Ceknricek.com -- Bagi orang Medan, nama Letnan Jenderal Jamin Ginting sudah tidak asing lagi karena diabadikan sebagai nama jalan sejauh 80 kilometer yang membentang dari Padang Bulan, Medan dan Kabanjahe, Ibu kota Tanah Karo.
Salah satu Pahlawan Nasional yang tutup usia tepat hari ini 45 tahun silam, 23 Oktober 1974, memiliki kisah menarik saat "perang saudara" Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) bergolak di Sumatera pada tahun 1958.
Lulusan Giyugun buatan Dai Nippon itu tetap memihak kepada pemerintah pusat (Jakarta) meskipun nyawa menjadi taruhannya ketika PRRI menyatakan perlawanan dengan dibentuknya Dewan Perjuangan yang terdiri dari beberapa perwira Militer.
Merintis Karier di Militer
Nama lengkapnya Djamin Ginting Suka. Lahir di Desa Suka, Tanah Karo, 12 Januari 1921. Ayahnya Lantak Ginting Suka adalah seorang penghulu desa yang kemudian membuat Ginting kecil dapat mengenyam pendidikan Belanda di masa kolonial. Kelak, ia juga menyingkat namanya menjadi Ginting.
Djamin mengawali karier militernya di zaman pendudukan Dai Nippon, Jepang. Tahun 1943, dia mengikuti pelatihan perwira militer tentara sukarela, Giyugun. Mengutip Tirto, menurut catatan Mestika Zed dalam Giyugun: Cikal Bakal Tentara Nasional di Sumatera (2005:197), Djamin Ginting masuk dalam Giyugun Sumatera Timur yang dilatih di Siborong-borong.
Dalam pelatihan militer itu dia juga satu angkatan dengan Ahmad Tahir, Ricardo Siahaan dan Boyke Nainggolan. Pada Oktober 1944, pangkatnya adalah Jun-I, setara dengan Letnan. Hingga satu tahun kemudian, Revolusi Fisik pecah di Indonesia (1945-1949), Djamin memilih untuk membela Republik Indonesia. Saat itu ia juga berperan dalam pembentukan sekolah Kadet Perwira di Brastagi pada September 1945.
Sumber: Istimewa
Selama menjalani karier di dunia militer, Djamin pernah menjabat sebagai Komandan Tentara Resimen rakyat Indonesia (TRI) di Brastagi. Selama menjadi Komadan Resimen inilah, Djamin kemudian kesohor dengan panggilan “Pak Kores”. Artinya, Pak Komandan Resimen.
“Begitu populernya panggilan ini, sehingga kelak meski Komandan Resimen sudah diganti Komandan Brigade, panggilan Pak Kores tetap melekat pada suamiku,” tutur istri Djamin, Likas Tarigan kepada Hilda Unu-Senduk dalam Perempuan Tegar dari Sibolangit.
Sumber: Istimewa
Tahun 1956, Djamin kemudian diangkat menjadi Panglima Kodam TT I/Bukit Barisan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel Abdul Haris Nasution, menggantikan mantan atasannya, Kolonel Maludin Simbolon yang mengundurkan diri pada 1956 untuk kemudian bergabung dengan PRRI.
Baca Juga: Mengenang Radjiman Widyodiningrat, Dokter Cemerlang Indonesia
Saat itu, Nasution menentukan wilayah Bukit Barisan hanya mencakup Sumatra Utara. Sementara itu, untuk wilayah Aceh dan Sumatera bagian tengah akan dibentuk Kodam baru di kemudian hari. Jabatan Panglima TT I Bukit Barisan diemban Djamin Ginting sejak 1956 hingga 1961.
Setia Pada Pemerintah Pusat
Ketika di Sumatera terjadi kemelut yang berujung pada pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Djamin Ginting yang saat itu menjabat panglima sempat mengungsi ke Brastagi pada tahun 1957, hingga akhirnya Nasution turun tangan.
Apa yang terjadi di wilayah penugasannya adalah warisan buruk yang harus diterima Djamin Ginting pada saat itu. Sebagai panglima baru, ia memang sulit mendapat dukungan dari koleganya yang sama-sama berasal dari Tapanuli. Hal ini sepertinya lumrah terjadi di kalangan militer, terlebih dalam keadaan “perang saudara”.
Setelah pasukan dari Jawa dikirim ke Sumatera Utara, PRRI melemah dengan cepat. Akhirnya, pemberontakan PRRI/Permesta dapat diselesaikan pada bulan Agustus 1958 dan pada 1961 pemerintah membuka kesempatan bagi sisa-sisa anggota Permesta untuk kembali Republik Indonesia.
Sumber: Istimewa
Tahun 1959, TT I Bukit Barisan kemudian diubah namanya menjadi Kodam Bukit Barisan, Djamin Ginting pun tetap menjadi panglimanya. Dia yang tetap setia pada pemerintah pusat itu memangku jabatan tersebut selama 6 tahun, dari tanggal 27 Desember 1956 hingga 04 Januari 1961.
Dalam sejarah kariernya, Djamin termasuk panglima daerah yang cukup menonjol di kalangan pemerintah pusat. Tahun 1962, setelah masa jabatannya sebagai panglima habis, ia dipanggil oleh Menteri Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani ke Jakarta. Djamin dipersiapkan untuk mengisi pos asisten II di bidang operasi dan latihan.
Namun seturut dengan naiknya Soeharto menjadi presiden setelah tragedi berdarah 1965, karier Djamin mulai meredup di era yang kemudian disebut Orde Baru ini. Sebagaimana diungkapkan Sayidiman dalam Historia, kiprah Djamin Ginting kurang begitu disukai oleh pemerintahan. Posisinya di staf Umum AD kemudian digantikan oleh Soemitro.
Baca Juga: R.E Martadinata, Panglima Angkatan Laut yang Tewas di Udara
Sumber: Istimewa
Tidak lama sesudah itu, ia sempat bergiat di bidang politik dalam partai bergambar Pohon Beringin alias Golongan Karya. Ia juga sempat menjabat sebagai anggota DPR dan duduk dalam Komisi II merangkap Ketua Diskusi Luar Negeri pada tahun 1971.
Satu tahun berjalan setelah masa pengabdiannya, pada tahun 1972, Presiden daripada Soeharto melantik Djamin Ginting sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh untuk Kanada. Sebagaimana diketahui "didubeskan" di era ini sama saja dengan menerima nasib pembuangan karena dianggap tidak sejalan dengan visi misi Orde Baru.
Likas Tarigan, istrinya pun mengungkapkan penugasan suaminya itu sebagai masa kelabu dalam hidup suaminya. Sebagai tentara, Ginting agak tak ikhlas menerima tugas untuk ditempatkan di dekat belahan dunia bagian utara itu, dan berharap kembali ke Indonesia. Namun sepertinya disitulah ujung pengabdiannya.
Sumber: Merdeka
Tidak lama setelah berada di Kanada, Djamin tutup usia dalam umur 53 tahun. Harian Kompas, 24 Oktober 1974 memberitakan Djamin meninggal pada hari Rabu sore pukul 15.30 waktu Kanada setelah menderita penyakit darah tinggi.
Baca Juga: Sepak Terjang Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani
Dari Ottawa, jasad Djamin diberangkatkan ke Jakarta untuk kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pada 2014, Presiden Joko Widodo menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepadanya karena kesetiaannya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber: Satu Harapan
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Farid R Iskandar