Ceknricek.com--Tanpa disadari secara mendadak muncul “tambang emas” baru yang sangat berpotensi bagi Indonesia. Tambang emas tersebut bernama “Mbak Rara” – pawang hujan yang dikatakan berhasil “menyelamatkan” balapan mashur di Mandalika, dengan menghentikan hujan yang sebelumnya laksana tercurah dari langit.
Betapa tidak! Di tengah-tengah berbagai musibah banjir dahsyat di sejumlah kawasan di dunia ini, termasuk bagian timur Australia, seperti Negara Bagian Queensland dan New South Wales, yang menimbulkan kerugian sampai miliaran dolar, tampil seorang manusia yang dikatakan dan bahkan diakui mampu mengendalikan hujan.
Sampai-sampai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) ikut mengakuinya sebagai hal yang dapat dilakukan manusia. Simak kembali laporan media di Indonesia tentang pernyataan Kemdikbud tadi:
“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI menyebutkan bahwa tradisi pawang hujan ada pada banyak budaya di dunia sejak berabad lalu. Kemdikbud dalam postingan di akun resmi Instagram @kemdikbud.ri, menyebutkan bahwa pawang hujan bekerja menggunakan gelombang otak Teta untuk 'berkomunikasi' dengan semesta ketika sedang melaksanakan tugasnya.”
Tinggal kini bagaimana cara mengemas kesimpulan Kemdikbud ini untuk ditawarkan kepada berbagai negara di dunia yang selama ini memang sudah langganan terkena banjir.
Jelas Gubernur DKI Anies Baswedan adalah peminat pertama, dan kalau dia sudah diketahui oleh masyarakat internasional mengakui kemempanan pawang hujan dari Indonesia untuk mengendalikan curahan dari langit itu, niscaya negara-negara lain akan segera juga menuruti jejak Anies Baswedan.
Dalam hal ini Indonesia dalam menawarkan jasa Pawang Hujan-nya juga harus bisa bersikap pragmatis. Dari negara-negara yang mampu Pawang Hujan Indonesia boleh memasang tarip, sementara dari negara-negara yang sedang senin kemis mungkin jasa menghentikan atau menangkal hujan itu diberikan secara cuma-cuma.
Sebagaimana diketahui negara-negara Eropa Barat yang umumnya “berduit” juga tidak luput dari ancaman banjir akibat hujan, dan tentu saja ada “jasa” ada “balas”.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan:
“Banjir dapat mengakibatkan bencana luas, yang merenggutkan nyawa dan menimbulkan bencana bukan saja terhadap bangunan milik perorangan melainkan juga berbagai prasarana kepentingan umum. Antara tahun 1998-2017 banjir berdampak terhadap 2 miliar manusia di berbagai penjuru dunia.Dan banyak di antara korban sama sekali tidak nyana bahwa banjir akan terjadi.”
Banjir yang melanda kedua negara bagian di Australia sejak Februari hingga Maret lalu sempat dilukiskan oleh Perdana Menteri Australia Scott Morrison sebagai akibat dari “hujan yang terhebat dalam 500 tahun; atau tsunami di darat”.
Kedahsyatan akibat yang dapat ditimbulkan hujan mungkin dapat dilukiskan sebagai berikut:
“Dulu-dulunya ada dua jenis pawang hujan: yang satu mampu mencegah/memindahkan/mengusir/menangkal/menghentikan hujan. Yang satu kebalikannya, yaitu menimbulkan/menurunkan hujan. Antara keduanya pernah terjadi perselisihan dengan akibat di sementara wilayah terwujud gurun pasir karena hujan ditangkal oleh pawangnya, sementara di sementara wilayah lain, seperti Indonesia pawang yang mampu menurunkan hujan, mengakibatkan munculnya hujan hutan tropis.”
Masuk akal? Merujuk pada keterangan Kemdikbud tentu masuk akal. Bukankah kalau ada aksi ada juga reaksi? Nah kini tinggal memikirkan bagaimana mengemas pernyataan Kemdikbud itu hingga berbentuk brosur yang dapat disebar luaskan ke berbagai penjuru dunia.
Semoga dengan brosur ini banyak negara yang langganan banjir akan bersedia membayar mahal dengan devisa jasa pawang atau para pawang hujan dari Indonesia, sebelum pawang-pawang dari negeri lain memanfaatkan kesaktian Mbak Rara. Semoga ini menjadi tambang emas baru bagi Indonesia. Allahu a’lam.
Editor: Ariful Hakim