Ceknricek.com--Seminar nasional "Kepahlawanan H.B. Jassin Mencerdaskan Bangsa" dihelat pada Selasa (22/2/22) di Ruang Serba Guna Lt.4, Perpustakaan Nasional RI, Jl. Medan Merdeka Selatan No.11, Jakarta Pusat.
Kegiatan ini adalah kolaborasi antara Pemerintah Provinsi Gorontalo,PSD H.B. Jassin-Gorontalo, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin (Jakarta), Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (APTISI), Universitas Gorontalo, Gorontalo Post, Lamahu Jakarta, Kerukunan Keluarga Indonesia Gorontalo (KKIG) dan tokoh tokoh nasional dari Gorontalo.
Salah satu pematerinya adalah Zain Badjeber, yang mencoba memotret kedekatannya dengan H.B Jassin, dan diturunkan dalam 3 tulisan berikut:
Pada tahun 1962 saya pindah jadi Hakim Pengadilan Negeri Manado sambil kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat). Saya pun juga anggota DPRD Provinsi Sulut dari unsur Karya Cendekiawan. Di masa ini nama H.B Jassin jadi salah seorang target pihak Komunis melalui LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Dalam situasi politik semakin memanas ditahun 60-an itu, H.B Jassin dan kawan – kawannya mengeluarkan “Manifesto Kebudayaan”.
Sasterawan Lekra mengejek H.B Jassin dkk sebagai kelompok MANI KEBU singkatan dari Manifesto Kebudayaan untuk diplesetkan. Serangan gencar Lekra melalui Harian Rakyat trompet PKI menghantam H.B Jassin dkknya sebagai Seniman Kapitalis. Hingga akhirya Presiden Soekarno mengeluarkan Parangannya untuk Manifesto Kebudayaan tersebut dianggap kontra revolusi !
Pada awal Januari 1967 saya dilantik jadi anggota DPR-GR / MPRS-RI di Jakarta bersama – sama satu Fraksi Partai NU dengan Asrul Sani, Usmar Ismail, dan Djamaluddin Malik, para tokoh perfilman, dramawan dan produser film terkemuka. Mengetahui saya dari Gorontalo , mereka menanyakan apa saya sudah kenal dengan H.B Jassin . Tentu saja saya jawab, belum kenal dekat. Tapi Insya Allah , sekarang sudah di Jakarta , satu saat akan menemuinya. Tokoh yang sudah lama jadi idola saya pula.
Benar saja pada tahun 1968 Jassin sampai diseret ke depan Hakim Pengadilan Negeri di Jakarta karena memuat satu tulisan di Majalah Sastera pimpinannya, berjudul “ Langit Makin Mendung “ dengan penulis bernama Ki Panjikusmin. Tulisan itu dianggap telah menghina Tuhan dan Agama Islam , Rosul dan Nabi – Nabi, Pancasila, dan UUD 1945 ! Jassin memegang etika profesi dengan tidak mau memberitahu, siapa sesungguhnya orang yang bernama Kipanjikusmin itu. Ia “ bungkem “ walau harus diseret ke Pengadilan untuk mempertanggung jawabkan tulisan itu.
Namun pada tahun 1969, H.B Jassin memperoleh Hadiah Sastera tertinggi dari Pemerintah Indonesia. Tidak hanya sampai disitu saja ! Jassin yang Sarjana Sastera dari Fakultas Sastera Universitas Indonesia, kemudian di tahun 1975 diberi gelar Doktor HC oleh alma maternya tersebut.
Adapun saya sendiri sudah sejak 1974 berkenalan langsung dengan H.B Jassin melalui seorang teman saya, Durry Abdurahman namanya. Ia pun sangat mengenal Nh Dini yang pada waktu itu menurut Durry , ikut pula mengirimkan sajak – sajaknya ke acara Sastera di RRI Studio Jakarta yang diasuh Durry Abdurrahman tersebut, siaran bernama “ Kuntum Mekar “yang membacakan puisi – puisi dari para penyair muda sambil diiringi alunan piano pula .
Editor: Ariful Hakim