Ceknricek.com--Yang namanya jam (jam tangan, jam kantong, jam dinding dsb) memang punya kehebatan tersendiri.
Konon jam tangan lebih berguna daripada gelang berlian, betapa pun mahalnya. Karena jam dapat menunjukkan waktu. Dan menurut petuah Turki: “Jam yang mati pun masih tepat dua kali sehari-semalam”.
Tapi jam tangan, terutamanya, memang dapat bikin gara-gara.
Siapa di Indonesia yang dapat melupakan bagaimana kehebohan timbul ketika koran Singapura The Straits Times pernah menjepret jam tangan yang dipakai oleh orang yang waktu itu menjabat sebagai Panglima TNI, Jenderal Moeldoko, yang kata koran Singapura itu harganya di pasaran melampaui satu miliar rupiah.
Untuk membuktikan bahwa jam itu bukan asli, melainkan jiplakan (karenanya harganya jauh lebih murah “hanya” 4,7 juta rupiah), Jenderal Moeldoko di depan nyamuk pers di Hotel Borobudur, membanting jamnya dan langsung bergegas ke mobil dinasnya. Jam itu, demikian dilaporkan, ternyata tetap utuh meski harganya “hanya 4,7 juta rupiah”. Dan Jenderal (Purnawirawan) Moeldoko kini menjadi salah seorang pembantu utama Presiden Republik Indonesia.
Namun nasib Direktur Utama “Australia Post” (kasarnya kantor pos) , yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Australia , Christine Holdgate nampaknya tidak “seaman” nasib Jenderal (Purn) Moeldoko waktu itu.
Gegara 4 jam tangan yang dibelikan untuk pejabat-pejabat Australia Post yang dinilai telah berhasil memajukan BUMN Australia itu dengan merundingkan kerjasama dengan sejumlah bank di Australia, Dirut Christine Holgate, yang mengaku bahwa jam tangan yang dipakainya, yang begitu cilik harganya hampir 50-ribu dolar Australia, kini harus non-aktif.
Meski berkat upaya gigih ke-4 pejabat tersebut BUMN Australia Post dilaporkan berhasil meraup jutaan dolar, namun tindakan pimpinan BUMN itu “menghadiahi” ke-4 pejabatnya yang telah berprestasi itu, dianggap keterlaluan.
Bagaimana pun, Australia Post adalah BUMN, yang berarti milik negara, yang berarti milik rakyat, hingga sesuatu yang dianggap sebagai “penghamburan” uang rakyat, dapat dinilai telah melakukan dosa tak berampun.
Alkasih, di Australia ini pengawasan atas “uang rakyat” memang sangat ketat, dan secara keseluruhan semua lembaga negara memang diawasi dengan amat seksama.
Yang melakukan pengawasan adalah para wakil “negara bagian”, bukan wakil rakyat yang nota bene adalah anggota DPR/Parlemen. Mereka itu adalah para senator – mirip Dewan Perwakilan Daerah – yang anggotanya tetap dipilih oleh rakyat, namun resminya mewakili negara bagian (kalau di Indonesia sebanding dengan provinsi).
Dan para anggota komisi senat Australia ini memang lebih galak ketimbang harimau lapar, kalau sudah sampai pada kesejahteraan rakyat – tidak pandang bulu, melainkan main sikat langsung.
Begitulah, Dirut Australia Post yang belakangan ini memang berhasil meraup banyak keuntungan meski jumlah orang yang berkirim surat sudah sangat berkurang gegara WhatsApp, SMS, Email (surat elektronik) dan lain-lain sejenisnya, dapat giliran tampil di depan Komisi Senat terkait.
Seorang pengamat melukiskan komisi senat Australia sebagai “wakil rakyat yang gemar melakukan ritual melibas yang tampil di depannya”.
Dirut (non-aktif) Australia Post Christine Holgate tampil selama 4 jam. Awalnya dia mengaku telah memberi bonus kepada bawahannya yang begitu berhasil dalam merundingkan kerjasama dengan berbagai bank di Australia, jam tangan Cartier yang seluruhnya bernilai 12-ribu dolar.
Konon kabarnya, ketika mendengar pengakuan/laporan ini banyaklah wakil rakyat Australia yang langsung membuka “Google” untuk mencari tahu kayak apa jam tangan Cartier itu sebenarnya (barangkali di Indonesia bisa ditanyakan kepada Jenderal (P) Moeldoko yang mengaku sebagai pengagum dan penggemar jam tangan).
Ternyata kemudian bahwa sebenarnya harga dari ke-4 jam tangan itu bukan 12-ribu dolar, melainkan hampir 20-ribu dolar.
Mendengar nilai jam tangan tersebut mendekati 20-ribu dolar Perdana Menteri Scott Morrison naik pitam dan menyuruh agar segera dilakukan pengusutan dan agar Dirut Christine Holgate minggir dahulu (non-aktif).
Pada hal berbagai pihak mengakui bahwa lewat kerjasama dengan ke-4 bank Australia itu, Australia Post mampu untuk terus “membuka pintu” usahanya, terutama cabang-cabangnya di daerah-daerah.
Dirut Christine Holgate yang tahun lalu menerima gaji serta bonus senilai 2,56 juta dolar harus merenungkan nasibnya.
Namun bukan sekali ini saja Australia Post mendapat sorotan.
Sekian tahun silam, BUMN Australia Post selalu menderita kerugian.
Akhirnya Dewan Direksi Australia Post merekrut seorang Muslim asal Bangladesh, Ahmed Fahour, dengan iming-iming gaji jutaan dolar tambah bonus setimpal sekiranya dan apabila dia mampu menjadikan BUMN Australia Post sebagai usaha yanag membawa keuntungan.
Ternyata Ahmed Fahour bertuah, dan di bawah pimpinannya BUMN tersebut mulai meraup keuntungan.
Namun, dalam tahun 2017, karena besarnya keuntungan yang diperoleh Australia Post maka bonus Ahmed Fahour juga ditambah, hingga total selurunya, tahun itu, ia mengantongi gaji dan bonus senilai 5,6 juta dolar.
Banyak yang gempar, termasuk Perdana Menteri waktu itu, Malcolm Turbull.
Akhirnya Ahmed Fahour memutuskan untuk mengundurkan diri, dengan memperoleh pesangon lebih dari 10-juta dolar.
Pada hal waktu itu ada juga yang menjelaskan bahwa sebenarnya bonus itu merupakan perjanjian kerja antara Dewan Direksi yang dibentuk pemerintah dengan Ahmed Fahour, yang ketika pertama kali menerima bonus yang cukup besar, menyedekahkan seluruhnya kepada adiknya yang waktu itu sedang membangun “Museum Islam” di Melbourne
Belum lama berselang, Menteri Urusan Perawatan Lansia, Richard Colbeck, ketika tampil di depan Komisi Senat, teryata tidak mampu menjawab pertanyaan yang terkesan sederhana, nyaris dicopot dari jabatannya.
Seorang senator bertanya: “Berapa banyak lansia yang telah meninggal ketika dalam sarana pengurusan lansia di Australia gegara COVID-19?”
Memang di televisi terlihat sang menteri laksana duduk di atas bara. Meski dia juga adalah seorang senator, namun terkesan kalau sudah sampai pada urusan penyelenggaraan kekuasaan, tidak ada kata ampun. Ibaratnya “jangan mau enaknya saja jadi menteri. Harus tanggungjawab penuh”. Begitu!
Baca Juga :Pulihkan Sektor Pariwisata di Tengah Pandemi, Ini Langkah Kemenparekraf