (point No. 5 : “Ketidakpatuhan terhadap hal-hal tersebut di atas akan dilakukan pembinaan secara administrasi”). Tindak lanjut SE ini berupa pemanggilan, pemberian Surat Peringatan, pemindah-tugasan, sampai pemberhentian nakes yang berbeda pendapat atau yang melakukan kritik saat pembahasan RUU Kesehatan adalah bentuk bullying yang nyata.
Meskipun ada kekurangan terkait daya tampung/ penerimaan peserta didik yang terbatas, model pendidikan university based ini adalah sebuah best practices dengan pemenuhan pelbagai standar yang sudah sah tertuang dalam lembaran negara RI, dengan kualitas lulusan yang juga betul-betul dijaga oleh masing-masing kolegium bidang ilmu. Masyarakat harus tahu bahwa tidak ada institusi yang lebih tahu atau lebih bisa mengelola standar-standar terkait pendidikan spesialis ini selain KBI yang terdiri atas para profesor bidang ilmu terkait dan para pengelola program pendidikan dokter spesialis ilmu terkait, dan bukan sekedar ‘ahli bidang kesehatan’ maupun ‘ahli bidang pendidikan’ sebagaimana tertulis dalam pasal-pasal UU Kesehatan yang baru disahkan.
Sampai saat tulisan ini dipublikasikan, Universitas di Fakultas Kedokteran adalah tuan rumah dan pemilik sah dari semua program pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang ada, dan secara administratif membawahi semua peserta didik PPDS. Munculnya menkes dengan membawa Instruksi Menkes (IMK) no. HK.02.01/Menkes/1512/ 2023 tentang bullying ini mirip sebuah komedi putar yang lucu bahkan konyol saat ada tamu yang tidak diundang tiba-tiba nyelonong masuk dan menawarkan, bahkan memaksakan aturan yang sebelumnya sudah ada.
Kalau kita bisa tarik benang merah dari parade paduan suara para buzzer terkait issue bullying dengan menkes sebagai dirigen, jelas terbaca upaya ini ditujukan untuk menghancurkan trust atau kepercayaan masyarakat kepada sistem pendidikan dokter spesialis yang sekarang berjalan untuk kemudian menggantinya dengan model pendidikan spesialis yang digagas menkes yang masih coba-coba, apapun namanya. Yang lebih berbahaya, narasi sesat yang cenderung fitnah tersebut bisa menghancurkan kepercayaan masyarakat kepada dokter Indonesia yang seolah lahir dari sistem pendidikan yang kotor, penuh dengan bullying dan cenderung tanpa etik maupun disiplin profesi.
Kesimpulannya, apapun tujuannya, amplifikasi dan orkestrasi issue bullying ini benar-benar kontra produktif terhadap upaya pembangunan nasional bidang kesehatan, khususnya terkait dengan sistem pendidikan dokter spesialis. Hilangnya trust masyarakat terhadap dokter juga berpotensi semakin memporak-porandakan sistem pelayanan kesehatan yang ada dengan segala kekurangannya. Jelasnya, kehadiran menkes dengan IMK tentang bullying ini selain bersifat destruktif, adalah bak upaya cawe-cawe seorang pahlawan kesiangan.
#Zainal Muttaqin., MD., Ph.D, (Spesialis Bedah Saraf, Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip)
Editor: Ariful Hakim