Oleh Zainal Muttaqin, MD., Ph.D.,
09/14/2023, 21:41 WIB
Ceknricek.com—Dalam Pembukaan UUD 1945 jelas tertulis bahwa salah satu tujuan didirikannya negara ini untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya, pasal 28 H ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, serta berhak memperoleh layanan kesehatan.
Hak rakyat atas layanan kesehatan juga tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) pasal 25: “Setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya”.
Peran negara tertuang dalam Pasal 34 ayat 3 yang menyatakan bahwa negara bertanggung-jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Layanan kesehatan tidak bisa terlaksana tanpa kehadiran dokter dan Nakes serta sarana peralatan yang diperlukan. Penyediaan fasyankes yang layak dan sarana yang memadai tidak akan berguna tanpa ada dokter dan nakes dengan kompetensi yang sesuai.
Di daerah, banyak dokter spesialis yang tidak bisa bekerja karena tidak tersedianya fasilitas dan sarana kerja yang dibutuhkan. Sebaliknya ribuan Puskesmas pernah menerima peralatan Inkubator bayi yang akhirnya menjadi fosil karena tidak ada dokter spesialis anak, atau peralatan yang menjadi rusak karena aliran listrik yang tidak tersedia 24 jam.
Setelah merdeka selama lebih dari 78 tahun, distribusi dokter dan nakes masih menjadi persoalan krusial yang terus terulang dan tidak pernah terselesaikan.Tidak hadirnya layanan spesialistik di banyak daerah adalah bentuk ketidak-adilan sosial, karena semua orang bayar iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), tetapi layanan spesialistik hanya bisa dinikmati oleh masyarakat perkotaan.
Sekitar tahun 2000 ada program pengadaan 7 spesialis dasar dan penunjang untuk 514 RSUD Kabupaten/Kota. Sampai saat ini 23 tahun berjalan, sudah 7 Menkes silih berganti, 5 kali pemilu, tapi hampir separohnya (40,8%) belum terisi. UUD 1945 jelas menyatakan bahwa kegagalan ini adalah tanggung jawab kementerian kesehatan sebagai kepanjangan tangan negara, sekali lagi bukan tanggung jawab masyarakat apalagi organisasi profesi. Menkes tidak bisa lepas tanggung-jawab atas kegagalan distribusi dokter dan nakes ini dengan mengkambing-hitamkan Organisasi Profesi (OP) kesehatan.
Kegagalan lain terkait distribusi nakes adalah tidak tercapainya pemenuhan tenaga kesehatan sesuai standar untuk puskesmas yang hanya mencapai 56% dari target sebanyak 83% jumlah puskesmas berdasarkan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 (https://katadata.co.id/yuliawati/berita/647dba44ad349).
Menurut Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dari 10.292 puskesmas, ada 3285 (31,6%) Puskesmas yang tidak punya dokter gigi (https://databoks.katadata.co.id), padahal produksi dokter gigi saat ini mencapai 2500 orang setiap tahun. Hanya menkes dan jajarannya yang paling tahu kenapa para dokter gigi tidak mau atau tidak bisa ditempatkan di 3285 Puskesmas tersebut.
Kehadiran UU No. 17-2023 yang penyusunannya setengah dipaksakan, dengan menegasikan meaningful participation dari kelompok terdampak, dinarasikan oleh menkes untuk mengatasi masalah distribusi nakes yang katanya terhambat oleh kehadiran OP.
Benarkah UU No.17-2023 yang mengusung konsep transformasi layanan kesehatan dan kedokteran presisi akan bisa menyelesaikan masalah karut marutnya distribusi nakes? Benarkan kehadiran Elon Musk untuk meng-internet-kan seluruh Puskesmas akan menyelesaikan target pemenuhan Nakes sesuai Standar Puskesmas?
Menkes mesti tahu bahwa pasien sakit gigi tidak bisa dilakukan cabut gigi via zoom. Jadi menghadirkan dokter gigi di Puskesmas akan jauh lebih bermanfaat bagi pemenuhan hak kesehatan rakyat yang menjadi tanggung jawab Menkes, bukan Elon Musk.
Bagaimana dengan tanggung-jawab atas kesejahteraan Dokter dan Nakes? Setiap tahun selalu ada berita tentang para pejuang kemanusiaan yang terpaksa berunjuk rasa karena diperlakukan secara tidak manusiawi oleh otoritas kesehatan setempat.
Awal Januari tahun ini, RSUD Chasan Boesoirie di Ternate, Maluku Utara tidak bisa memenuhi hak Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) selama 15 bulan untuk 700 Nakes ASN, 200 Nakes Non-ASN, serta 20 dokter kontrak (https://indotimur.com/kesehatan/).
Awal Juli 2023 lalu, Dokter Spesialis dan Nakes di RSUD Namlea, Pulau Buru menyatakan mogok kerja karena TPP nya tidak dibayarkan selama 11 bulan (https://trans7/official/redaksi). Tidak berapa lama kemudian menyusul demo para dokter spesialis RSUD Jayapura, RSUD Abepura, dan RSJ Abepura terkait penerimaan TPP yang tidak sesuai dengan Pergub (https://www.kompas.tv/regional/438591).
Dua minggu sebelumnya, demo serupa terjadi di RSUD Sele Be Solu, Kota Sorong, karena insentif yang tidak dibayarkan selama 5 bulan. Mogok kerja para dokter umum, dokter spesialis dan dokter gigi juga terjadi awal September 2023 di RSUD Soe di Kabupaten Timor Tengah Selatan, lagi-lagi karena Tunjangan Kelangkaan Profesi yang tidak dibayarkan selama 6 bulan. Persoalan serupa ternyata juga terjadi di propinsi Aceh, di RSUD Subulussalam awal bulan September ini (https://linear.co.id/sejumlah-dokter-spesialis-di-rsud-subulussalam-mogok-kerja/).
Hampir semua persoalan pengabaian hak kesejahteraan nakes tersebut muncul di saat masih ada anggaran kesehatan wajib sebesar 10% dari APBD. Atau bisa jadi hilangnya anggaran kesehatan wajib baik di APBN maupun APBD akan berdampak pada semakin terabaikannya hak-hak nakes. Lalu bagaimana nasib sekitar satu juta Nakes honorer di berbagai daerah yang digaji jauh di bawah UMR. Terabaikannya hak nakes sebagai manusia ini tentu akan semakin mempersulit upaya memperbaiki distribusi dokter dan nakes ke daerah yang membutuhkan.
Memang secara struktural Menkes tidak punya tanggung-jawab atas nasib nakes di daerah. Persoalan nakes di daerah merupakan urusan pemerintah daerah, tapi dalam UU No. 17-2023 tidak satupun ada pasal yang mengatur kesejahteraan Nakes, dan tidak satupun ada pasal yang mengatur perubahan otonomi daerah terkait karir dan kesejahteraan nakes di daerah. Sebagai orang yang paling bertanggung-jawab atas berlakunya UU Kesehatan ini, kalaupun tidak di dunia ini, kelak yang bersangkutan pasti akan diminta tanggung-jawabnya oleh para nakes yang hak-haknya terabaikan, Naudhubillahi min Dzalik.
Zainal Muttaqin, M.D., Ph.D., Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Editor: Ariful Hakim