Ceknricek.com--Harga eceran BBM (bahan bakar minyak) di Malaysia memang paling murah. Sebab, yang harganya dibandingkan antar negara-negara dunia, adalah jenis RON95. Setara dengan Pertamax Plus yang sejak awal pemerintahan Joko Widodo, sudah tidak lagi disubsidi. Tapi diperjual-belikan di pasar sesuai harga keekonomiannya. Sementara di Malaysia, BBM yangg mereka subsidi adalah jenis RON95. Produk yang dijual dengan harga pasar di sana, merupakan jenis RON97. Kualitasnya yang jauh lebih tinggi dan tak dimiliki Pertamina.
RON adalah singkatan dari research octane number. Menunjukkan jumlah ketukan yang berhubungan dengan tekanan pada ruang pembakaran (combustion chamber). Kaitannya dengan kualitas BBM. Bukan, atau belum tentu, terkait kinerja mesin. Sebab hal itu tergantung rancangan pabrik terhadap mesin yang diproduksinya. Ada kendaraan yang memang disiapkan untuk BBM dengan kemampuan ketuk (knocking) rendah. Ada juga yang tinggi.
Boros Lingkungan
Nilai RON memang berkaitan dengan kualitas BBM. Terutama terhadap pencemaran udara yang disebabkan pembakarannya. Upaya mengurangi emisi karbon monoksida adalah salah satu alasan utama pengalihan BBM penugasan dari Premium ke Petralite. Sebab hal itu mampu mengurangi 14% emisi karbon monoksida. Pengalihan dari Pertalite ke Pertamax malah dapat menyumbang 27% lagi.
Jadi pernyataan yang lebih tepat, Malaysia memang lebih maju dibanding kita dalam hal mengurangi emisi karbon yang berdampak pada efek rumah kaca dan pemanasan global. RON95 yang disubsidinya, dikonsumsi 70% warga mereka. Kurang lebih sama dengan porsi Petralite yang dibakar masyarakat kita. Tapi tentunya lebih boros dalam hal produksi emisi carbon monoksida.
Politik Energi
Sebetulnya, konstitusi sudah menegaskan. Urusan pelayanan transportasi umum yang memudahkan publik beraktivitas, adalah tanggung jawab Negara. Tapi akibat berbagai keterbatasan, terutama anggaran dan sumberdaya, pengembangan layanan masyarakat itu, selalu jauh tertinggal di belakang. Maka opsi yang memudahkan mereka, salah satunya adalah dengan menggunakan kendaraan pribadi. Jika layanan angkutan massal umum yang handal tak mampu disediakan, maka setidaknya kemudahan menggunakan kendaraan pribadi perlu diperhatikan. Itu sebab, harga eceran bahan bakar sangat terkait dengan politik. Stabilitas ketersediaan dan harga ecerannya, perlu dikendalikan. Dari sanalah pangkal mula kebijakan subsidi -- atau anggaran penugasan yang belakangan makin kerap dipopulerkan pemerintahan Joko Widodo -- untuk BBM.
Malaysia pun melakukan subsidi terhadap BBM yang dikonsumsi masyarakatnya. Di tengah gejolak harga minyak mentah dunia yang tersebab invasi Rusia ke Ukraina belakangan ini, kas negara mereka pun ikut tergerus.
Subsidi energi yang harus disediakan Malaysia tahun ini, diperkirakan membengkak hingga RM 28 miliar. Melonjak tajam (lebih dua kali lipat) dari RM 11 milyar sebelumnya. Kita pun begitu. Dari semula Rp 134 triliun (setara MR 40 milyar), kemungkinan naik menjadi Rp297 triliun (setara RM 88 milyar).
Perkiraan subsidi Indonesia yang kini dinamakan 'jenis bahan bakar khusus penugasan' (JBKP) tersebut, kurang-lebih sama dengan jumlah yang dianggarkan SBY sebelum mengakhiri kepemimpinannya. Hal yang waktu itu tak disangka-sangka 'menguntungkan' Joko Widodo untuk mengangkat 'citra'-nya. Sebab, anggaran subsidi yang terakhir kali dialokasikan SBY itu, kemudian tak terpakai. Sebab harga minyak mentah dunia di awal pemerintahan Joko Widodo yang menggantikannya, anjlok. Kemudian, tanpa pertimbangan cukup menyeluruh dan perhitungan yang matang, mantan Walikota Solo yang sempat 2 tahun jadi Gubernur DKI sebelum terpilih sebagai Presiden RI itu, begitu saja mengalihkannya kepada pembiayaan infrsatruktur. Proyek-proyek mercu suar yang sejatinya selalu membutuhkan anggaran tahun jamak. Hal yang tak mungkin, atau sulit sekali, diselesaikan dalam waktu setahun.
Lalu, mengapa dikatakan tanpa pertimbangan menyeluruh dan perhitungan yang matang?
Pasar Minyak Mentah Dunia
Begini.
Pada tahun-tahun anggaran setelah kebijakan itu dilakukan, ruang 'alokasi subsidi BBM yang tak terpakai', tentu sudah tak tersedia lagi. Artinya, penganggaran untuk melanjutkan proyek-proyek infrastruktur perlu dilakukan langsung di APBN. Tak ada lagi 'windfall profit'. Apalagi setelah Joko Widodo dengan gagah mendeklarasikan. Bahwa Indonesia tak lagi menyediakan subsidi bagi kebutuhan BBM. Dengan kata lain, masyarakat diminta membeli sesuai harga pasar. Seperti naik-turunnya Pertamax (RON 92) dan Pertamax Plus (RON 95).
Di babak awal 'pementasan drama kesatria wong cilik' yang diperankannya waktu itu, masyarakat memang tak keberatan. Bahkan memuja kebijakan yang sebetulnya 'tak populis' tersebut. Di akhir tahun 2014 misalnya. Pemerintah menaikkan harga eceran premium dari Rp 6.500 ke Rp 8.500 per liter. Solar dari Rp 5.500 ke Rp 7.500. Berselang bulan, harga tersebut kembali diturunkan menjadi Rp 6.600. Lalu, Maret 2015 naik sedikit menjadi Rp 6.800, sebelum ditetapkan Rp 7.400.
Naik turun tersebut tentu juga berlangsung bagi BBM non-subsidi lain. Ketika itu, Pertalite yang baru diperkenalkan, termasuk dalam golongan tersebut. Tahun 2016 terjadi lagi 2 kali penurunan harga eceran Premium hingga akhirnya mencapai Rp 6.500 per liter.
Waktu terus bergulir hingga menjelang perhelatan IMF dan Bank Dunia di Nusa Dua, Bali, pada tahun 2018. Ketika itu harga minyak dunia sedang merangkak naik. Ignatius Jonan yang menjabat sebagai Menteri ESDM, kemudian mengumumkan kenaikan Premium dari Rp 6.500 ke Rp 7.000 per liter. Sebelumnya, harga Pertamax dan Pertamax Plus memang sudah bolak-baik mengalami penyesuaian.
Jonan tentu tak salah menerjemahkan kebijakan Jokowi di awal kepemimpinannya. Soal Indonesia yang tak lagi mensubsidi BBM. Termasuk Premium. Sebab, tanpa kenaikan, bahan bakar 'umat' itu tak lagi ekonomis. Konsekuensinya mulailah terjadi kelangkaan di pasar konsumen.
Tapi hanya dalam hitungan jam, menjelang pembukaan perhelatan yang dihadiri pemimpin berbagai negara dunia di Bali waktu itu, keputusan tersebut dianulir lagi. Rini Sumarno, Menteri BUMN saat itu, beralasan bahwa keuangan Pertamina sesungguhnya dalam posisi yang cukup kuat untuk menanggung gejolak harga minyak mentah dunia.
Sebelumnya, saat harga perdagangan minyak bumi anjlok, Pertamina memang sempat mencetak untung luar biasa. Sebagian besar justru disumbangkan oleh penjualan Premium. Jenis BBM terbanyak yang dikonsumsi masyarakat kita. Ketika itu, meski dijual dengan harga keekonomian, tetap masih menguntungkan Pertamina.
Tapi kita tentu memaklumi. Kenaikan BBM dalam hitungan bulan sebelum pemilihan umum dan pasangan Presiden-Wakil Presiden tahun 2019, bukanlah hal populer. Apalagi di tengah perekonomian kita yang saat itu sejatinya sedang lesu. Tersebab hantaman harga produk pertambangan dunia yang melorot. Seperti yang dialami batubara. Menyusul gonjang-ganjing harga minyak dunia sebelumnya. Padahal, pendapatan negara dan bangkitan ekonomi yang terkait dengan perdagangan sumberdaya alam primadona itu, terhadap perputaran roda perekonomian Nasional kita, masih sangat besar.
Maka Ignatius Jonan yang sebetulnya bersikap sesuai kebijakan yang ada, akhirnya harus dikorbankan. Gara-gara Joko Widodo ingin 'menjilat ludahnya sendiri'.
Pendapatan Lain-lain
Jika Joko Widodo nekad dan sumringah terhadap pemikiran membangun infrastruktur -- hanya gara-gara anggaran subsidi BBM warisan SBY di awal pemerintahannya yang tak terpakai -- tentulah terlalu naif. Dia pasti maklum jika harga minyak dunia akan terus berfluktuasi. Jika demikian, pasti ada saat pemerintahan yang dipimpinnya 'terpaksa' menyisihkan kembali anggaran Negara, untuk 'stabilisasi' jenis BBM yang terbanyak dikonsumsi masyarakat kita tersebut. Meski pun dibungkus dengan istilah yang kemudian hari kita maklumi sebagai anggaran untuk membiayai 'penugasan khusus'. Seandainya demikian, kapasitas ruang fiskal untuk membiayai kelanjutan infrastruktur, bakal terusik.
Jadi, patut belaka kita menduga, Joko Widodo dan jajaran pemerintahan yang dipimpinnya, memiliki 'sesuatu' yang dapat digunakan sebagai gantungan harapan mereka. Agar kebutuhan anggaran proyek-proyek infrastruktur yang cenderung berubah-ubah bahkan membengkak itu, tetap dapat terpenuhi.
Alkisah, SBY pula sebetulnya yang mulai mengembangkan disiplin kepatuhan pajak masyarakat Indonesia. Berbagai upaya dan inisiatif penertiban telah dimulakannya. Joko Widodo dan Yusuf Kalla kemudian meneruskan.
Tapi ada mimpi lain yang juga mulai digadang saat mantan Menko Polhukam di era Megawati itu menjadi Presiden RI. Yakni program tax amnesty atau pengampunan pajak bagi warga negara yang sebelumnya tak tertib. Bahkan menyembunyikan. Karena banyak yang ditengarai menyimpan atau menempatkan kekayaannya di luar negeri dan tak melakukan kepatuhan atas kewajiban pajak mereka.
Pemerintahan Joko Widodo kemudian merealisasikan program Tax Amneaty tersebut dengan target deklarasi kekayaan sebesar Rp 4.000 triliun. Dicanangkan ketika Menteri Keuangan masih dijabat Bambang Brojonegoro. Dalam hal ini, Si Mulyani yang kemudian menggantikannya, layaklah dinilai berhasil. Sebab realisasinya mencapai Rp 4.734 triliun.
Tapi dari target jumlah dana repatriasi yang dipatok sebesar Rp 1.000 triliun, pemerintahan Joko Widodo sebetulnya gagal. Karena hanya terealisasi Rp 147 triliun atau tak sampai 15 persen. Begitu juga dalam hal tebusan. Dari target Rp 165 triliun, tercapai Rp 135 triliun atau 82 persen.
Setelah Tax Amnesty berakhir tanggal 31 Maret 2017 itu, tingkat kepatuhan wajib pajak ternyata tak juga beranjak dari capaian pada tahun-tahun sebelumnya. Yakni sekitar 70 persen. Jauh di bawah standar yang ditetapkan OECD sebesar 85 persen.
Pemerintah memang berharap, harta yang diungkapkan sukarela melalui program tax amnesty tersebut, lalu direpatriasikan, bakal ditanamkan pada investasi dalam negeri. Tentu saja dalam berbagai bentuk obligasi dan surat hutang yang diterbitkan. Hal yang sering dikaitkan terhadap kebutuhan pembiayaan. Termasuk infrastruktur.
Penghujung Jalan Lagi
Masa kekuasaan Joko Widodo hingga jadwal Pemilu dan Pilpres 2024, tinggal belasan bulan. Tak sampai 2 tahun. Tapi sayangnya dia semakin banyak memiliki kegiatan dan program 'rawan tak tuntas'. Terutama jika tak bisa diselesaikan -- atau setidaknya dimantapkan -- hingga akhir masa jabatan dia. Apalagi kalau penggantinya nanti 'tak selera' meneruskan.
Sebut saja UU Cipta Kerja, relokasi Ibu kota Negara, dan berbagai mega proyek yang belum dapat dipastikan selesai. Kereta cepat Jakarta-Bandung, misalnya.Maka, walau bukan urusan bahkan bukan pula wewenangnya, upaya memastikan siapa pemimpin terpilih tahun 2024 yang akan datang, menjadi penting bagi Joko Widodo.
Drama-drama untuk menjaga bahkan memompa popularitasnya menjadi begitu penting. Berdasarkan minyak mentah dunia yang harganya terus bertengger di atas US 100 per barel, harga eceran BBM kita sangat patut dinaikkan. Apalagi mengacu kebijakannya yang tak ingin lagi memberi subsidi. Tapi jika langkah tersebut dilakukan -- konsekuensinya juga pada tarif monopoli PLN yang harus dibayar masyarakat -- kemungkinan besar popularitasnya yang mulai menyusut, bakal semakin berantakan.
Artinya, siapapun yang ingin 'dijagokan' Joko Widodo sebagai presiden-wakil presiden pilihan 2024 nanti, berpeluang tak laku. Anggaplah misalnya, Ganjar Pranowo. Gubernur Jawa Tengah yang dalam kasus desa Wadas terlihat tak berpihak pada wong cilik di sana. Tapi secara implisit justru digadang-gadang Joko Widodo sehingga membuat berang Ketua Umum PDIP, Megawati, dan jajaran pendukungnya.
Maka, seandainya Joko Widodo begitu saja menaikkan harga BBM hari ini -- di tengah minyak goreng kemasan yang harganya tak kunjung turun sebagaimana pula harga-harga kebutuhan pokok yang terus merayap naik -- popularitasnya kemungkinan besar bakal tersungkur. Harapan Ganjar yang tak kunjung direstui PDIP pun, semakin memudar. Sebab masyarakat sangat mudah tersadarkan. Bahwa kenyataan sesungguhnya tak seperti segala citra yang dibangun pemiliknya selama ini.
Apa boleh buat. Jika tangan mencencang maka bahu pun harus memikulnya. Tapi siapa tahu, keberanian mengunjungi Ukraina yang sedang diperangi Rusia, dengan naik kereta api saat ini, bisa menjaga popularitasnya lagi. Walau sebetulnya langkah itu amat berisiko bagi keselamatan Presiden kita yang sedang pusing tujuh ribu keliling.
Seandainya pun BBM dinaikkan, mungkin terpaksa secara malu-malu kucing. Dengan bantuan aplikasi teknologi misalnya. Hal yang tak begitu saja serta merta bisa diterapkan dengan sempurna. Hingga akhirnya menambah beban anggaran biaya penugasan khusus lagi.
Editor: Ariful Hakim