Ceknricek.com--Banyak mahasiswa, ketika diminta menulis paper pendek tentang embedded, mengelirukannya dengan wartawan ngepos. Ini dua hal yang berbeda. Wartawan ngepos itu istilah jurnalistiknya “mengikuti beat”, dia meliput yang menjadi “beat”/iramanya, bidangnya. Ini diwujudkan dalam format wartawan Pokja (kelompok kerja), yang biasanya ada di kantor DPR, Gubernuran, Kabupaten, Istana Negara, Bursa Efek, Pengadilan, KPK, Kepolisian, Kementerian, dll. Semakin lama wartawan ngepos di posnya ini, ada dua akibatnya: wartawan makin menguasai persoalan dan menjadi lebih pintar dari nara sumbernya, atau wartawan menjadi kaki-tangan atau corong narasumber.
Yang pertama: bayangkan seorang wartawan yang ngepos 10 tahun lebih di tempat yang sama. Bahkan menteri dan anggota DPR pun berganti setidaknya setiap lima tahun. Wartawan yang pengetahuannya lebih banyak ini bisa menjadi pembisik, bahkan bisa menulis berita tanpa wawancara, yang dikutip tidak keberatan, malah berterima kasih.
Yang kedua: wartawan yang sudah 10 tahun berada di lingkungan Bursa Efek, Istana Negara, atau Kantor Polisi, bisa menjadi humas, memberitakan yang baik-baik saja, dan kehilangan daya kritis. Tidak peka. Skandal Watergate yang melengserkan Presiden Nixon (AS) adalah kinerja wartawan yang tidak pernah menjejakkan kakinya di Gedung Putih. Puluhan wartawan Gedung Putih tidak peka pada penyelewengan Presiden Nixon, bahkan cenderung meremehkan investigasi dua jurnalisWashington Post dari luar pagar Gedung Putih.
Maaf, topik kali ini tentang embedded. Embedded berasal dari kata bed (tempat tidur). Jadi, istilah ini sebetulnya bernada negatif. Terjemahan bebas saya adalah “seketiduran”, semacam extra-marital sex, perselingkuhan antara wartawan dan narasumbernya/obyek beritanya. Tentu saja, kadang embedded diperlukan.Meliput di medan perang, misalnya, wartawan bisa embedded dengan tentara atau palang merah.
Tanpa embedded jurnalis bisa mengalami celaka. Keuntungan embedded: liputan aman, nyaman, terjamin (kalau di hutan atau medan perang ikut tentara bisa makan 3 kali sehari dengan menu 4 sehat 5 sempurna). Kelemahan embedded: nara sumbernya satu sisi dan tidak mudah mengakses sumber di luar yang ditumpanginya.
Di era GAM vs ABRI di awal tahun 1990a-an, wartawan Ersa Siregar dan Ferry Santoro dari RCTI menolak embedded bersama ABRI, melakukan liputan independen. Berita-beritanya memang menjadi sangat eksklusif, bisa wawancara langsung dengan komandan GAM. Namun itu dibayar dengan nyawanya. Ersa tewas dalam baku tembak antara GAM vs ABRI, kameramannya Ferry Santoro selamat (2003).
Wartawati dan kameraman Metro TV, Meutya Hafid dan Budiyanto,yang meliput di Irak secara independen disandera gerilyawan di Irak (2005). Mereka selamat. Wartawan Wall Street Journal, Daniel Pearl, yang meliput independen di Pakistan, dipenggal kepalanya dan rekaman videonya disebarluaskan (2002).
Di era Presiden Gus Dur pernah ada kebijakan media yang akan ikut kunjungan ke LN harus biaya sendiri. Alhasil, hanya Kompas, Tempo, RCTI yang mampu melakukannya. Tanpa embedded,jurnalis yang meliput kunjungan ini bisa memberitakan secara obyektif. Kebijakan unik Presiden Gus Dur ini diprotes banyak media, sehingga dicabut.
Business as usual, para wartawan (jumlahnya bisa belasan orang) ikut rombongan presiden dan meliput secara embedded, dijamin sepenuhnya. Pertanyaannya: bila Anda wartawan Kepolisian, bisakah Anda meliput kasus Joko Tjandra-Kepolisian RI secara kritis dan obyektif? Sepertinya untuk kasus ini, para wartawan di Mabes Polri harus dirotasi oleh pemrednya.
Sirikit Syah, pengajar dan pengamat media
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini