Hujan Bulan Juni | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Hujan Bulan Juni

RNI (Rangkaian Ngopi Imajiner bersama Gus Dur)

Ceknricek.com--Sepotong lembayung senja di kaki gunung Panderman, secangkir kopi, setiris rinai hujan dipertengahan bulan Juni sembari menanti Gus Dur untuk ngobrol pintar. Situasi ini membawa benak penulis teringat akan sebuah puisi. Judul tulisan kali ini mengutip judul puisi tersebut, karya salah satu maestro sastra Indonesia Sapardi Djoko Damono (mohon ijinnya Pak Sapardi*) yang masyur dikenal lewat berbagai puisi cintanya:

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

Bagi penulis, kondisi seperti inilah kebahagiaan sederhana di tengah pekatnya ancaman resesi ekonomi yang dipicu inflasi Amerika Serikat yang mesti ‘diobati’ dengan mengerek suku bunga bank sentral dan stagflasi global sebagaimana diributkan oleh para ekonom dunia, termasuk Bu Ani sang Menteri Keuangan terbaik.

Masih awetnya perang Ukraina versus Rusia turut andil melonjakkan harga berbagai komoditas energi yang memicu inflasi di belahan bumi Eropa dan Amerika yang pada gilirannya berimbas memburuknya kondisi perekonomian seantero bumi. Bahkan Sri Lanka sudah menyatakan diri bangkrut belum lama ini dan masih ada tak kurang 60 negara lagi yang berpotensi bangkrut bila tekanan resesi ini tak segera bisa ditanggulangi bersama. Indonesia termasuk salah satu negara yang beruntung, mampu survive bahkan diprediksi merengkuh pertumbuhan ekonomi tak kurang dari 5 persen tahun ini.

Di tengah situasi tersebut, kita tak bisa menampik merebaknya hiruk-pikuk perihal koalisi partai politik yang sungguh intens sejak awal bulan Juni dimana Prabowo Subianto menemui Surya Paloh hingga beberapa hari terakhir terus bergulir, bahkan akan berlanjut dengan bertemunya Partai Demokrat dengan jajaran Partai Gerindra. Intensitas perpolitikan ini sedang dan terus berjalan sembari diselingi hujan yang tetap mengguyur meski sudah melewati pertengahan tahun berjalan.

Laksana kisah epik Bharata Yudha, Dewa Surya kalah dalam pertempuran melawan Dewa Indra guna membela anak masing-masing. Dewa Surya adalah ayah Arjuna sang satria panengah Pandawa, adapun Dewa Indra adalah ayah Adipati Karna di pihak Kurawa. Pertempuran berdarah di Padang Kurusetra sejatinya adalah perang antar sesama saudara dalam satu garis keturunan dan merebak melibatkan semua mereka yang terkait, termasuk para dewa. Adakah pertempuran melawan Covid-19 mampu kita menangkan bersatu-padu bersama seluruh komponen bangsa dalam meredam si angkara virus durjana yang mulai merangkak naik dengan varian baru? Entah, itu satu jawaban pasti. Semua terpulang kepada seru sekalian bangsa ini apakah masih akan bergelimang dalam lautan hoax, saling hujat nan melemahkan demi sebulir remah-remah kesenangan sesaat ataupun pesona permainan politis pihak-pihak yang penuh syahwat kekuasaan? Termasuk, tentu saja, saling sindir yang terjadi antara Cak Imin dan Yeny Wahid belum lama ini.

Inilah keprihatinan yang hendak didiskusikan dengan Gus Dur sembari kulik-kulik soal koalisai atau kerjasama politik menyambut Pemilu 2024 yang sudah dinyatakan start oleh KPU, Bawaslu, dan tentu saja pemerintah beserta DPR. Akankah pesta demokrasi bakal berjalan lancar dan menghasilkan pemimpin baru yang sungguh mampu membawa bangsa ini makin maju? Ataukah, terulang kembali keterbelahan anak bangsa dalam pekatnya aroma politik identitas demi mendulang simpati dan suara rakyat tanpa hirau akan segala konsekuensi negatif yang mungkin timbul bagi bangsa ini?

Mentari makin tenggelam, rinai hujan bulan Juni kian lebat, agaknya Gus Dur tak jadi muncul, mungkin beliau masih sibuk dengan segala urusannya. Ada baiknya sedikit menyoroti bait kedua dari penggalan puisi di atas. Tersirat sebuah makna yaitu menghapus keraguan atau prasangka buruk yang timbul di benak hati, semoga hal inilah yang terus dikedepankan para elite politik kita ke depan.

*) Greg Teguh Santoso, pemikir bebas, sedang menempuh program S3 sembari menularkan ilmu di beberapa perguruan tinggi.

 

 


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait