Ceknricek.com—Wartawan pasti kerap mendengar frasa ini. Ini arti harfiahnya adalah garis tebal di halaman surat kabar atau majalah, yang memisahkan antara berita dan iklan. Zaman dulu garis itu memang tebal sekali. Jelas kelihatan bedanya antara berita dan iklan. Namun makin lama garis itu menipis, bahkan di beberapa surat kabar atau majalah, sudah tak ada lagi fire wall.
Itu sebabnya,ruangan bagian iklan dan redaksi di lembaga media terpisah, bahkan lantainya pun dipisah. Kalau bisa gedungnyapun dipisah. Ini untuk menghindari pengaruh atau intimidasi dari bagian iklan kepada bagian redaksi. Pengalaman saya sebagai wartawan, mungkin pengalaman wartawan pada umumnya, seseorang dari bagian iklan memasuki ruang redaksi, berbicara dengan redpel atau pemred. Atau, dia ikut rapat redaksi, lalu menitipkan pesan“Perusahaan ini meluncurkan produk baru, sudah pasang iklan, diliput dan dimuat ya.”Ambyar pagar apinya.
Banyak kisah conflict of interest antara berita dan iklan. Saya memberi contoh dua saja. Seorang wartawan LA Times mengalami sengketa dengan sebuah bengkel mobil ternama di kotanya. Dengan jumawa sang wartawan melayangkan complain sambil membawa-bawa nama medianya. Mungkin dia berharap sang pemilik bengkel akan keder. Mendengar nama medianya, sang pemilik bengkel dengan tenang menjawab, “Oh, kami banyak memasang iklan di situ.” Pamor wartawan langsung ciut.
Tak usah jauh-jauh, di JawaTimur ada kisah pencemaran limbah oleh sebuah pabrik air minum kemasan yang sangat terkenal. Kontributor sebuah koran ternama meliput pabrik dan wilayah yang terkena pencemaran, termasuk mewawancarai petani yang sawahnya terdampak pencemaran. Berita dan foto dikirim ke kantor pusat. Beberapa hari ditunggu hingga seminggu, berita tidak muncul. Setelah ditanya, ini jawabannya.
“Kamu mau perusahaan itu mencabut iklannya? Lihat iklannya di halaman koran kita, seperempat, setengah, bahkan satu halaman. Beberapa kali dalam sebulan. Itu bisa membayar THR kita.” Lagi, berita kalah oleh pengaruh pengiklan.
Beberapa perusahaan besar (pertambangan, perminyakan) kerap memesan pariwara, iklan yang ditulis seolah feature, yang dimuat dengan posisi (placement) dan ruang (space) yang amat signifikan. Ini juga dilakukan para tokoh partai politik yang sedang maju Pilkada. Para wartawan seolah-olah menulis berita ketokohan seorang calon pemimpin. Namun agar berita tidak apa adanya, isi tulisan juga bisa dipesan.
Seharusnya tokoh bisa pasang iklan pariwara, lebih sah. Namun, baik pengiklan maupun wartawan tahu bahwa public selalu lebih percaya pada berita (atau apapun yang bentuknya seperti berita) dari pada pada iklan. Apakah pariwara adalah iklan terselubung? Pariwara adalah iklan. Berita tokoh calon dalam Pilkada bisa jadi iklan terselubung.
Bagaimana pagar api di media siaran dan media online? Karakter dan format media online agak menyerupai media cetak, sehingga seyogyanya masih bisa menerapkan garis tebal yang memisahkan iklan dengan berita. Di media siaran seharusnya jauh lebih jelas, antara program berita dan iklan. Namun di radio kita dengar talk show seolah-olah kepentingan publik, padahal isinya orang jualan. Demikian juga di TV, talk show yang 100% iklan dikemas sangat menarik sehingga pemirsa tidak menyadari bahwa itu iklan.
Memang the nature of journalism bisa terus berkembang dan berubah. Yang penting dipegang oleh para jurnalis adalah keteguhan untuk tidak menjual diri, tidak menyamarkan iklan dalam berita. Iklan yang tersamar dalam berita hanya akan mendatangkan amplop bagi jurnalis. Namun iklan yang jujur tanpa menyamar, dengan pagar api yang jelas dan tegas, akan meningkatkan pendapatan perusahaan dan kesejahteraan seluruh karyawan.
Sirikit Syah, pengamat media dan pengajar ilmu jurnalistik
BACA JUGA: Cek JURNALISTIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini