Ceknricek.com -- Ia dikenal sebagai seorang filsuf, dokter, novelis, dan pejabat pengadilan Arab Muslim dari Al-Andalus (Andalusia). Ia sering pula disebut sebagai al-Andalusi atau al-Kurtubi al-Isybili. Kaum Skolastik Kristen menyebutnya sebagai Abubacer.
Ia adalah Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Muhammad bin Ibnu Thufail Al-Qaysi atau biasa dikenal sebagai Ibnu Thufail atau Ibnu Tofail. Seorang filsuf muslim dari sebuah kota kecil, Guadix, di Andalusia dan salah satu keturunan suku Arab Kays, yang terkemuka.
Kiprah Abubacer
Ibnu Thufail diperkirakan lahir pada dekade pertama abad ke-6 H atau ke-12 M atau sekitar tahun 1105 M di Wadi Ash, Guadix, sebelah timur laut Granada, Spanyol. Masa-masa pendidikannya ia diajar oleh Ibnu Bajjah (Avempace). Namun, tidak banyak yang dapat diungkap mengenai keluarga dan pendidikannya. Ia praktik pertama kali sebagai dokter di Granada, kemudian menjadi sekretaris gubernur tingkat provinsi.

Sumber: Sience and Faith
Semasa hidup, Ibnu Thufail pernah menjabat sebagai sekretaris untuk penguasa Granada. Ia kemudian diangkat sebagai wazir (penasihat) serta dokter hingga sempat menjabat menteri kesehatan untuk Abu Ya'qub Yusuf, penguasa Spanyol Islam (Al-Andalus) di bawah pemerintahan Muwahhidun.
Ia dikenal sebagai seorang filsuf yang sangat mencintai buku-buku. Ibnu Thufail dikabarkan pernah membangun perpustakaan yang besar dan lengkap berisi ribuan buku. Lewat pembacaan dan informasi inilah yang membuat ia haus akan ilmu pengetahuan.
Salah seorang muridnya, Al-Bitruji menyebut, Ibnu Thufail sebagai qadli (hakim) yang bijak. Dalam banyak hal, Ibnu Thufail selalu mempunyai pengaruh besar terhadap muridnya ini, serta banyak merekrut sarjana-sarjana ke istana. Ibnu Thufail pula yang memperkenalkan Ibnu Rusyd muda kepada Sultan dan menganjurkannya sebagai penggantinya saat ia beristirahat pada 1182.
Ahli sejarah Abdul Wahid al-Mazzakusyi memberi sebuah deskripsi mengenai pertemuan ini, yang diketahui dari laporan-laporan Ibnu Rusydi sendiri. Pada kesempatan-kesempatan seperti inilah sang Sultan juga menunjukkan luas pengetahuannya tentang masalah-masalah kefilsafatan. Dinasti Muwahhidun memang dikenal mengajarkan hal baru di bidang teologi: Sistem teologi Asy’ari dan Al-Ghazali yang kemudian dicap dan dianggap bid’ah.
Pada masa itu, banyak para politikus dan filsuf yang berpendapat iman masyarakat tidak boleh diganggu gugat serta dianggkat menjadi bahasan pengetahuan. Karenanya, wilayah filsafat dan agama harus dipisahkan secara tegas. Namun di sinilah peran dinasti Muwahhidun terhadap keberlanjutan filsafat (islam) di era selanjutnya. Apresiasi yang begitu besar terhadap pengetahuan dan kajian filsafat,mengalami periode emasnya, meskipun singkat, di kerajaan mereka.
Dalam era tersebut, atas saran dan dorongan Ibnu Thufail terhadap sang Pangeran, ia menasihatkan, memberi semangat, dan bahkan mendesak Ibnu Rusyd untuk menulis komentar-komentarnya tentang karya-karya Aristoteles.
Hayy bin Yaqzhan
Karya yang dihasilkan oleh Ibnu Thufail diketahui tak banyak jumlahnya, namun masih ada satu atau dua karyanya yang masih sampai kepada kita. Salah satunya adalah sebuah novel filsafat terkenal berjudul Hayy bin Yaqzhan, yang menjadi satu dari sekian di antara buku-buku yang paling cemerlang pada abad-abad pertengahan.

Terjemahan Pertama Hayy bin Yaqzhan ke dalam Bahasa Inggris tahun 1671. Sumber: Archive Aramcoworld
Karya fenomenal yang berbau filosofis-mistis ini bercerita mengenai bagaimana akal pikiran mampu menangkap, merenungkan, dan menyimpulkan bahwa segala sesuatu ada yang menggerakan dan penggerak itu tiada lain adalah Tuhan Pencipta Alam Semesta. Meskipun, karya-karya utama Ibnu Thufail--seperti halnya Ibnu Sina--adalah memadukan sains Yunani dengan kearifan Timur hingga menjadi pandangan modern tentang dunia, sebagaimana juga menjadi keprihatinan Ibnu Bajjah. Namun demikian, Ibnu Thufail bergerak lebih jauh.
Jika Ibnu Bajjah, sebagai contoh pemikir bebas, atau anggota pemikir independen yang memunculkan 'negara' di dalam negara--sebuah salinan dari model untuk masa-masa yang lebih bahagia--maka Ibnu Thufail berusaha untuk mengembangkan yang lebih otentik, dan bukan sekedar salinan. Ia kemudian menggambarkannya ke dalam sebuah romansa, sebagaimana disebut di muka, Hayy bin Yaqzhan yang berarti ‘Kehidupan dan Pribadi yang Aktif Putra Kewaspadaan’.

Manuskrip Hayy bin Yaqzhan. Sumber: IES
Dalam buku tersebut, Ibnu Thufail berusaha membuktikan kebenaran tesis kesatuan kebijaksanaan rasional dan mistis melalui kisah fiktif, yang di dalam karya ini terdapat satu kisah alegori tentang lelaki yang hidup sendiri di sebuah pulau yang tanpa hubungan dengan manusia lainnya. Dalam karangan ini, Ibnu Thufail menampilkan sebuah novel alegoris yang mengisahkan seorang bayi yang terdampar di hutan dan dirawat oleh seekor rusa sampai bayi itu dewasa.
Tanpa latar belakang sosial budaya, anak itu akhirnya dapat tumbuh dewasa dengan intelegensi yang tinggi dan mampu mencapai tingkat spiritualitas yang paling tinggi. Sehingga ia mampu menyingkap rahasia dibalik dunia ini dan mencapai titik Musyahadah (pandangan batin yang tidak dapat diragukan lagi), serta akhirnya dapat menemukan kebenaran sejati.
“..Setelah itu ia mendapatkan pengetahuan tentang alam, bintang gemintang, Tuhan, dan wujudnya sendiri, sehingga setelah menjalani tujuh masa selama tujuh tahun, ia mencapai pengetahuan tertinggi, yakni visi sufi tentang Tuhan, Ia mencapai kondisi ekstase mistik..” (Boer, 2019;258).
Melalui kisah tersebut, Ibnu Thufail sebenarnya ingin memberikan solusi terhadap permasalahan yang ditimbulkan oleh pertentangan antara filsafat dan agama, akal dan iman. Seperti halnya Hayy, yang dalam novel tersebut digambarkan akhirnya menyadari kebenaran itu memiliki dua wajah, yakni internal dan eksternal. Ia menegaskan, dalam mencapai kebenaran, media yang digunakan ada banyak dan beragam.
Akhir Hayat

Ilustrasi : Ceknricek.com
Selain pemikiran dan karya agung di atas, Ibnu Thufail, menurut astronom al-Bitruji serta Ibnu Rusyd dalam komentarnya terhadap Aristoteles Metaphysics, juga mempunyai banyak gagasan orisinal di bidang astronomi. Dan gagasan itu ternyata banyak memberi pengaruh kepada usaha-usaha yang dilakukan oleh al-Bitruji untuk menyanggah dan sekaligus membuktikan kekeliruan teori Ptolemaios lingkaran-lingkaran epicycles dan exentrics.
Menurut Ibnu Khatib, Ibnu Thufail juga menulis dua buah naskah tentang ilmu kedokteran yang banyak hubungannya dengan karya medis Ibnu Rusyd, yakni al-Kulliyat. Ada juga buku tentang kedokteran yang dapat dikatakan merupakan karya Ibnu Thufail, yang setidaknya ditulis oleh dua orang muridnya dan dipersembahkan kepada Ibnu Thufail, yaitu: Al-Bithruji yang mengarang Kitab Al-Hai’ah dan karya Ibnu Rusyd yang berjudul Fi al-Buqa’ al-Maskunah sa al-Ghair al-Maskunah.

Salah Satu kajian Ibnu Thufail tentang anatomi. Sumber: Nataatmadja
Pada tahun 578 H atau 1182 M, Ibnu Thufail berhubung usianya yang telah lanjut, akhirnya digantikan kedudukannya oleh Ibnu Rusyd sebagai dokter pribadi sang Khalifah. Ibnu Thufail meninggal dunia pada tahun 581 H atau 1185-1186 M di Maroko. Sang Sultan (Khalifah) sendiri menyempatkan diri menghadiri upacara pemakamannya.