RNI (Rangkaian Ngopi Imajiner) bersama Gus Dur
Ceknricek.com--Saya tengah termenung menatap pergantian tahun yang bakal segera terjadi, menekuri diri, berefleksi dan melakukan evaluasi. Tanpa diduga..‘’Mas..saya masih ingat dulu para sesepuh sering mengatakan bahwa Desember iku de gedhe ne sumber…artinya sedang besar-besarnya sumber air. Ya memang begitulah, kan bulan Desember kerap menjadi puncak musim hujan di Nusantara ini, jadi penuh dan luberlah mata air hingga kadang mewujud dalam bentuk banjir yang mesti kita kelola dengan bijak,” Gus Dur muncul di hadapan dan seolah mengetahui galau hati dan pikiran saya.
‘’Hal paling menarik di bulan Desember 2022 ini sudah tentu gemebyar gelaran Piala Dunia yang memunculkan Argentina bersama si Kutu Lionel Messi menjadi juaranya, padahal saat laga pertama lalu aku sudah pengen nyentil dirimu lhoo….Argentina koq bisa kalah lawan Arab Saudi yaa..?’’ demikian celoteh Gus Dur di tengah guyuran hujan pagi.
Beliau melanjutkan,‘’Selepas gebyar Piala Dunia, dunia bola dikejutkan dengan wafatnya Pele sang legenda, waduh saya sungguh berduka lhoo Mas..si Pele ini idola saya sejak dulu. FIFA bahkan menyatakan hari kepergian Pele adalah hari yang tak pernah diinginkan. Edson Arantes do Nascimento adalah nama kelahirannya, Pele adalah nama sebutan yang muncul kemudian dan malah tenar di seantero dunia.
Naaah, dalam konteks inilah saya jadi teringat kembali paparan sobat filsuf Albert Camus yang secara ekstrem pernah menyatakan bahwa hidup ini absurd, sampai-sampai dia merasa harus belajar dan berhutang budi pada sepak bola. Dia pernah menjabarkan pada novelnya yang pertama L’Etranger (Orang Asing) dan menjabarkan tentang absurditas dunia, relativitas cinta, keterasingan, penderitaan dan kematian manusia.
Menurut Camus, absurditas adalah kondisi hidup manusia dimana ketidakmampuan manusia memahami dunia harus bertentangan dengan kerinduan alamiah manusia untuk menemukan kebenaran dan kejernihan sepanjang laju kehidupannya serta tantangan hidup manusia yang berada dibawah kesadaran atau muncul pada alam ketidaksadaran tentang ‘ada’ alias eksistensinya.
Kemanusiaan tidak dapat mencapai genggaman atas dunia yang begitu penuh dengan misteri, sebagai konsekuensinya, hidupnya menjadi terbatas. Meskipun kemanusiaan terus berharap, namun keterbatasannya memastikan bahwa harapan manusia dapat runtuh pada saat tertentu. Berdasarkan fakta tersebut, kehidupan manusia menjadi absurd. Absurditas kehidupan melemparkan manusia ke dalam eksistensi misteri kehidupan yang tak terpahami.
Dalam konteks absurditas itulah, sebagai anak kandung modernisme dan diasuh-besarkan oleh kapitalisme,tak jarang sepak bola menuai berbagai kritik. Sosiologi kritis misalnya, menilai bahwa semarak Piala Dunia belakangan ini tak lebih dari wajah kapitalisme yang paling mutakhir, dimana dalam kondisi tersebut apa yang disebut sebagai nilai dan makna dalam sepak bola telah dikooptasi oleh komersialisasi.
Sepak bola tak lebih dari barang komoditas, yang di era ekstensifikasi media saat ini menjelma menjadi tontonan global yang massif dan mengeruk keuntungan besar.Pada titik inilah, refleksi dan evaluasi tata-kelola sepak bola secara jernih mendesak dijalankan total tanpa pandang bulu, khususnya di negara kita yang dihantam Tragedi Kanjuruhan.
Dengan akal budi yang memampukannya berefleksi, manusia (homo vivens) menjadi subjek yang bertanya dan sekaligus menjadi objek yang diper-tanyakan, makhluk yang setiap saat menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya. Meskipun terus-menerus bertanya dan mencari tahu tentang segalanya termasuk dirinya sendiri, manusia tidak pernah mencapai pemahaman yang penuh akan dirinya, akan hidupnya, dan akan dunia di mana ia berada dan berproses.
Dunia penuh dengan misteri yang tidak tergapai akal budi manusia, hidup manusia itu sendiri pun terbatas, setelah hidupnya selesai di dunia, kematian yang ada hanyalah misteri. Kecuali he..he..bagi yang wafat itu sendiri tidaklah menjadi misteri lagi, siapa tahu saat ini Pele sedang bermain bola dengan Maradona hahaha…’’, pungkas Gus Dur dan lenyap kembali.
Saya makin tercenung, apa yang disampaikan Gus Dur sungguh tepat menohok keprihatinan saya saat ini. Banyak manusia kini kehilangan autensitas dan keunikan diri serta kehilangan makna hidupnya, hanya sekadar hidup dengan mengikuti trend, hal viral, gebyar tontonan yang butuh pengakuan, serta eforia yang bersifat sangat sementara. Kadang, acapkali, kepribadian seseorang pun menjadi sementara, silih berganti, dan bahkan menjadi manusia tanpa kepribadian. Pada akhirnya, manusia kehilangan orientasi hidupnya dan semakin sulit menilai mana yang lebih penting, keberadaannya di dunia dan cara beradanya atau kepentingan fananya di dunia ini. Menarik untuk direnungkan lebih lanjut sembari menunggu pergantian tahun, selamat tahun baru 2023, Kawan!
*)Greg Teguh Santoso, pemikir lepas, sedang menuntaskan studi doctoral sembari berbagi ilmu di beberapa kampus.
Editor: Ariful Hakim