Ceknricek.com--Di tengah-tengah suasana pandemi Covid-19 perang baliho dimulai. Tentu saja yang terpampang para peminat atau yang merasa mampu memimpin negeri ini. Ada Puan Maharani, Erlangga Hartarto dan lain-lain. Bahkan Muhaimin Iskandar atau yang dikenal dengan panggilan Cak Imin telah menghiasi jalan-jalan lebih dahulu. Pertanyaannya apakah pemasangan baliho-baliho itu cukup efektif dan efisien buat kandidat yang bersangkutan? Ini yang mau dikupas dalam tulisan ini.
Ketika seseorang mau mencalonkan diri untuk kontestasi politik jabatan tertentu, yang melalui pemilihan, maka setidaknya harus melalui tiga tahapan. Tahapan itu terdiri dari: How to be known, How to be understood, dan terakhir How to be symphatized.
How to be known. Artinya setiap calon tentu saja harus dikenal oleh khalayak. Tidak mungkin pemilih akan mempercayakan nasibnya kepada orang yang tidak dikenal baik secara pribadi maupun secara umum. Oleh sebab itu Sang Kandidat harus memperkenalkan diri melalui berbagai saluran komunikasi. Konten perkenalannya menyangkut siapa dan apa dia. Strategi kemunikasinya cukup bersifat pasif saja. Bisa berupa iklan di berbagai media baik luar ruang, media elektronik dan digital maupun media sosial.
Jadi How to be known ini benar-benar tahapan untuk yang belum dikenal publik sama sekali atau belum dikenal luas. Jadi untuk orang yang sudah terkenal seperti public figure tidak perlu melalui tahapan ini. Dia sudah dikenal. Di sinilah para pejabat politik , tokoh-tokoh, dan para artis diuntungkan. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk tahapan ini. Mereka bisa menghemat biaya besar karena tidak perlu pasang baliho atau iklan di berbagai media. Pemilih sudah kenal beliau-beliau ini. Apa lagi di era sekarang yang sudah serba well informed karena adanya media sosial.
Itulah sebabnya kita mengalami booming para artis mencalonkan diri jadi pejabat politik. Mereka sudah terkenal. Apalagi ketika masa keartisannya mereka memiliki rekam jejak yang selalu baik. Bisa juga dia selalu berperan sebagai orang baik dalam berbagai film atau sinetron seperti Rano Karno atau Deddy Mizwar misalnya. Mereka tidak pernah terlibat dalam gossip miring. Para artis ini bisa mengirit biaya kampanye karena bisa melewati tahapan ini yang pasti mahal. Mereka bisa langsung masuk tahapan kedua.
Begitu juga para tokoh, pejabat atau politisi yang sudah malang melintang. Mereka sudah dikenal publik. Pasti mereka sudah seliweran masuk televisi. Calon pemilih sudah kenal mereka. Bahkan pemilih sudah tahu bagaimana dia berkarya ketika menjabat. Nanti ini bisa menjadi keuntungan ganda untuk masuk ke tahap kedua.
Kedua How To be Understood. Artinya Si Kandidat itu harus dipahami public bisanya apa. Bagaimana kapasitas pribadi Si calon ini. Strategi di tahapan ini biasanya melalui penampilan-penampilan di berbagai forum. Dia harus memiliki gagasan atau konsep tentang apa yang akan dilakukannya kalau menjabat. Dia harus tampil mengemukakan konsepnya melalui berbagai media. Itulah sebabnya undang-undang mewajibkan adanya debat public untuk para kandidat kepala daerah dan presiden.
Para kontestan pemula, termasuk artis, harus membuktikan ke hadapan public tentang gagasan dan konsepnya kalau menjabat. Dia harus bisa tampil di berbagai forum atau media untuk menjelaskan konsepnya. Bisa jadi mereka ini mengumbar janji kalau mereka berkuasa. Di tahapan ini akan kelihatan kapasitas seorang kandidat.
Pejabat public, apalagi patahana, sangat diuntungkan dalam tahapan ini. Apalagi kalau dia memiliki tabungan rekam jejak yang bagus ketika berkuasa. Dia tinggal mengabsen apa yang telah dia lakukan selama menjabat. Bisa jadi bagi petahana yang rekam jejaknya bagus pada tahapan ini tidak memerlukan kampanye yang mahal. Artinya kampanye dia adalah ketika berkuasa di periode sebelumnya yang kemana-mana dibiayai negara.
Ketiga How To Be Symphatized. Maksud tahapan ini adalah bagaimana kandidat disimpati public. Bagaimana kandidat disayang public. Tahapan inilah yang paling mendekati indikator elektabilitas kandidat. Strategi tahapan ini harus menyentuh emosi public. Kandidat harus bisa menunjukkan kasih sayang dan perhatian kepada public. Karakter utama dari tahapan ini adalah akrab dan emosional. Makanya tahapan ini harus dilakukan melalui kunjungan-kunjungan ke pribadi-pribadi yang bisa menuai simpati publik.
Pada tahapan ini yang paling sering dilakukan adalah memberikan sumbangan berupa materi. Memang untuk masyarakat yang pendidikannya masih rendah tahapan ini bisa jadi cukup efektif. Tetapi untuk masyarakat yang sudah memiliki tingkat Pendidikan menengah ke atas cara sumbangan ini belum tentu efektif. Mungkin untuk mereka ini akan lebih mengena kalau diajak diskusi dan diorangkan atau dianggap. Mereka akan senang kalau didengarkan ketika berbicara. Apalagi di era media sosial saat ini. Akan lebih memudahkan untuk berinteraksi. Kembali lagi untuk petahana ini sangat mudah kalau memiliki jejak rekam yang bagus.
Jadi bagaimana para petahana atau tokoh yang mulai ramai-ramai pasang baliho. Harusnya mereka ini tidak lagi melakukan langkah di tahapan pertama yang biayanya sangat mahal. Terus mengapa mereka lakukan. Kemungkinannya ada dua. Mereka tidak percaya diri terhadap yang telah mereka lakukan ketika menjabat. Atau mereka tidak tahu bahwa itu hanya menghamburkan uang saja. Padahal publik sudah tahu dan merasakan apa yang telah dia lakukan ketika menjabat. Baliho itu menjadi sia-sia belaka. Publik hanya berpikir: ini tanda-tanda mau pemilu.
# M. Rafi Nuruzzaman/ Penulis adalah Mahasiswa UNJ
Editor: Ariful Hakim