Gagal Bayar Bisa Giring Krisis Seperti 1997 | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Gagal Bayar Bisa Giring Krisis Seperti 1997

Ceknricek.com -- Ekonomi negeri ini sedang bermasalah. Krisis tengah mengintip. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, meminta perusahaan-perusahaan Indonesia untuk waspada. Peringatan ini menyusul pengumuman hasil riset Moody's Investor Service (Moody's) yang menyebut perusahaan Indonesia berpotensi besar gagal bayar (default).

Dalam riset terbaru yang dirilis akhir bulan lalu, Moody's memperingatkan perbankan di Indonesia paling rentan akibat menurunnya kemampuan perusahaan untuk mencicil kembali utang-utangnya.

Dalam laporan bertajuk "Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Conditions Worsen" tersebut, Moody's meneliti risiko kredit dari 13 negara di kawasan Asia Pasifik. Indonesia dan India menjadi negara yang terpapar risiko gagal bayar atas utang perusahaan paling tinggi.

Moody's beranggapan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tensi geopolitik menjadi momok yang dapat menekan pemasukan perusahaan dan berujung pada melemahnya kemampuan perusahaan untuk membayar utang-utangnya.

Sumber: nationalbusextra

Sebelumnya, ekonom senior Rizal Ramli menyebut Indonesia saat ini sedang berada dalam tahap creeping crisis atau sedang “merangkak” untuk sampai pada kondisi krisis. Di sisi lain, dalam laporan berjudul "Signs of Stress in The Asian Financial System", firma konsultan global McKinsey & Company menemukan, 25% utang swasta valas jangka panjang di Indonesia memiliki rasio penutupan bunga (Interest Coverage Ratio/ICR) kurang dari 1,5 kali.

Sumber: Netral News

Baca Juga: Menkeu Berharap Penurunan Bunga Acuan Segera Pulihkan Investasi

Posisi tersebut terhitung rawan karena perseroan menggunakan mayoritas labanya untuk membayar utang. Utang itu kebanyakan berasal dari sektor utilitas (pembangkit listrik dan jalan tol), dengan porsi 62%. Sektor energi dan bahan mentah menyusul dengan porsi 11% dan 10%.

Konsultan ini mengingatkan negara-negara Asia perlu mewaspadai risiko terulangnya krisis 1997. McKinsey mengingatkan sektor utilitas Indonesia dan India berpotensi memicu persoalan karena kemampuan mereka untuk membalik kinerja dan membayar kembali utangnya tidaklah mudah.

"Kini, media keuangan dan pengamat bertanya-tanya apakah kenaikan tingkat utang di Asia bisa memicu krisis yang baru. Sayangnya, tanda-tandanya terlihat mengancam, dan kesehatan sektor keuangan dan sektor riil sedang memburuk," tulis Senior Partner McKinsey Joydeep Sengupta dan Archana Seshadrinathan dalam laporan bertanggal Juli 2019.

Sumber: mckinsey

Dia menyebut, selain Indonesia dan India, kondisi buruk juga terjadi di Australia, China, dan Hong Kong. Namun, Indonesia lebih riskan karena tingkat utang negeri ini yang berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) mencapai 50% dari porsi utang yang ada, atau jauh di atas rata-rata kawasan sebesar 25%.

"Perlu kerja sama berbagai pemangku kepentingan-regulator, konsumer, pemerintah daerah dan pusat, dan perusahaan itu sendiri-sehingga upaya pemulihan menjadi tak mudah," tulis laporan itu.

Peringatan Baik

Rasio utang korporasi Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sejatinya memiliki angka terendah dibanding negara-negara lainnya. Demikian pula rasio utang terhadap pendapatan perusahaan sebelum pajak, bunga, dan depresiasi (EBITDA) juga cukup aman. Ini mengingat 47% utang korporasi di Indonesia memiliki skor rasio utang terhadap EBITDA berada di bawah 4. Angka ini jauh lebih baik dibanding 11 negara lainnya. Meskipun demikian, profil utang korporasi Indonesia sangat buruk karena kemampuan membayar utangnya menurun.

Menteri Sri menyebut riset Moody's tersebut merupakan suatu asesmen dan peringatan baik. Menurut dia, ancaman krisis global memaksa perusahaan-perusahaan untuk mengubah asumsi mereka untuk tetap bisa mencetak keuntungan. Karenanya, perusahaan juga harus memperhatikan dinamika lingkungan operasinya secara rinci. "Mereka harus meningkatkan kehati-hatian apakah kegiatan korporasi akan memunculkan stream revenue yang diharapkan seperti semula," ujarnya, Selasa (1/10).

Eksposur perusahaan terhadap pembiayaan yang dilakukan sebelumnya, seperti utang, juga akan berdampak pada biaya yang dikeluarkan, termasuk pembayaran kewajiban. Oleh karena itu, Kemenkeu akan terus memonitor perusahaan-perusahaan terus menerus, terutama perusahaan BUMN, dalam upaya mencegah terjadinya gagal bayar.

Kemenkeu juga akan memperhatikan risiko-risiko instrumen fiskal yang digunakan untuk mendukung berbagai program BUMN dalam rangka menjalankan pembangunan. "Kami juga terus melakukan observasi dan komunikasi dengan Kementerian BUMN terkait hal ini," terangnya.

Baca Juga: Menteri Sri Akhirnya Ngaku Krisis Telah Datang

Kepala Riset Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Lando Simatupang, juga mengingatkan agar pelaku industri perbankan meningkatkan kewaspadaan. Kondisi korporasi di Tanah Air yang sedang dalam tekanan dapat berdampak buruk pada kualitas portofolio kredit perbankan.

Pelaku industri perbankan perlu mempertimbangkan penerapan strategi restrukturisasi dini guna menjaga kualitas kredit. "Restrukturisasi memang bukan pilihan yang mudah, karena harus memenuhi persyaratan OJK [Otoritas Jasa Keuangan]. Namun bila alasan yang kuat, maka hal itu perlu," katanya kepada Bisnis, Rabu (2/10).

Penundaan Pembayaran

Istilah gagal bayar adalah suatu kondisi perusahaan tidak bisa bayar utang karena kemampuan membayar utangnya jauh lebih kecil daripada utangnya.

Adanya potensi gagal bayar tidak masalah jika persoalannya ada di bagian pengelolaan atau manajemen. Pengamat ekonomi Nawir Messi menjelaskan, kalau persoalan pasar yang tidak kondusif, yang membuat kinerja keuangan menurun, efeknya bisa ke mana-mana.

Jika terjadi fenomena gagal bayar, maka akan timbul dua respons: reschedule atau default.

Peringatan tentang risiko gagal bayar ini sesungguhnya sudah terjadi pada sejumlah perusahaan. Tengok saja permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di pengadilan. Terbaru adalah anak usaha Duniatex, PT Delta Merlin Dunia Textile. Tahun ini, per 13 September 2019 ada tujuh perusahaan tekstil yang terpaksa berurusan dengan Pengadilan Niaga (PN).

Baca Juga: Legenda Sri Mulyani: Gali Lubang, Tutup Lubang

Sebelumnya, potensi gagal bayar juga mengepung PT Kawasan Industri Jababeka Tbk. (KIJA). Perusahaan ini berpotensi default atas surat utang anak perusahaan senilai US$300 juta berikut dengan bunga.

PT Agung Podomoro Land Tbk. juga begitu. Pemain properti ini tengah berupaya memperoleh suntikan pendanaan dari pemegang saham untuk dapat melakukan pembayaran dari sejumlah kewajiban yang jatuh tempo pada tahun ini.

Sumber: Netral News

Selain Perjanjian Fasilitas I yang jatuh tempo Juni lalu, terdapat beberapa utang lainnya yang juga akan jatuh tempo di tahun ini antara lain obligasi sebesar Rp451 miliar yang jatuh tempo pada Desember 2019 dan obligasi senilai Rp99 miliar yang jatuh tempo pada bulan Maret 2020.

Dampak luar gagal bayar adalah rating investasi Indonesia akan mengalami tekanan. Jika investasi anjlok, dilanjut dengan rating yang menurun, dipastikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga terpengaruh. Hal yang dikhawatirkan adalah kalau gagal bayar tersebut dialami oleh BUMN.

Indonesia bisa mengalami peristiwa seperti tahun 1997-1998, yakni pemerintah melakukan pengambil-alihan atau melakukan penyuntikan dana. Hal itu menjadi sangat tidak bagus ketika perekonomian nasional juga mengalami kondisi muram.

Selain itu, menilik tidak adanya ruang fiskal yang tersedia bagi pemerintah untuk melakukan hal tersebut. Ya, semoga saja tidak terjadi perusahaan-perusahaan BUMN yang gagal bayar (default).

BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait