Ceknricek.com -- Jelang semester II/2019, perusahaan ritel Giant, mengurangi beberapa gerainya. Pasar swalayan yang dimiliki PT Hero Supermarket Tbk., ini menebar diskon hingga 50% sebelum menutup gerai. Kinerja Hero sampai kuartal I/2019 memang tak bisa dibanggakan. Ritel ini mencatatkan rugi senilai Rp3,52 miliar.
Informasi yang beredar viral sampai Senin (24/6), ada 6 supermarket Giant yang dikabarkan tutup pada 28 Juli 2019. Supermarket di Jabodetabek yang tutup itu adalah Giant Ekspres Cinere Mall, Giant Ekspres Mampang, Giant Ekspres Pondok Timur, Giant Ekstra Jatimakmur, Giant Ekstra Mitra 10 Cibubur, dan Giant Ekstra Wisma Asri.

Foto: Ashar/ceknricek.com
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta menilai, gugurnya sejumlah gerai Giant kemungkinan disebabkan oleh ketatnya bisnis ritel. "Itu salah satu unsur,” ujarnya kepada detikFinance, Minggu (23/6). Pemain baru yang dimaksud ialah maraknya toko-toko baru. Toko-toko baru ini kemudian membuat persaingan semakin ketat.

Tutum. Sumber: Medcom
Namun Tutum menepis gugurnya sejumlah toko Giant karena bersaing dengan toko online. "Enggak, sesama pemain aja, kalau produk makanan di online enggak terlalu. Banyak faktor, persainganlah, manajemen, atau faktor persaingan sesama pemain," terangnya. "Mungkin juga karena memang lokasi-lokasi yang kurang bagus, sudah mulai ditinggalkan konsumen," tambahnya.
Sejak awal tahun ini Hero sudah menutup 26 gerainya yang terkait bisnis makanan. Peritel ini menyatakan bahwa penjualan bisnis makanan turun 6% dibanding tahun sebelumnya. Alhasil, Hero mengalami kerugian operasional sebesar Rp163 miliar. Jadi, penutupan gerai bertujuan mencegah kerugian yang lebih besar lagi lantaran beban operasional yang juga semakin membengkak. Ujung-ujungnya, akan semakin banyak karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja atau PHK.
Pola Belanja
Bukan hanya Hero yang takluk. PT Central Retail Indonesia juga melakukan langkah serupa. Peritel asal Negeri Gajah Putih itu menutup toko ritel Central Neo Soho yang berlaku efektif 18 Februari 2019.

Sumber: CNN
Pihak Central berpandangan masyarakat Indonesia saat ini sudah menggeser pola belanja dari sebelumnya dilakukan secara konvensional ke sistem daring (online). Perubahan pola belanja tersebut membuat operasional di gerai Central Department Store Neo Soho berjalan berat sejak berdiri 2016 lalu.
Langkah selanjutnya, pihak Central akan fokus menjual produk dengan konsep omni channel melalui WhatsApp dan Line. Langkah itu ditempuh untuk membesarkan omni channel serta flagship store mereka di Central Grand Indonesia.
Keputusan menggarap platform digital atau daring memang langkah tepat yang diambil oleh Central. Kini, kalangan peritel harus memanfaatkan teknologi agar mampu bersaing dengan industri belanja daring yang menawarkan kemudahan dalam bertransaksi. Ritel harus menawarkan pengalaman baru. Sebut saja misalnya kasir otomatis, seperti di Amerika Serikat (AS) dan China. Jaringan pemasarannya pun harus diperluas ke pasar elektronik.
Ritel Premium
Sementara itu, Hero memiliki strategi lain, seperti “memermak” gerai mereka menjadi ritel premium. Gerai itu sudah diluncurkan di beberapa outlet, seperti di Pondok Indah, Jakarta Selatan, Bekasi, dan Bandung. Strategi lainnya adalah mengoptimalkan kinerja gerai-gerai yang tersisa dengan melakukan program perubahan manajemen sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih baik.
Langkah Hero yang mengubah konsep gerainya sejalan dengan pandangan kalangan pengelola pusat perbelanjaan. Gerai ritel yang konsepnya mengikuti perkembangan zaman masih bakal bisa bertahan.
Gerai ritel yang mengikuti perkembangan zaman tentunya akan diikuti pula dengan barang-barang yang dijajakannya. Jika gerai sudah berubah, tetapi barang dagangan tetap sama, ya alamat punah juga.
Selain beberapa strategi tadi, para peritel pun melakukan perubahan dengan mengemas gerai-gerainya agar menarik perhatian pengunjung. Salah satunya menciptakan gerai yang compact dengan luas yang lebih kecil dan menyajikan jumlah barang yang lebih sedikit, tetapi benar-benar dibutuhkan oleh konsumen.
Jika dulunya luas, sebuah gerai bisa mencapai 4.000 m2 hingga 5.000 m2, dengan konsep compact, luasnya bisa direduksi sampai separuh. Langkah itu dilakukan untuk menyiasati perubahan yang terjadi di kalangan konsumen juga. Soalnya, konsumen sudah berubah. Mereka tidak mau lagi mendatangi tempat-tempat besar.
Menutup gerai dan kemudian merelokasinya ke tempat lain juga merupakan strategi perubahan yang bisa memenangkan persaingan. Relokasi ke daerah lain selain menghindar dari ketatnya persaingan juga dapat menjaring konsumen baru yang punya daya beli masih tinggi. Asumsinya, berkurangnya pengunjung di lokasi yang lama karena lemahnya konsumsi masyarakat di sekitar gerai.
Industri ritel memang mutlak melakukan perubahan di era digitalisasi ini. Tanpa perubahan, industri ini akan tergerus oleh zaman.
Tren Leisure Economy
Selain Hero dan Soho, dalam beberapa tahun terakhir, beberapa gerai ritel memilih tutup. Pada tahun 2018, misalnya, brand fesyen asal Amerika Serikat, GAP juga menghentikan operasional mereka di Indonesia setelah PT Gilang Agung Persada sebagai pemegang hak operasional tidak memperpanjang kontrak kerja sama dengan GAP Inc. Lima gerai GAP yang tersebar di Jakarta, Bali, dan Surabaya menurunkan bendera bisnisnya.

Sumber: Wartakota
Selanjutnya, ritel fesyen asal Inggris, New Look, juga menutup seluruh gerainya di Tanah Air per 19 Februari 2018. Di Indonesia, pemasokbrand ini dipegang PT Mitra Adiperkasa Tbk. dengan total 12 gerai. Tak hanya di Indonesia, ternyata kondisi kurang baik terjadi di negara asalnya. Sepanjang tahun 2018, hampir 100 gerai New Look terpaksa gulung tikar.

Sumber: Detik
Perusahaan ritel global, 7-Eleven Inc. juga mengakhiri perjanjian dengan PT Modern Sevel Indonesia sebagai entitas pengelola bisnis jaringan ritel 7-Eleven di seluruh Indonesia. Anak perusahaan PT Modern Internasional Tbk. itu menghentikan kegiatan operasional seluruh gerainya akhir Juni 2017.

Sumber: Sindo
Penutupan sejumlah ritel itu dilakukan lantaran bisnis mengalami penurunan sejak beberapa tahun lalu. Nah, penyebab bisnis ritel turun sebagian besar adalah rendahnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang rata-rata berada di angka 5% dalam tiga tahun terakhir. “Menurut data BPS, kenaikan pengeluaran masyarakat kelas menengah dan kelas atas masing-masing hanya 3,4% dan 1,28% selama setahun terakhir,” kata ekonom Indef, Bhima Yudhistira.

Bhima Yudistira. Sumber: Nusantara News
Penyebab kedua yang membuat ritel amblas adalah persaingan ketat antara supermarket dan minimarket. Agresifnya penambahan minimarket membuat pola konsumsi masyarakat bergeser. Minimarket yang berjarak dekat dengan rumah dapat menghemat biaya parkir dan bensin konsumen. Produk di minimarket modern pun semakin lengkap sehingga tak perlu lagi mendatangi ritel yang besar.
Penyebab selanjutnya adalah tren leisure economy. Generasi milenial yang jumlahnya 90 juta orang cenderung mengonsumsi barang dan jasa yang bersifat rekreasi (leisure). Saat ini, kafe, pujasera (food court), dan tempat wisata marak di kota-kota. Ini juga menjadi opsi untuk menghabiskan pendapatan bulanan. Mereka akan rem pembelian bahan makanan di supermarket. Mereka cenderung jajan di restoran.
Persaingan dengan pasar elektronik juga membuat industri ritel berguguran. Ketika industri ritel tertatih-tatih meningkatkan kinerjanya, bisnis di pasar elektronik justru melesat beberapa tahun belakangan ini. Itu terlihat dari kian besarnya nilai transaksi yang ada di bisnis belanja daring.
Ketika pada 2014 nilai transaksi belanja daring “baru” mencapai Rp25 triliun, pada 2016 nilai transaksi itu naik menjadi Rp69,8 triliun. Tahun ini, nilai transaksi pasar elektronik diperkirakan mencapai Rp120 triliun.
Pertumbuhan bisnis belanja daring di Indonesia sejalan dengan perkembangan bisnis itu di Asia Tenggara. Riset Google Temasek menunjukkan bahwa nilai transaksi (Gross Merchandise Value/GMV) pasar elektronik di kawasan Asia Tenggara bisa mencapai US$23,2 miliar atau Rp335 triliun pada 2018.
Kendati banyak ritel yang menutup gerainya, bukan berarti prospek bisnis ke depannya kian suram. Bisnis ritel masih berpeluang meningkat jika kondisi perekonomian global membaik. Sebab, membaiknya perekonomian global akan mengerek berbagai harga komoditas sehingga mendongkrak daya beli masyarakat.
Tahun ini, bisnis ritel menargetkan pertumbuhan sebesar 10%. Beberapa langkah telah dilakukan untuk mengejar target tersebut, di antaranya adalah produk ritel yang menjadi unggulan harus diekspresikan. Sebut saja misalnya di depan toko ritel harus ada kafe atau toko kopi, ada tempat istirahat, dan sebagainya sehingga bisa memanjakan konsumen. Pengunjung tidak hanya belanja, tetapi juga memikirkan harapan-harapan yang lain.